Jumat, 25 Oktober 2013

PEMIKIRAN TENTANG ORIENTALIS HADIS


             HERMENEUTIKA HADIS
(Studi atas Pemikiran Hadis Khaled M. Aboe el-fadl)
Presented by: Khoirun Nisa, THK UIN SUKA

Abstract
He is one of muslim orientalist, born when extremely differentiation between males and feminines took place among sociaty community. This condition worsened by SAS (The Society for adherence to the sunnah) and CRLO (council for scientific Research and legal opinions) indoctrinated with al-Qur’an and Hadith that give imaginations the weakness of women. Khaled M. Aboe el-Fadl come to resisted them, He reconstruct intrepretation of al-Qur’an and al-Hadith. The article shortly intends to discuss one of orientalis hadis on his perspective. Generally, misogynycal hadis has inner and outer disparaging for the women.

A.    Pendahuluan
Khaled M. Aboe el-Fadl merupakan orientalis yang menggeluti bidang al-Qur’an dan al-Hadis. Dalam bidang hadis, Khaled lebih mementingkan aspek matan Hadis. Sebagai revolusioner ia sangat memperhatikan problematika kemanusiaan dan moral. Seluruh energi pemikirannya dicurahkan untuk membangun dan mendinamisir tatanan moral dan tatanan kemanusiaan yang ada. Pemasalahan apapun, termasuk  mengenai agama harus diletakkan dalam wawasan yang humanis dan bermoral. Beragama, menurutnya tidak lain bertujuan untuk memperkaya khazanah kemanusiaan bukan malah merusaknya. Oleh karena itu, tidak akan ada pembenaran sedikitpun dalam Islam untuk kekerasan dan sikap diskriminatif terhadap sesama.
Al-Qur’an dan Hadis Nabi sebagai sumber moral yang mengatur dan menuntun umat Islam untuk bersikap secara baik , tidak hanya terhadap Tuhan dan pribadi saja, akan tetapi keduanya juga mengatur hubungan  sesama manusia. Hal inilah yang meyakini Khaled M. Aboe el Fadl bahwa al-Qur’an dan Hadis tersebut menjadikan Islam sangat humanis. Akan tetapi, untuk memahami teks baik al-Qur’an ataupun hadis, diperlukan manusia sebagai pembaca. Karena teks tidak bisa berbicara sendiri. Implikasinya, fenomena otoritarianisme[1] terhadap teks sering terjadi, baik pada masa klasik bahkan juga masa sekarang. Untuk itu, Khaled M. Aboe el Fadl menawarkan metode Hermeneutika untuk menghindari adanya sikap otoritarianisme.

              Sebagai contoh kongritnya, dalam makalah ini akan membahas bagaimana Khaled M. Aboe el Fadl menyikapi hadis missoginis tentang ridha Tuhan bergantung pada keridhaan suami yang dirasa sangat mendiskreditkan wanita dalam hubungan pernikahan. Disini, Khaled M. Aboe el Fadl akan menggunakan Metode Hermeneutiknya untuk menolak hadis tersebut sebagai acuan hukum yang tidak perlu dipatuhi.
B.     Biografi Khaled M. Aboe el Fadl
Khaled Abou El Fadl dilahirkan pada tahun 1963, tepatnya di daerah Kuwait.[2] Pada masa muda, Abou El Fadl dikenal sebagai anak yang cerdas. Pada usia 12 tahun, ia sudah hafal al-Qur`an dan engikuti kelas Syariah di masjid lokal di daerahnya, Al-Azhar, dia juga mempelajari semua koleksi buku orang tuanya yang berprofesi sebagai pengacara.[3]
Negara Kuwait pada masa itu bersifat represif dan otoriter. Mereka menyensor bahan-bahan bacaan Masyarakatnya. Sehingga mengakibatan, Abou El Fadl yang tumbuh di lingkungan yang bersifat puritan-tradisional[4], mendambakan terealisasinya kebangkitan peradaban Islam, Aboe Fadl menginginkan sebuah peradaban sebagaimana pengalaman kejayaan Nabi di Madinah.[5] Setelah memperdalam ilmunya, Abou El Fadl mulai menyangsikan apa yang telah dipelajari sebelumnya. Sejak saat itulah, Abou El Fadl meyakini kekayaan tradisi intelektual Islam. Dari keyakinan tersebut, memberikan dia motivasi positif untuk mengkaji lebih dalam kekayaan tradisi intelektual Islam dengan melakukan studi di Timur Tengah dan Universitas-Universitas ternama di Amerika. Sebelum menetap di Barat, Abou El Fadl sempat menimba ilmu di Mesir, di sana ia mulai merasakan adanya iklim akademis yang kondusif dan keterbukaan intelektual, berbeda dengan di Kuwait. Menurutnya, sistem kekuasaan yang represif dan otoriter, tidak akan pernah melahirkan kemajuan berpikir dan pencerahan intelektual terhadap masyarakatnya. Kebebasaan intelektual sebagaimana ia peroleh di Mesir, semakin dirasakan ketika ia hijrah ke Amerika.
