HERMENEUTIKA HADIS
(Studi atas Pemikiran Hadis Khaled M. Aboe el-fadl)
Presented by: Khoirun
Nisa, THK UIN SUKA
Abstract
He
is one of muslim orientalist, born when extremely differentiation between males
and feminines took place among sociaty community. This condition worsened by
SAS (The Society for adherence to the sunnah) and CRLO (council for scientific
Research and legal opinions) indoctrinated with al-Qur’an and Hadith that give imaginations
the weakness of women. Khaled M. Aboe el-Fadl come to resisted them, He reconstruct
intrepretation of al-Qur’an and al-Hadith. The article shortly intends to
discuss one of orientalis hadis on his perspective. Generally, misogynycal
hadis has inner and outer disparaging for the women.
A.
Pendahuluan
Khaled M. Aboe el-Fadl merupakan orientalis yang menggeluti bidang
al-Qur’an dan al-Hadis. Dalam bidang hadis, Khaled lebih mementingkan aspek
matan Hadis. Sebagai revolusioner ia sangat memperhatikan problematika
kemanusiaan dan moral. Seluruh energi pemikirannya dicurahkan untuk membangun
dan mendinamisir tatanan moral dan tatanan kemanusiaan yang ada. Pemasalahan
apapun, termasuk mengenai agama harus
diletakkan dalam wawasan yang humanis dan bermoral. Beragama, menurutnya tidak
lain bertujuan untuk memperkaya khazanah kemanusiaan bukan malah merusaknya.
Oleh karena itu, tidak akan ada pembenaran sedikitpun dalam Islam untuk
kekerasan dan sikap diskriminatif terhadap sesama.
Al-Qur’an dan Hadis Nabi sebagai sumber moral yang mengatur dan
menuntun umat Islam untuk bersikap secara baik , tidak hanya terhadap Tuhan dan
pribadi saja, akan tetapi keduanya juga mengatur hubungan sesama manusia. Hal inilah yang meyakini Khaled
M. Aboe el Fadl bahwa al-Qur’an dan Hadis tersebut menjadikan Islam sangat
humanis. Akan tetapi, untuk memahami teks baik al-Qur’an ataupun hadis,
diperlukan manusia sebagai pembaca. Karena teks tidak bisa berbicara sendiri.
Implikasinya, fenomena otoritarianisme[1]
terhadap teks sering terjadi, baik pada masa klasik bahkan juga masa sekarang.
Untuk itu, Khaled M. Aboe el Fadl menawarkan metode Hermeneutika untuk
menghindari adanya sikap otoritarianisme.
Sebagai
contoh kongritnya, dalam makalah ini akan membahas bagaimana Khaled M. Aboe el
Fadl menyikapi hadis missoginis tentang ridha Tuhan bergantung pada keridhaan
suami yang dirasa sangat mendiskreditkan wanita dalam hubungan pernikahan.
Disini, Khaled M. Aboe el Fadl akan menggunakan Metode Hermeneutiknya untuk
menolak hadis tersebut sebagai acuan hukum yang tidak perlu dipatuhi.
B.
Biografi Khaled M. Aboe el Fadl
Khaled Abou
El Fadl dilahirkan pada tahun 1963, tepatnya di daerah Kuwait.[2] Pada
masa muda, Abou El Fadl dikenal sebagai anak yang cerdas. Pada usia 12 tahun,
ia sudah hafal al-Qur`an dan engikuti kelas Syariah di masjid lokal di daerahnya,
Al-Azhar, dia juga mempelajari semua koleksi buku orang tuanya yang berprofesi
sebagai pengacara.[3]
Negara Kuwait
pada masa itu bersifat represif dan otoriter. Mereka menyensor bahan-bahan
bacaan Masyarakatnya. Sehingga mengakibatan, Abou El Fadl yang tumbuh di
lingkungan yang bersifat puritan-tradisional[4], mendambakan
terealisasinya kebangkitan peradaban Islam, Aboe Fadl menginginkan sebuah
peradaban sebagaimana pengalaman kejayaan Nabi di Madinah.[5] Setelah
memperdalam ilmunya, Abou El Fadl mulai menyangsikan apa yang telah dipelajari
sebelumnya. Sejak saat itulah, Abou El Fadl meyakini kekayaan tradisi
intelektual Islam. Dari keyakinan tersebut, memberikan dia motivasi positif
untuk mengkaji lebih dalam kekayaan tradisi intelektual Islam dengan melakukan
studi di Timur Tengah dan Universitas-Universitas ternama di Amerika. Sebelum
menetap di Barat, Abou El Fadl sempat menimba ilmu di Mesir, di sana ia mulai
merasakan adanya iklim akademis yang kondusif dan keterbukaan intelektual,
berbeda dengan di Kuwait. Menurutnya, sistem kekuasaan yang represif dan
otoriter, tidak akan pernah melahirkan kemajuan berpikir dan pencerahan
intelektual terhadap masyarakatnya. Kebebasaan intelektual sebagaimana ia
peroleh di Mesir, semakin dirasakan ketika ia hijrah ke Amerika.
