Selasa, 29 Oktober 2013

DIHARAMKANNYA KHAMAR DAN JUDI


   HARAMNYA KHAMAR DAN JUDI DALAM KITAB ROWA'IUL BAYAN 
 by: Khoirun Nisa


 ACUAN DALIL

* y7tRqè=t«ó¡o ÇÆtã ̍ôJyø9$# ÎŽÅ£÷yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgŠÏù ÖNøOÎ) ׎Î7Ÿ2 ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çŽt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R 3 štRqè=t«ó¡our #sŒ$tB tbqà)ÏÿZムÈ@è% uqøÿyèø9$# 3 šÏ9ºxx. ßûÎiüt7ムª!$# ãNä3s9 ÏM»tƒFy$# öNà6¯=yès9 tbr㍩3xÿtFs? ÇËÊÒÈ   Îû $u÷R9$# ÍotÅzFy$#ur 3 y7tRqè=t«ó¡our Ç`tã 4yJ»tGuŠø9$# ( ö@è% ÓyŸxô¹Î) öNçl°; ׎öyz ( bÎ)ur öNèdqäÜÏ9$sƒéB öNä3çRºuq÷zÎ*sù 4 ª!$#ur ãNn=÷ètƒ yÅ¡øÿßJø9$# z`ÏB ËxÎ=óÁßJø9$# 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# öNä3tFuZôãV{ 4 ¨bÎ) ©!$# îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇËËÉÈ  

219. Mereka bertanya kepadamu tentang khamar[136] dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,
220. Tentang dunia dan akhirat. dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, Maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang Mengadakan perbaikan. dan Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
[136] Segala minuman yang memabukkan

Sababun Nuzul

a.       Imam Ahmad, Abu dawud dan Tirmidzi meriwayatkan dari Umar bin Khattab, bahwa ia pernah bedoa: ya Allah, terangkanlah kepada kami, tentang hukum khamr dengan keterangan yang jelas, karena ia telah membinasakan harta dan merusak akal. Kemudian turunlah ayat” mereka bertanya kepadamu tentang Khamar dan judi” , lalu Umar dipanggil dan dibacakan lagi ayat tersebut, ia berdoa lagi: Ya Allah terangkanlah kepada kami tentang khamar dengan keterangan yang jelas. Maka turunlah ayat dalam surat an Nisa’: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu Shalat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk’’. ( QS. 4;43),

Senin, 28 Oktober 2013

TENTANG SHOLAT, MA YUBTILUS SHOLAT

MA YUBTILUS SHOLAT (GERAKAN YANG MEMBATALKAN SHOLAT )

MADZHAB SYAFI’I berpendapat bahwa gerakan yang tidak berhubungan dengan shalat dapat membatalkan shalat dengan syarat gerakan tersebut :

1. Dilakukan tiga kali lebih secara berturut-turut
2. Atau dilakukan sekali tapi melampaui batas seperti meloncat memukul dengan keras
3. Atau dilakukan sekali tapi diniati bergerak tiga kali
4. Atau dilakukan sekali tapi bertujuan mempermainkan shalat

Bila tidak sesuai ketentuan diatas seperti bergerak sekali atau dua kali atau tiga kali secara terputus-putus atau bergerak tiga kali hanya saja dengan memakai anggota tubuh ringan seperti pelupuk mata, lisan, kemaluan, jemari yang menggaruk dengan tidak mengikut sertakan telapak tangannya tetap (tangannya tetap, tidak ikut bergerak) maka tidak membatalkan shalat ASALKAN gerakannya tidak dimaksudkan untuk mempermainkan, meremehkan shalat.

TEMPAT WISATA DI PATI

Pati merupakan sebuah Kabupaten yang ada di Jawa Tengah dengan kota Pati sebagi ibukotanya. Banyak tempat wisata yang sangat indah yang ada di Pati, jika kamu saat ini berada di Pati sebaiknya kamu jangan lupa mengunjungi tempat wista yang ada di Pati. Nah kamu mau tahu tepat wisata apa aja yang ada di Pati ? Simak 5 Tempat Wisata di Pati berikut ini.