Prestasi akademis Abou El Fadl di Amerika dimulai dari Yale University pada tahun 1982 dalam bidang ilmu politik, dengan kemampuan bahasa Inggris yang masih sangat lemah. Akan tetapi, empat tahun kemudian ia bisa meraih magna cum laude (lulus dengan pringkat sangat memuaskan pada level Universitas dan diploma) dan memperoleh penghargaan sebagai mahasiswa berbakat. Pada tahun 1986, ia melanjutkan studi hukum ke University of Pennsylvania Law School untuk memperoleh gelar Jurist Doctor (J.D.) hingga tahun 1989. Setelah itu, Abou El Fadl melanjutkan studi ke Princeton University, dan pada tahun 1998 ia bisa menyelesaikan program doktornya dalam bidang pemikiran hukum Islam dengan gelar Doctor of Philosophy. Di Princeton ini Abou El Fadl mendapatkan nilai kumulatif yang cukup memuaskan dengan disertasi terbaiknya“Rebellion and Violence in Islamic Law”. Pada saat yang bersamaan Abou El Fadl menempuh studi hukum di UCLA (University of California Los Angeles).[6]
Pada tahun 1989, Ia bekerja di Pengadilan Tinggi Arizona (Arizona Supreme Court) menangani persoalan hukum keimigrasian dan komersial (Commercial and Immigration Law). Sejak saat itu ia diakui menjadi warga negara Amerika. Abou El Fadl juga pernah mengajar hukum Islam di University of Texas. Pada saat itulah, Irene Bierman, Kepala Pusat Kajian Wilayah Timur Tengah UCLA (UCLAs Center for Near Eastern Studies) melihat kemampuannya sehingga pada tahun 1998, Irene Bierman mengusulkannya menjadi pengurus baru dalam bidang hukum Islam. Aktivitasnya di UCLA mengantarkannya pada puncak karir, menjadi profesor hukum Islam di UCLA (University of California Los Angeles) School of Law.
                       Pengetahuan yang luas dan kontribusi yang ia sumbangkan ke dunia menjadikan dirinya mendapatkan banyak pennghargaan dan apresiasi  dari masyarakat antara lain : dianugerahi University of Oslo  Human Rights Award, pada tahun 2007 dia dianugerahi Lisler Eitenger Prize serta tahun 2005 mendapatkan anugerah Carnegei Scholar in Islamic law. Abou el-Fadel bahkan pernah ditugaskan oleh Presiden George Washington Bush untuk menjadi pemantau dalam komisi untuk kebebasan beragama internasional (U.S. Commission for International Religious Freedom), dia juga bertindak sebagai anggota Dewan Direktur pemantau hak azasi manusia ( Human Rights Watch ), anggota dewan penasihat middle east watch ( bagian dari human Right Watch), serta secara teratur bekerja dengan organisasi Hak Azasi Manusia seperti : Amnesty Internasional And the Lawres Committe for Human Rights  sebagai ahli dalam pemecahan berbagai kasus tentang HAM, terorisme, politik suaka, hukum komersial dan internasional. Tahun 2005, dia termasuk sebagai salah satu dari 500 pengacara terbaik di Amerika Serikat.[7]
Selain prestasi yang ia miliki, Abou El-Fadel juga merupakan sosok penulis yang sangat produktif sehingga ditemukan banyak karya baik berupa artikel ataupun buku beliau,  antara lain :  Islam and the Chelllengge of Democracy (Princeton University Press, 2004), The Place of Tolerance in Islam (Cambridge University, 2001), Rebellion dan Violence in Islamic Law ( Cambridge University, 2001), Speaking in Gods Name: Islamic Law, Authority, dan Woman ( Oneworld Publication, 2001), And God knows the Soldiers: The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse  (2001), Conference of The Books: The Search for the Beauty in Islam (2001).