Prestasi akademis Abou El Fadl di Amerika dimulai dari Yale
University pada tahun 1982 dalam bidang ilmu politik, dengan kemampuan bahasa Inggris
yang masih sangat lemah. Akan tetapi, empat tahun kemudian ia bisa meraih magna
cum laude (lulus dengan pringkat sangat memuaskan pada level Universitas
dan diploma) dan memperoleh penghargaan sebagai mahasiswa berbakat. Pada tahun
1986, ia melanjutkan studi hukum ke University of Pennsylvania Law School untuk
memperoleh gelar Jurist Doctor (J.D.) hingga tahun 1989. Setelah itu,
Abou El Fadl melanjutkan studi ke Princeton University, dan pada tahun 1998 ia
bisa menyelesaikan program doktornya dalam bidang pemikiran hukum Islam dengan
gelar Doctor of Philosophy. Di Princeton ini Abou El Fadl mendapatkan
nilai kumulatif yang cukup memuaskan dengan disertasi terbaiknya“Rebellion
and Violence in Islamic Law”. Pada saat yang bersamaan Abou El Fadl
menempuh studi hukum di UCLA (University of California Los Angeles).[6]
Pada tahun 1989, Ia bekerja di Pengadilan Tinggi Arizona (Arizona
Supreme Court) menangani persoalan hukum keimigrasian dan komersial (Commercial
and Immigration Law). Sejak saat itu ia diakui menjadi warga negara
Amerika. Abou El Fadl juga pernah mengajar hukum Islam di University of Texas.
Pada saat itulah, Irene Bierman, Kepala Pusat Kajian Wilayah Timur Tengah UCLA
(UCLA‟s Center for Near Eastern Studies) melihat kemampuannya sehingga
pada tahun 1998, Irene Bierman mengusulkannya menjadi pengurus baru dalam
bidang hukum Islam. Aktivitasnya di UCLA mengantarkannya pada puncak karir,
menjadi profesor hukum Islam di UCLA (University of California Los Angeles)
School of Law.
Pengetahuan yang luas dan kontribusi yang ia
sumbangkan ke dunia menjadikan dirinya mendapatkan banyak pennghargaan dan apresiasi dari masyarakat antara lain : dianugerahi University
of Oslo Human Rights Award, pada
tahun 2007 dia dianugerahi Lisler Eitenger Prize serta tahun 2005
mendapatkan anugerah Carnegei Scholar in Islamic law. Abou el-Fadel bahkan pernah ditugaskan oleh Presiden George Washington Bush untuk menjadi pemantau dalam komisi untuk kebebasan beragama
internasional (U.S. Commission for International Religious
Freedom), dia juga
bertindak sebagai anggota Dewan Direktur pemantau hak azasi manusia (
Human Rights Watch ), anggota dewan penasihat middle east watch ( bagian
dari human Right Watch), serta secara teratur bekerja dengan organisasi Hak
Azasi Manusia seperti : Amnesty Internasional And the Lawres Committe for
Human Rights sebagai ahli dalam
pemecahan berbagai kasus tentang HAM, terorisme, politik suaka, hukum komersial
dan internasional. Tahun 2005, dia termasuk sebagai salah satu dari 500
pengacara terbaik di Amerika Serikat.[7]
Selain prestasi
yang ia miliki, Abou El-Fadel juga merupakan
sosok penulis yang sangat produktif sehingga ditemukan banyak karya baik berupa artikel ataupun buku beliau, antara lain : Islam and the Chelllengge of Democracy
(Princeton University
Press, 2004), The Place of Tolerance in Islam (Cambridge University,
2001), Rebellion dan Violence in
Islamic Law ( Cambridge
University, 2001), Speaking in Gods Name: Islamic Law, Authority, dan
Woman ( Oneworld Publication, 2001), And God knows the Soldiers: The Authoritative and Authoritarian in Islamic
Discourse (2001), Conference
of The Books: The Search for the Beauty in Islam (2001).