1. Air Terjun Santi Air Terjun Santi adalah tempat wisata di Kabupaten Pati yang berada di desa Desa Winong, tempat ini adalah tempat favorit masyarakat Kabupaten pati. 

Sabtu, 26 Oktober 2013

BIOGRAFI SYEH MUTAMAKIN KAJEN




Syeh Ahmad Mutamakin adalah seorang yang disegani serta berpandangan jauh, salah satu tokoh yang berjasa besar dalam penyebaran Agama Islam di Utara Pulau Jawa terkhusus wilayah Pati. Beliau juga seorang yang arif dan bijaksana. ia pernah mencari ilmu sampai ke negeri – negeri Arab selama bertahun-tahun. belajar ilmu-ilmu dibidang Syariat, selanjutnya belajar Thoriqoh menurut dorongan hatinya, sebagai landasan hidupnya.[1]

Dalam perjalanannya mencari ilmu itu, beliau mendapat seorang guru besar bernama Syaikh Zain Al- Yamani. Setelah beberapa lama berguru, beliau mendapat pengesahan resmi dari guru besar tersebut, ia mohon pamit pulang ke Jawa pulang untuk segera mengamalkan ilmu-ilmu yang diperolehnya.

Beliau melanjutkan perjalanan sampai ke Desa Cebolek untuk menyebarkan Agama Islam sampai kepedalaman, beliau memasuki
wilayah baru.[2] Dan bertemu dengan H. Syamsudin yang dikenal dengan sebutan Surya Alam, sehingga nama wilayah itu Kajen dari kata “Kaji Ijen”. Beliau mendapat kepercayaan dari H. Syamsudin untuk ditempati dan mengolah daerah tersebut menjadi Desa yang dapat mengenal Agama Islam.[3]

SEJARAH KOTA PATI

Kabupaten Pati, merupakan sebuah kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah kota Pati. Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Rembang di timur, Kabupaten Blora dan Kabupaten Grobogan di selatan, serta Kabupaten Kudus dan Kabupaten Jepara di barat.

Sejarah Kabupaten Pati berpangkal tolak dari beberapa gambar yang terdapat pada Lambang Daerah Kabupaten Pati yang sudah disahkan dalam Peraturan Daerah No. 1 Tahun 1971 yaitu Gambar yang berupa: "keris rambut pinutung dan kuluk kanigara".

Menurut cerita rakyat dari mulut ke mulut yang terdapat juga pada kitab Babat Pati dan kitab Babat lainnya dua pusaka yaitu "keris rambut pinutung dan kuluk kanigara" merupakan lambang kekuasan dan kekuatan yang juga merupakan simbul kesatuan dan persatuan.

Barangsiapa yang memiliki dua pusaka tersebut, akan mampu menguasai dan berkuasa memerintah di Pulau Jawa. Adapun yang memiliki dua pusaka tersebut adalah Raden Sukmayana penggede Majasemi andalan Kadipaten Carangsoka.

Kota Pati terletak di daerah Pantura (Pantai Utara) dekat dengan laut utara pulau jawa. kota ini terdiri lebih dari 20 kecamatan, diantaranya adalah kecamatan Gabus, Tambakromo, Winong, dan lainnya.