C. Pemikiran Khaled M. Aboe el Fadl M. Aboe el Fadl
I.     Hermeneutika Khaled M. Aboe el Fadl M. Abou El-Fadl
Hermeneutika al-Qur’an Abou El-Fadl merupakan hal yang sangat menarik untuk dikaji, hal ini dikarenakan hermeneutikan Aboe el-fadle berangkat dari gagasannya tentang otoritas dan otoritarian dalam Islam. Dalam salah satu karyanya Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Atas Nama Tuhan; Dari Fikih Otoriter Ke Fikih Otoritatif, disebutkan bahwa konsep otoritarianisme yang ia buat dilatarbelakangi oleh fatwa-fatwa keagamaan yang dikeluarkan oleh para ahli agama pada CRLO ( Council for Scientific Research And legal Opinions). CRLO adalah sebuah lembaga resmi di Arab Saudi yang bertugas memberikan fatwa.[8] Abou el-Fadl merasa bahwa premis-premis yang mendasari kemunculan sebuah hukum telah dihilangkan oleh CRLO. Selain itu, fatwa yag dihasilkan seolah-olah menjadikan CRLO seperti mengasumsikan dirinya sebagai wakil Tuhan.
Sebagai seorang yang responsif, Abou El-Fadl menyajikan sebuah kerangka konseptual untuk membangun gagasan tentang otoritas dan otoritarian dalam Islam. Pembahasan otoritas sangat penting karena tanpa otoritas maka kita akan memahami teks secara subjektif, relatif dan individual. Untuk itu, menurut Abou El Fadl perlu ada hal-hal yang baku (al-tsawâbit) dalam agama.
Abou El Fadl membangun konsep otoritas dalam Islam dengan doktrin Kedaulatan Tuhan dan Kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan dijelaskan melalui Kalam-Nya yang telah tertulis. Demikian juga Nabi—sebagai pemegang otoritas kedua setelah Tuhan—setelah wafat meninggalkan tradisinya (Sunnah) yang telah terkodifikasi. Pada konteks ini telah terjadi proses pengalihan ‘suara’ Tuhan dan Nabi pada teks-teks yang tertulis dalam al-Quran (mushaf) dan kitab-kitab sunnah. Apa yang di hadapan kita adalah sekumpulan teks-teks yang dipandang mewakili ‘suara’ Tuhan dan Nabi. Sejauh mana teks-teks tersebut memiliki otoritas mewakili ‘suara’ Tuhan dan Nabi? Sehingga timbul beberapa pertanyaan; Bagaimana kita memahami kehendak Tuhan dan Nabi melalui perantara teks-teks tersebut?. Apakah aturan-aturan wakil Tuhan agar bisa menyampaikan kehendak Tuhan tanpa menganggap pendapatnya sebagai kehendak Tuhan? Merespon pertanyaan-pertanyaan mendasar di atas, menurut Abou El-Fadl kita harus memerhatikan tiga hal berikut:
Pertama, berkaitan dengan “kompetensi” (autentisitas) adalah bagaimana kita mengetahui bahwa perintah tersebut benar-benar datang dari Tuhan dan Nabi-Nya. Teks-teks yang memiliki kompetensi (autentisitas) dinilai sebagai teks-teks yang otoritatif, sedangkan teks-teks yang tidak memiliki kompetensi tidak memiliki otoritas mewakili ‘suara’ Tuhan dan Nabi. Penggunaan teks-teks yang tidak otoritatif akan menjerumuskan manusia pada otoritarianisme; penganugrahan otoritas pada yang tidak otoritatif. Kompetensi ini hanya berlaku pada ranah hadis dikarenakan al-Quran adalah firman-Tuhan yang abadi dan terpelihara kemurniannya. Kompetensi al-Quran tidak bisa diganggu-gugat. Tampaknya Abou El-Fadl tidak ingin berspekulasi membuka perdebatan tentang kesejarahan, kemurnian, dan keaslian al-Quran, karena yang relevan baginya adalah bagaimana “menentukan maknanya” (to determine its meaning).