C. Pemikiran Khaled
M. Aboe el Fadl M. Aboe el Fadl
I. Hermeneutika Khaled
M. Aboe el Fadl M. Abou El-Fadl
Hermeneutika al-Qur’an Abou El-Fadl merupakan hal yang sangat
menarik untuk dikaji, hal ini dikarenakan hermeneutikan Aboe el-fadle berangkat
dari gagasannya tentang otoritas dan otoritarian dalam Islam. Dalam salah satu
karyanya Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women, yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Atas Nama Tuhan; Dari
Fikih Otoriter Ke Fikih Otoritatif, disebutkan bahwa konsep otoritarianisme yang ia buat dilatarbelakangi oleh fatwa-fatwa keagamaan yang dikeluarkan oleh para ahli
agama pada CRLO ( Council for Scientific Research And legal Opinions).
CRLO adalah sebuah lembaga resmi di Arab Saudi yang bertugas memberikan fatwa.[8]
Abou el-Fadl merasa bahwa premis-premis yang mendasari kemunculan sebuah hukum
telah dihilangkan oleh CRLO. Selain itu, fatwa yag dihasilkan seolah-olah
menjadikan CRLO seperti mengasumsikan dirinya sebagai wakil Tuhan.
Sebagai seorang yang responsif, Abou El-Fadl menyajikan sebuah kerangka
konseptual untuk membangun gagasan tentang otoritas dan otoritarian dalam
Islam. Pembahasan otoritas sangat penting karena tanpa otoritas maka kita akan
memahami teks secara subjektif, relatif dan individual. Untuk itu, menurut Abou
El Fadl perlu ada hal-hal yang baku (al-tsawâbit) dalam agama.
Abou El Fadl membangun konsep otoritas dalam Islam dengan doktrin
Kedaulatan Tuhan dan Kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan dijelaskan melalui
Kalam-Nya yang telah
tertulis. Demikian juga Nabi—sebagai pemegang otoritas kedua setelah
Tuhan—setelah wafat meninggalkan tradisinya (Sunnah) yang telah terkodifikasi.
Pada konteks ini telah terjadi proses pengalihan ‘suara’ Tuhan dan Nabi pada
teks-teks yang tertulis dalam al-Quran (mushaf) dan kitab-kitab sunnah.
Apa yang di hadapan kita adalah sekumpulan teks-teks yang dipandang mewakili
‘suara’ Tuhan dan Nabi. Sejauh mana teks-teks tersebut memiliki otoritas
mewakili ‘suara’ Tuhan dan Nabi? Sehingga timbul beberapa pertanyaan; Bagaimana
kita memahami kehendak Tuhan dan Nabi melalui perantara teks-teks tersebut?.
Apakah aturan-aturan wakil Tuhan agar bisa menyampaikan kehendak Tuhan tanpa
menganggap pendapatnya sebagai kehendak Tuhan? Merespon pertanyaan-pertanyaan
mendasar di atas, menurut Abou El-Fadl kita harus memerhatikan tiga hal
berikut:
Pertama,
berkaitan dengan “kompetensi” (autentisitas) adalah bagaimana kita
mengetahui bahwa perintah tersebut benar-benar datang dari Tuhan dan Nabi-Nya.
Teks-teks yang memiliki kompetensi (autentisitas) dinilai sebagai teks-teks
yang otoritatif, sedangkan teks-teks yang tidak memiliki kompetensi tidak
memiliki otoritas mewakili ‘suara’ Tuhan dan Nabi. Penggunaan teks-teks yang
tidak otoritatif akan menjerumuskan manusia pada otoritarianisme; penganugrahan
otoritas pada yang tidak otoritatif. Kompetensi ini hanya berlaku pada ranah
hadis dikarenakan al-Quran adalah firman-Tuhan yang abadi dan terpelihara
kemurniannya. Kompetensi al-Quran tidak bisa diganggu-gugat. Tampaknya Abou
El-Fadl tidak ingin berspekulasi membuka perdebatan tentang kesejarahan,
kemurnian, dan keaslian al-Quran, karena yang relevan baginya adalah bagaimana
“menentukan maknanya” (to determine its meaning).
Ketika membahas Kompetensi Sunnah perlu
dipertanyakan apakah sunnah tersebut benar-benar otoritatif dan bisa mewakili
pesan Nabi. Abou El-Fadl sendiri dalam membahas kompetensi Sunnah menggunakan
metodologi kritik hadis klasik (mushthalah al-hadits) dari kritik
trasmisi (naqd al-sanad) dan kritik perawi (’ilm al-rijâl)
kemudian dikembangkan dengan kritik redaksi hadis (naqd al-matan) yang
memungkinkan seseorang mengkaji konteks sosio-historis hadis. Dan yang lebih
penting lagi adalah, persoalan sesungguhnya bukanlah Nabi telah mengatakan atau
tidak mengatakan sesuatu, tapi peran apa yang dimainkan Nabi dalam sebuah
riwayat tertentu (the issue is not wether the Prophet said or did not say
something but what the role did the Prophet play in a particular report).