KESIMPULAN STUDI PENAFSIRAN AYAT-AYAT DIFABEL

BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari berbagai diskusi pada bab bab sebelumnya, ada beberapa poin yang perlu ditekankan. Konsep egalitarianism yang disinggung dalam judul merupakan sebuah konsep yang disarikan dari nilai-nilai al-Qur’an yang selama ini luput dari perwujudannya dalam realita keseharian. Semangat ini juga direfleksikan dengan bertolak pada metode penafsiran hermeneutik praksis liberatif-humanistik yang tidak hanya berhenti pada tahap penafsiran saja, melainkan juga ditindak lanjuti dengan langkah praksis pembebasan dari segala penindasan dan ketidakadilan. Sikap humanistic sebagai landasan penafsiran dan praksisnya, berusaha mengusung sikap-sikap yang memperhatikan aspek kemanusiaan, tanpa memperhatikan agama, ras, dan etnik.  Hal ini kembali disuarakan, guna mengatasi adanya tindak diskriminasi dalam segala aspek kehidupan terhadap eksistensi difabel.
Realita yang terjadi kemudian berusaha ditarik kepada ranah keagamaan yang terwakili oleh penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Penafsiran merupakan salah satu unsur yang harus diupayakan guna memberikan pemahaman keagamaan yang sesuai, bagi masyarakat. Karena kita ketahui bahwa mainstream masyarakat selama ini, salah satunya dipengaruhi oleh pemahaman mereka terhadap teks-teks keagamaan. Penafsiran ayat-ayat yang membahas difabilitas dalam al-Qur’an, terwakili oleh ayat-ayat difabel yang dinyatakan secara haqiqi, dengan istilah ‘umyun, akfas, abkam,  Akhras}y, shummun, a’raj, sufaha . Ayat tersebut menunjukkan adanya kesetaraan perlakuan yang diberikan al-Qur’an kepada mereka. Berbeda halnya dengan pemaknaan istilah-istilah tersebut secara majazi, dalam artian kekurangan yang bukan berasal dari fisik, melainkan karena kelalaian mereka sehingga tidak menggunakan kesempurnaan fisiknya untuk melakukan kebaikan. untuk kondisi yang terakhir ini, al-Qur'an’merespon dengan celaan bahkan ancaman siksaan.

UPAYA PRAKSIS PEMBEBASAN DIFABEL DARI DISKRIMINASI

BAB IV
UPAYA PRAKSIS PEMBEBASAN DIFABEL
DARI DISKRIMINASI
Realitanya, semangat pembebasan terhadap para difabel telah didengungkan dan dimiliki oleh beberapa kelompok, baik pemerintah, organisasi social, komunitas-komunitas atau aktivis peduli difabel. Pemerintah bertindak dalam mengelurakan kebijakan-kebijakannya yang ramah akan kepentingan difabel, begitu juga telah berdiri beberapa organisasi social seperti Pertuni (Persatuan Tuna Netra Indonesia), PPCI (Persatuan Penyandang Cacat Indonesia), CIQAL (Center for Improving Qualified Activity in Live of People with Disabilities), ITMI (Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia),Women Difabel, HWPCI (Himpunan Wanita Penyandang Cacat), KPJDA (Komisi Pembentukan Jaringan Difabel Aceh), bahkan organisasi setingkat PBB pun juga berperan dan telah bergerak mengatasi persoalan ini. Uraian di bawah ini lebih lanjut membahas upaya-upaya praksis yang yang bertujuan untuk membebaskan para difabel dari tindak diskriminasi. Upaya yang dilakukan meliputi upaya advokasi, sosialisasi, dan implementasi, antara lain:
A.    Advokasi
Advokasi adalah aksi yang strategis dan terpadu, oleh perorangan atau kelompok masyarakat untuk memasukkan suatu masalah ke dalam agenda kebijakan, dan mengontrol para pengambil keputusan untuk mengupayakan solusi bagi masalah tersebut sekaligus membangun basis dukungan bagi penegakan dan penerapan kebijakan publik yang di buat untuk mengatasi masalah tersebut. (Manual Advokasi Kebijakan Strategis, IDEA, Juli 2003)[1]
Dari definisi di atas dapat  kita simpulkan bahwa advokasi adalah sebuah gerakan yang berusaha membela hak dan kepentingan suatu kelompok melalui kebijakan-kebijakan pemerintah yang berwenang.