Ketika membahas Kompetensi Sunnah perlu dipertanyakan apakah sunnah tersebut benar-benar otoritatif dan bisa mewakili pesan Nabi. Abou El-Fadl sendiri dalam membahas kompetensi Sunnah menggunakan metodologi kritik hadis klasik (mushthalah al-hadits) dari kritik trasmisi (naqd al-sanad) dan kritik perawi (’ilm al-rijâl) kemudian dikembangkan dengan kritik redaksi hadis (naqd al-matan) yang memungkinkan seseorang mengkaji konteks sosio-historis hadis. Dan yang lebih penting lagi adalah, persoalan sesungguhnya bukanlah Nabi telah mengatakan atau tidak mengatakan sesuatu, tapi peran apa yang dimainkan Nabi dalam sebuah riwayat tertentu (the issue is not wether the Prophet said or did not say something but what the role did the Prophet play in a particular report).
Pemahaman peran sosok Nabi itu akan melahirkan perbedaan fungsi pada Sunnah; jika Nabi melakukan sebagai sosok manusia biasa, maka, Sunnah itu tidak memiliki otoritas sebagai sumber hukum (al-sunnah ghayr tasyrî’iyyah) namun sebaliknya jika Nabi memerankan sebagai utusan Tuhan yang harus diikuti, maka Sunnah itu memiliki otoritas untuk diikuti (al-sunnah al-tasyrî’iyyah). Selain itu Abou El-Fadl juga menegaskan perlu membedakan kriteria Hadis Ahad dengan Hadis Mutawatir karena keduanya memiliki perbedaan kadar ororitas dalam proses legislasi. Hadis Mutawatir memiliki kadar kompetensi (autentisitas) lebih kuat.
Kedua, berkaitan dengan “penetapan makna”. Seperti yang telah dimaklumi Tuhan telah menggunakan sarana teks untuk menyampaikan kehendak-Nya, sedangkan teks tidak bisa berbicara sendiri, dia butuh manusia untuk berbicara. Tetapi, ketika semua berhak berdialog dengan teks tanpa kewewenangan, tidak ada yang bisa menjamin teks tersebut ditafsirkan sebebas-bebasnya dan subjektifitas. Untuk menghindari hal tersebut, Abou El-Fadl  berusaha obyektif mengasumsikan ketika bahasa dijadikan media melalui teks maka perlu kehati-hatian dalam menentukan makna teks tersebut.[9]
Memperhatikan hal ini, memposisikan manusia dalam subyek teks memungkinkan timbulnya ‘pembunuhan’ teks yang merampas kesucian teks.[10]  Ini terjadi karena semua orang berhak berinteraksi dengan teks tanpa kewewenangan ( otoritas). Dalam posisi ini teks akan dimungkinkan ditafsirkan sebebasbasnya dan dengan sendirinya akan menelenjangi autentisitas, makna dan tujuan teks. Inilah sebenarnya yang disebut tindakan sewenang-wenang yang menyuuburkan penafsiran otoriter. Abou El-Fadl  menegaskan perlunya keseimbangan antara makna teks, pengarang dan pembaca untuk mengatas hal tersebut.  Makna hanya akan dapat diperoleh dengan adanya proses dialektis, kompleks, dinamis dan interaktif antara teks, pengarang dan pembaca.[11] Salah satu dari unsur ini tidak boleh ada yang mendominasi dan ketepatan penafsiran hanyalah dapat dijangkau dengan peranan terhadap peran, otonomi dan intregitas teks.
Ketiga, berkaitan dengan Sikap ototiter
Sikap otoriter adalah sikap pembaca yang berusaha ‘mengunci’ teks dalam sebuah makna tertentu.  Secara metaforik Abou el-fadl menggambarkan ini sama saja dengan pembaca berkata ‘’ saya tahu apa yang dikehendaki pengarang, dan saya juga tahu apa yang diinginkan teks, pengetahuan saya bersifat menentukan dan meyakinkan. Seperti diketahui kedaulatan mutlak hanya dimiliki Tuhan, namun di sisi lain, Islam juga mengakui konsep kekhalifahan manusia sebagai perwakilan Tuhan. Namun pelimpahan otoritas Tuhan kepada manusia membuka ruang otoritarianisme; jika manusia itu menyalahgunakan otoritas Tuhan, melakukan tindakan di luar batas kewenangan hukum yang dimilikinya (ultra vires) atau bahkan menuhankan dirinya.
Ada beberapa Syarat yang diajukan Aboe El-Fadl kepada pengkaji teks agar terhindar dari penyalahgunaan dan penyelewengan otoritas. Syarat tersebut yakni. kejujujuran (honesty), Kesungguhan (diligence), kemenyeluruhan (comprehensiveness), rasionalitas (reasonableness), pengendalian diri (self-restraint) wakil khusus harus memiliki persyaratan diatas ketika ia menjelaskan Kehendak Tuhan. Seorang wakil harus memiliki kewaspadaan untuk menghindari penyimpangan atas peran Tuhan, berarti dia harus mengenal batasan peran yang menjadi haknya saja. Seorang wakil khusus jika tidak memiliki syarat di atas maka akan mudah melakukan pemahaman dan tindakan yang otoriter dengan mengatasnamakan Tuhan.
II.   Kritik Terhadap Hadis Missogini yang dikutip oleh CRLO (tentang membuat suami dan Tuhan tetap gembira dan membawa kita masuk surga) yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. al-Tirmidzi, Ibnu Majjah, Ibnu Hibban dan al-Hakim
Adapun hadis yang ia kutip terdapat di kitab  Sunan al Tumudzi yang berbunyi :
حدثنا واصل بن عبد الأعلى حدثنا محمد بن فضيل عن عبد الله بن عبد الرحمن أبي نصر عن مساور الحميري عن أمه عن أم سلمة قالت : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم أيما امرأة ماتت وزوجها عنها راض دخلت الجنة [12]

Artinya: Diceritakan dari Ummi Salamah bahwa Nabi Muhammad SAW berkata: “Seorang istri yang meninggal dan suaminya ridha kepadanya maka ia akan masuk surga.
Para pensyarah klasik yang terkenal, Riyadh al-Shalihin, mengatakan bahwa maksudnya adalah selama istri tersebut saleh dan suaminya ridha kepadanya, maka ia akan masuk surga. [13] hal ini tentunya merupakan kesimpulan dari implikasi bunyi teks. Teks literalnya tidak menyebutkan perempuan saleh, tapi hanya menyebutkan bahwa perempuan yang meninggal dan suaminya ridha kepadanya, maka perempuan itu akan masuk surga. Hal ini mengundang persoalan karena pemahaman semacam ini menggantungkan keridhaan Tuhan pada keridhaan suami. Namun, jika dikatakan hadis ini hanya berlaku bagi istri yang saleh, juga akan mengundang permasalahan. Karena ridha tuhan dikaitkan pada ridha suami, tidak peduli apakah suaminya saleh atau tidak. Begitu juga jika dikatakan hadis ini hanya berlaku bagi suami dan istri yang saleh, akan tetap problematic. Karena mungkin saja istri lebih shaleh dari pada suami, dan suami mempunyai watak pelit, pemarah, berkelakuan buruk dan sifat negatif lainnya. Tanpa mempertimbangkan segala kemungkinan bahwa suami memiliki sifat tersebut, maknanya tetap menunjukkan ridha Tuhan bergantung pada ridha suami. Semua ini adalah konsep revolusioner yang memiliki dampatk teologis dan social yang sangat mendalam, tapi sebelum kita mengakuinya, perlu dilakukan kritik atas keautentikan hadis tersebut.