BAB III,MENINJAU ULANG PENAFSIRAN DIFABEL DALAM AL-QUR’AN

BAB III
MENINJAU ULANG PENAFSIRAN DIFABEL
DALAM AL-QUR’AN
A. Kajian Linguistik Asosiasi Kata Difabel dalam al-Qur’an.
Manusia dalam al-Qur’an secara umum digambarkan dengan tiga istilah kunci yaitu, basyar, insa>n, dan al-na>ss. Meskipun sama-sama menunjukkan arti manusia, tetapi masing-masing memiliki perbedaan penggunaannya. Misalnya saja kata basyar dalam al-Qur’an digunakan  untuk menunjuk manusia sebagai makhluk biologis—baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda—yang biasa makan, minum, berhubungan seks, beraktivitas di pasar, dan lain-lain. Selanjutnya, kata Insa>n digunakan untuk menunjuk manusia dalam tiga konteks; a) keistimewaannya sebagai khalifah dan pemikul amanah, b) prediposisi negatif diri manusia dan c) proses penciptaan manusia.  Sedangkan kata Al-Na>ss menunjuk manusia sebagai makhluk social dan karenanya bersifat horizontal.[1] Secara singkatnya manusia dalam al-Qur’an adalah makhluk biologis, psiko-spiritual, dan social.
Mengenai persoalan fisik, Alla>h swt telah menegaskan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya,[2]bukan hanya fisik, tetapi juga psiko-sosial. Hal ini tentunya berbeda dengan makhluknya yang lain seperti jin, malaikat, hewan, dan tumbuhan. Meskipun, terdapat sebagian orang yang diciptakan dengan fisik yang sempurna dan ada juga yang fisiknya tidak sempurna. Begitu juga sebagai makhluk psiko-sosial, tentunya ada bermacam-macam yang terkategorikan antara yang baik dan yang buruk terkait hubungan secara vertical maupun horizontal. Difabilitas dalam al-Qur’an sendiri digunakan untuk menunjuk kekurangan manusia secara biologis atau fisik, seperti difabel netra (a’ma> dan akmaha), difabel wicara (abkam dan  Akhras}), difabel rungu (a’sham), difabel daksa (a’ra>j),lemah fisik (dha’i>f). Meskipun begitu, al-Qur’an tidak lantas memberikan perbedaan perlakuan atau tidak mendiskriminasikan antara manusia yang “normal” dan yang “difabel”. Berbeda halnya perbedaan perlakuan yang diberikan al-Qur’an pada manusia yang cacat secara moral dan juga social, seperti manusia yang dikalahkan oleh hawa nafsunya sendiri sehingga berbuat dzalim, kafir, bakhil, segan membantu, kufur, senang bermaksiat. Dalam konteks inilah al-Qur’an secara simbolik dan metaphor menyinggung mereka dengan beberapa ungkapan, seperti dalam Q.S al-A’ra>f [7]:179, Q.S Al-H{ajj [22]: 46, Q.S Al-Baqarah [2]: 18. Pembahasan mengenai asosiasi kata yang menunjukkan difabilitas dalam al-Qur’an dijelaskan dalam uraian di bawah ini: 

BAB II,KONSEP DASAR DIFABEL

BAB II
BEBERAPA KONSEP DASAR
A.  Meninjau Istilah Difabel
a.       Transisi Penggunaan Istilah
Pembahasan mengenai istilah ini memang sulit dihindari dari bias-bias kebahasaan. Istilah “difabel” yang dikenal sekarang ini, merupakan rumusan asn yang muncul setelah beberapa kali terjadi transisi penggunaan kata. Di Indonesia sendiri , awalnya seorang difabel disebut dengan penyandang cacat.[1] Istilah ini memunculkan perspektif negative bagi sebagian orang, karena istilah “cacat” cenderung menilai seseorang berbeda hanya karena keterbatasan fisiknya.  Definisi terhadap istilah ini termuat dalam  Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997,Pasal 1 ayat 1, bahwa “penyandang cacat” adalah “setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya”.
Penggunaan istilah “penyandang cacat” ini sebenarnya mengacu pada ketentuan yang ditetapkan dunia Internasional oleh Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization), bahwa yang dimaksud dengan kecacatan, antara lain : Impairement[2], Disability[3] dan Handicapped[4].  Kategori “penyandang cacat” sejalan dengan istilah disability, dan jika diamati disability hanyalah salah satu dari tiga aspek kecacatan itu. Singkatnya, impairment merupakan aspek kecacatan pada level organ tubuh. Sedangkan disability merupakan aspek kecacatan pada level keberfungsian individu. Handicap dipahami sebagai kondisi yang dianggap merugikan akibat adanya impairment dan disability yang dipengaruhi oleh factor-faktor yang tidak terkait langsung dengan kecacatan.
Jika ketiga istilah tersebut dipahami, maka masing-masing mempunyai perbedaan yang terkadang membentuk adanya keterkaitan kausalitas ataupun tidak sama sekali. Suatu impairment belum tentu mengakibatkan disability. Misalnya, seseorang yang kehilangan sebagian dari jari kelingking tangan kanannya,maka tidak lantas menyebabkan orang itu kehilangan kemampuannnya untuk melakukan kegiatan sehari-hari secara selayaknya.  Demikian pula, disability tidak selalu mengakibatkan seseorang mengalami handicap. Misalnya, orang yang kehilangan penglihatan (impairment) tidak mampu mengoperasikan computer secara visual (disability) tetapi dia dapat mengatasi keterbatasannya itu dengan menggunakan software pembaca layer bersuara (speech screen reader) dan oleh karenanya dia tetap dapat berperan sebagai seorang programmer komputer. Akan tetapi, handicap dalam bidang programming itu akan muncul manakala dia dihadapkan pada komputer yang tidak dilengkapi dengan speech screen reader. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan handicap itu ditentukan oleh factor-faktor di luar dirinya.

STUDI PENAFSIRAN AYAT-AYAT DIFABEL

KONSEP EGALITARIANISM TERHADAP DIFABEL DALAM AL-QUR’AN
Laporan Penelitian Dalam Kompetisi Mahasiswa
yang diselenggarakan oleh BEM-J TH
Oleh :Kholila Mukaromah (09532019) KhoirunNisa’(09532050) Munirah (09532034)