Versi hadis lain berasal dari Anas bin Malik bahwa Nabi pernah bersabda: jika seorang wanita shalat lima hari sekali, berpuasa ramadhan, patuh pada suami, dan menjaga kehormatannya, maka ia akan masuk surga. [14] Untuk mengkritik hadis di ini, mula-mula yang dilakukan adalah kritik tentang keautentikan hadis tersebut yakni dengan melakukan beberapa tahapan seperti yang dijelaskan sebelumnya, yaitu kritik sanad, kritik rijal dan kritik matan. Dari segi sanad, hadis di atas hanya diterima oleh jumlah perawi yang lebih kecil jumlahnya dari pada hadis pertama. Kemudian ditemukan salah seorang perawi bernama Ibnu Luhay’ah, yang dianggap tidak dapat dipercaya. [15] Versi hadis ini juga sama sekali tidak menghilangkan kekurangjelasan versi hadi pertama. Misalnya. Bagaimana halnya dengan kewajiban-kewajiban lainnya seperti membayar zakat, haji dan lain lain. Ibadah ini mungkin diserahkan kepada kmampuan keuangan suami, tetapi bagaimana jika istrinya yang kaya?.
Menurut Aboe el-Fadl, hadis-hadis missoginis di atas, diperlukan adanya ketelitian karena hadis ini tidak selaras dengan semangat al-Qur’an, mengusik kesadan dan bertentangan dengan gambaran sifat Nabi. Al-Qur’an berbicara tentang cinta, kasih sayang, persahabatan, dan perempuan saleh yang taat pada tuhan bukan pada suami. Hal ini tercantum dalam surat al-Ahzab(33): 35[16] sebagaimana berikut:
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

Artinya: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin[1218], laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
Oleh karenanya, dikatakan bahwa memaksa seorang istri untuk melayani suami di atas punggung binatang, menuntut kepatuhan moral  atau ketaatan membagi buta, tidak selaras dengan konsep cinta, kasih sayang, persahabatan, kesalehan, dan ketaatan kepada Tuhan. Menurut Aboe, konsep pernikahan tidak didasarkan kepada pengabdian membabi buta akan tetapi pada kasih sayang dan kemitraan. Konsep Al-Qur’an tentang kesalehan tidak disandarkan pada keridhaan manusia tetapi pada ketakwaan dan ketaatan kepada Tuhan.[17]
Mengenai kualitas, hadis di atas termasuk hadis ahad, begitu juga dengan hadis-hadis yang di jadikan pendukung. Sehingga hadis tersebut tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum, atau prinsip mendasar, bagi persoalan sepenting pernikahan. Menurut Aboe el-Fadl, logilka yang harus dikedepankan adalah logika proposionalitas, yang tentunya hanya memerlukan hadis-hadis dengan derajat autentisitas yang tinggi untuk bisa dijadikan landasan persoalan agama yang penting atau yang memiliki dampak social yang penting. Akan tetapi, CRLO dan mereka yang mengikuti pemikiran mereka memperbolehkan hadis-hadis ahad untuk menjadi acuan dalam semua permasalahan hukum dan juga dalam permasalahan akidah dan keimanan.[18]hingga tingkat tertentu, pendapat ini I menjadi pembenaran bagi sebagian besar penetapan mereka, terutama dalam permasalahan wanita, lebih buruknya lagi pandangan ini sudah diterima secara luas pada masa modern ini.
Menurut mayoritas ulama, Hadis-hadis ahad tidak bisa membawa kepada kita kepada pemahaman yang pasti tentang perkataan Nabi, sehingga hadis tersebut tidak bisa dijadikan acuan sebagaiman hadis mutawatir. Hadis ahad sebenarnya bisa digunakan dalam  dalam membicarakan hal-hal yang bersifat cabang dalam agama, walaupun mayoritas ahli hukum masih memperdebatkan antara ushul dan furu’, akan tetapi realitanya menunjukkan bahwa mereka tidak menjadikan hadis-hadis ahad sebagai acuan yang cukup memadai untuk membentuk bagian yang penting dalam agama, misalnya pernikahan. Menanggapi hal ini, Khaled M. Aboe el Fadl aboe el-Fadl lebih menginginkan hubungan proposional autentisitas hadis dan cakupan efektifnya. Bagaimana proposionalitas antara pengetuan kita mengenai sebuah teks dan dampak teks tersebut.