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Diskriminasi terhadap kaum difabel menjadi salah satu isu penting yang harus diangkat, terkait dengan adanya “pembatasan”  terhadap gerak mereka untuk berpartisipasi dalam berbagai dimensi kehidupan, baik  aspek ekonomi, pendidikan, keagamaan, akses publik, akses pekerjaan, akses politik, dan lainnya.[1] Diskriminasi tersebut terjadi karena perbedaan fisik difabel yang dianggap berbeda dengan manusia pada umumnya. Perbedaan fisik tersebut seharusnya tidaklah menjadi alasan untuk membedakan mereka dari segi kemampuan, karena yang berbeda hanyalah mode of production (cara-cara berproduksi)[2]. Cara pandang masyarakat yang cenderung mendiskriminasikan difabel ini berimplikasi besar terhadap kesulitan mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak demi keberlangsungan hidup mereka. Hal ini juga diperparah dengan respon pemerintah yang dianggap kurang memperhatikan eksistensi difabel, terbukti dengan minimnya peraturan yang dibuat terkait difabel.[3] Seharusnya, difabel diperlakukan sama seperti manusia biasa, mereka mempunyai hak-hak selayaknya manusia yang harus dipenuhi dan tidak dipersulit.
Sebenarnya berbagai upaya sudah banyak dilakukan demi kesejahteraan para difabel, baik yang dilakukan oleh pemerintah[4], institusi, LSM, bahkan organisasi dunia seperti KTT  juga ikut andil dalam memberikan persamaan hak difabel, seperti yang tersirat dalam jargon "Persamaan kesempatan dan partisipasi penuh difabel dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan". Akan tetapi, sasaran yang ingin dicapai sejak lebih dari dua dasawarsa hingga kini belum banyak mencapai kemajuan.[5] Begitu juga dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mencetuskan Program Aksi Dunia mengenai Para Difabel sebagaimana yang ditetapkan oleh Sidang Umum PBB dalam resolusinya No.37/52. Pertemuan itu merekomendasikan agar Sidang Umum menyelenggarakan suatu konferensi khusus untuk merancang konvensi Internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap para difabel, yang harus diratifikasi oleh negara-negara ( Resolusi PBB No. 48/96 Tahun 1993). Tetapi dalam realitasnya, usaha tersebut belum mencapai hasil yang sempurna mengingat berbagai hambatan, termasuk  keidakserampakkan  negara-negara dunia dalam mengaplikasikan peraturan tersebut di negara masing-masing[6].
Dalam aspek keagamaan menurut Eva Kasim, pemahaman ajaran agama dan nilai-nilai kepercayaan di kalangan masyarakat juga memegang peranan penting dalam perbaikan kualitas hidup difabel. Hal ini mengingat bahwa perilaku masyarakat (mode of conduct) tidak bisa dipisahkan dengan pola pikir (mode of thought). Sementara pola pikir juga dipengaruhi oleh teks-teks keagamaan[7]. Sehingga agama sebenarnya juga menjadi titik tolak penting dalam menciptakan persamaan perlakuan atau meminimalisir adanya diskriminasi dalam masyarakat. Sebagaimana uraian di atas, bahwa sebenarnya sudah ada usaha konkrit untuk mengatasi diskriminasi ini, meskipun belum terlihat maksimal. Maka, sudah seharusnya-lah agama juga turut andil dalam memperjuangkan egalitarianism terhadap kaum difabel,
Al-Qur’an sebagi teks agama yang dijadikan pedoman utama dalam Islam sebenarnya sangat mengapresiasi adanya egalitarianism (persamaan atau musa>wah)  terhadap difabel, sebagaimana yang tersirat dalam Q.S‘Abasa [80]: 1-2), yang menceritakan sebuah teguran Alla>h swt terhadap Nabi Muhammmad saw, dimana pada saat itu Rasulullah saw kurang responsif dan santun ketika dimintai sebuah petunjuk oleh sahabat Ibnu Ummi Makt>um yang mengalami kebutaan (tunanetra).  Ayat diatas dengan jelas menegaskan bahwa Islam sebagai agama sangat peduli terhadap kaum difabel. Bahkan jika kita menengok sejarah kenabian banyak para Nabi/utusan Alla>h yang berstatus difabel seperti Nabi Ya’qub as yang pernah mengalami kebutaan ketika putranya (Yu>suf as) dikabarkan meninggal; Nabi Mu>sa as yang kesulitan dalam berbicara dikarenakan lidah beliau terbakar oleh bara api ketika masih kecil. Tetapi walaupun demikian, kedua nabi tersebut masih bisa melaksanakan risalah Alla>h dengan baik.
Dengan demikian, al-Qur’an sebagai sumber moral umat Islam tidak pernah melegalkan adanya pendiskriminasian terhadap setiap manusia. Melainkan mempunyai tujuan dasar , yaitu mengusung persaudaraan yang universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality atau egalitarianism), dan keadilan social (social justice).[8] Hal ini salah satunya terlihat dari beberapa ayat dan kisah, sebagaiman yang telah dipaparkan sebelumnya. Namun realitas dan teks ternyata belum sepenuhnya bisa berdialektika. Adanya diskriminasi, yang berusaha diselesaikan dengan berbagai upaya memperjuangkan egalitarianism terhadap difabel, sungguh sangat baik. Namun, sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwa upaya tersebut belum sepenuhnya berhasil, mengingat pola pikir masyarakat yang susah untuk berubah. Agama yang mengusung konsep egalitarianism-pun belum sepenuhnya optimal dalam mengatasi diskriminasi terhadap difabel pada tataran praksisnya,