Kritik yang dilakukan oleh Aboe el fadl di atas, mulai dari autentitas hadis dan keamanahan para perawi, jumlah perawi dari generasi paling awal, jumlah versi hadis, hubungan antara hadis dengan hadis lain, bukti teks al-Qur’an, konteks historis sebuah hadis dan praktik Nabi dan para sahabat dalam konteks hadis terkait. Upaya ini menurutnya bukanlah hal yang urgen karena Permasalahannya adalah ketika sebuah hadis memiliki dampak social, teologis, dan politik yang serius, sedangkan bukti-bukti menunjukkan hadis tersebut tidak bisa dijadikan sebagi acuan. Oleh karena itu, menurut Aboe el-Fadl, kita bisa kembali menggunakan sikap berbasis iman ketika menghadapi hadis seperti di atas.
D.    Analisis dan Kritik
Sejauh yang ditemukan dari penulis, metode yang dipakai untuk mengkritisi hadis oleh Aboe Fadl terkesan inkonsisten. Hal ini dikarenakan ada beberapa aspek yang tidak dijelaskan, semisal konteks historis sebuah hadis dan praktik Nabi dan para sahabat dalam konteks hadis terkait. Kritik sanad yang dilakukan hanya pada hadis pendukung kedua, sedangkan hadis pertama cukup dikatakan ahad. Selain itu, untuk menyebutkan hadis pendukung, ia merujuk pada kitab-kitab syarah, bukan pada sumber utama hadis (kutub al-sittah). Hal ini menurut penulis, ia lakukan karena ia menganggap langkah itu tidaklah penting untuk hadis yang sangat berdampak social, teologis dan politik. Nabi Muhammad tidak akan mengeluarkan riwayat yang menurunkan derajat perempuan, tetapi sebaliknya, apa yang dilakukan Nabi Muhammad adalah untuk mengangkat derajat wanita yang pada masa jahiliyah tidak diakui keberadaannya. Derajat laki-laki dan perempuan adalah sama. Di mata Tuhan yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaan seseorang. Sedangkan dalam kehidupan masyarakat yang menentukan adalah kemampuan baik itu dimiliki laki-laki atau perempuan.
 Teks-teks hadis yang mendikkreditkan perempuan serta hasil pembacaan baik pengarang ataupun pembaca selama ini memiliki dampak yang besar sehingga wanita dianggap oleh masyakat sebagai mahluk yang memiliki kekurangan dan harus berada diurutan kedua setelah laki-laki. Oleh karenanya menurut Aboe el-Fadl diperlukan sikap kejujuran, kesungguhan,kemenyeluruhan, rasionalitas dan pengendalian diri dari tiga aspek (teks, pengarang, dan pembaca) agar tidak jatuh ke dalam otoritarianisme. Gagasan Aboe el-fadl tentang perempuan di atas penting untuk diapresiasi dan dikembangkan. Terlebih bila melihat kasus-kasus yang terjadi hingga saat ini, masih banyak perempuan yang menjadi korban berbagai tindak kekerasan secara fisik maupun non fisik atas nama agama.
Daftar Pustaka
 Abu fadel, Khaled M.  Atas Nama Tuhan : Dari Fiqh Otoriter Ke Fiqih Otoritatif, terj:  Cecep Lukman Yasin. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004
Abou El Fadl, Khaled M. Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan Sewenang-wenang dalam Islam, terj. Kurniawan Abdullah, Jakarta: Serambi, 2003
Arifin, Zainal, Hermeneutika dalam Hukum Islam Khaled M. Aboe el Fadl M. Abou El-Fadl dalam Karya Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women.
Faiz, Fahruddin. Hermeneutika Qur’ani. Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002
Nasr, Sayyed Hossen. Knowledge and Sacred. New York State University Press.
Kasdi, Abdurrahman, Membangun Peradaban Umat, Perspektif Sosial, Politik dan Humanisme dalam Islam, Lakpesdam Mesir, 2001
Taimiyyah, Ibnu. 1971. Muqaddimah fi Usul al-Tafsir. Kuwait: Dar Al-Qur’an al-Karim, 1989







[1] Perilaku yang tidak berpegang pada prasyarat pengendalian diri dan melibatkan klaim palsu yang dampaknya adalah penyalahgunaan kehendak Tuhan.
[2] Ayahnya bernama Medhat Abou El Fadl, sedangkan ibunya bernama Afaf El Nimr. Nama lengkap khaled adalah Khaled Medhat Abou El Fadl, tetapi dalam banyak tulisan ia disebut dengan Khaled Abou El Fadl, atau Abou El Fadl. 
[3] Teresa Watanabe, “Battling Islamic Puritans," Dalam Los Angeles Times (2 Januari 2002). (dalam Konsepsi jihad Aboe fadl..edisi Disertasi Abid Rohmanu di Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya)
[4]Khaled M. Abou El Fadl, Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan Sewenang-wenang dalam Islam, terj. Kurniawan Abdullah (Jakarta: Serambi, 2003), hlm.18


[6] Lihat riwayat pendidikan Abou El Fadl dalam, antara lain, Noha El-Hennawi, “Khaled Abou El Fadl”, Teresa Watanabe, “Battling ….” hlm.27

[7] Data ini diambil dari situs terbaru UCLA, dimana Abou el Fadel bekerja sekarang yaitu: http://www.law.ucla.edu/home/index.asp?page=386, diakses tanggal 8 Januari 2011
[8] Khaled M. Abu fadel. Atas Nama Tuhan : Dari Fiqh Otoriter Ke Fiqih Otoritatif, terj:  Cecep Lukman Yasin, ( Jakarta, PT Serambi Ilmu Semesta, 2004) hlm.ix
[9] Khaled Abou el-Fadl memberikan salah satu perumpamaan terkait problem penggunaan simbol bahasa, dia menjelaskan jika dia menggambar sebuah sketsa manusia. Beberapa orang mungkin akan mengitkan itu dengan kisah adam dan hawa, sementara itu ada juga yang menggap itu gambar dua orang yang jatuh cinta atau bisa jadi ada orang yang menganggap bahwa sang penggambar sedang kebosanan dan kesepianmengharapkan pasangan. Lihat khaled M. Abou...hlm. 133.
[10] Akhm Akhmad Fachruddin dan M. Yardho, Hermeneutika al-Quran Khaled M. Abou El-Fadl ( Menjunjung Otoritas teks dan Membatasi Otorianisme Pembaca) dalam http://ejournal.sunan-ampel.ac.id/index.php/Al-Afkar/article/viewFile/86/81
[11]. Khaled Abou el-Fadl...hlm.135.
[12] Muhammad bin Isa al-Turmudzi, Sunan al-Turmudzi bab al-Ridha no 1081. Juga terdapat dalam kitab Aun al-Ma’bud hlm 25. Hadis ini sederajat dengan hadis tentang sujud kepada suami yakni tidak samapai pada derajat mutawatir.
[13] Khan,dkk. Nuzhat al-Muttaqin, jilid pertama, hlm.289.
[14]  Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Thabari. lihat ibnu Hanbal, Musnad, jilid  keenam hlm.236-237.  Hadis lain yang dijadikan  pendukung  adalah riwayat yang mengatakan bahwa shalat dan perbuatan baik seorang istri tidak akan diterima Tuhan selama suaminya masih marah kepadanya (lihat: Ibnu Hajar al-Asqalani, fath al-Bari, jilid ke Sembilan. Hlm 294) , begitu juga riwayat yang mengatakan : para malaikat akan melaknat seorang istri yang membuat marah suaminya karena menolak ajakannya untuk berhub ungan badan (lihat, al-Syaukani, Nail al-Authar, jilid ke enam, hlm.209-210)
[15] Sebenarnya kredibilitas Abu Luhay’ah masih diperdebatkan. Ibnu Hajar berkata perawi ini adalah shaduq. Hal ini terdapat pada Taqrib al-Tahdzib, hlm.444.  tetapi dalam kitab al-Majruhin karya Ibnu Hibban, diriwayatkan bahwa perawi ini mentalnya menjadi tidak stabilstelah bukunya terbakar pada tahun 170 H.
[16]  Terdapat juga di QS. al-Nisa’ (4):34
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
[17]K haled M. Abu fadel. Atas Nama Tuhan ……) hlm.321
[18] Khaled M. Abu fadel. Atas Nama Tuhan……) hlm.323

Tidak ada komentar:

Posting Komentar