Pemahaman peran sosok Nabi itu akan melahirkan
perbedaan fungsi pada Sunnah; jika Nabi melakukan sebagai sosok manusia biasa,
maka, Sunnah itu tidak memiliki otoritas sebagai sumber hukum (al-sunnah
ghayr tasyrî’iyyah) namun sebaliknya jika Nabi memerankan sebagai utusan
Tuhan yang harus diikuti, maka Sunnah itu memiliki otoritas untuk diikuti (al-sunnah
al-tasyrî’iyyah). Selain itu Abou El-Fadl juga menegaskan perlu membedakan
kriteria Hadis Ahad dengan Hadis Mutawatir karena keduanya memiliki perbedaan
kadar ororitas dalam proses legislasi. Hadis Mutawatir memiliki kadar
kompetensi (autentisitas) lebih kuat.
Kedua, berkaitan dengan “penetapan makna”. Seperti yang telah dimaklumi Tuhan telah menggunakan
sarana teks untuk menyampaikan kehendak-Nya, sedangkan teks tidak bisa berbicara
sendiri, dia butuh manusia untuk berbicara. Tetapi, ketika semua berhak
berdialog dengan teks tanpa kewewenangan, tidak ada yang bisa menjamin teks
tersebut ditafsirkan sebebas-bebasnya dan subjektifitas. Untuk menghindari hal
tersebut, Abou El-Fadl
berusaha obyektif mengasumsikan ketika bahasa dijadikan media melalui
teks maka perlu kehati-hatian dalam menentukan makna teks tersebut.[9]
Memperhatikan hal ini, memposisikan manusia dalam subyek
teks memungkinkan timbulnya ‘pembunuhan’ teks yang merampas kesucian teks.[10] Ini terjadi karena semua orang berhak
berinteraksi dengan teks tanpa kewewenangan ( otoritas). Dalam posisi ini teks
akan dimungkinkan ditafsirkan sebebasbasnya dan dengan sendirinya akan
menelenjangi autentisitas, makna dan tujuan teks. Inilah sebenarnya yang
disebut tindakan sewenang-wenang yang menyuuburkan penafsiran otoriter. Abou
El-Fadl menegaskan perlunya keseimbangan
antara makna teks, pengarang dan pembaca untuk mengatas hal tersebut. Makna hanya akan dapat diperoleh dengan
adanya proses dialektis, kompleks, dinamis dan interaktif antara teks,
pengarang dan pembaca.[11]
Salah satu dari unsur ini tidak boleh ada yang mendominasi dan ketepatan
penafsiran hanyalah dapat dijangkau dengan peranan terhadap peran, otonomi dan
intregitas teks.
Ketiga, berkaitan dengan Sikap ototiter
Sikap otoriter adalah sikap pembaca yang berusaha ‘mengunci’ teks dalam
sebuah makna tertentu. Secara metaforik
Abou el-fadl menggambarkan ini sama saja dengan pembaca berkata ‘’ saya tahu
apa yang dikehendaki pengarang, dan saya juga tahu apa yang diinginkan teks,
pengetahuan saya bersifat menentukan dan meyakinkan. Seperti diketahui
kedaulatan mutlak hanya dimiliki Tuhan, namun di sisi lain, Islam juga mengakui
konsep kekhalifahan manusia sebagai perwakilan Tuhan. Namun pelimpahan otoritas
Tuhan kepada manusia membuka ruang otoritarianisme; jika manusia itu
menyalahgunakan otoritas Tuhan, melakukan tindakan di luar batas kewenangan
hukum yang dimilikinya (ultra vires) atau bahkan menuhankan dirinya.
Ada beberapa
Syarat yang diajukan Aboe El-Fadl kepada pengkaji teks agar terhindar dari
penyalahgunaan dan penyelewengan otoritas. Syarat tersebut yakni. kejujujuran (honesty),
Kesungguhan (diligence), kemenyeluruhan (comprehensiveness),
rasionalitas (reasonableness), pengendalian diri (self-restraint)
wakil khusus harus memiliki persyaratan diatas ketika ia menjelaskan Kehendak
Tuhan. Seorang wakil harus memiliki kewaspadaan untuk menghindari penyimpangan
atas peran Tuhan, berarti dia harus mengenal batasan peran yang menjadi haknya
saja. Seorang wakil khusus jika tidak memiliki syarat di atas maka akan mudah
melakukan pemahaman dan tindakan yang otoriter dengan mengatasnamakan Tuhan.
II.
Kritik Terhadap Hadis Missogini yang
dikutip oleh CRLO (tentang membuat suami dan Tuhan tetap gembira dan membawa
kita masuk surga) yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. al-Tirmidzi, Ibnu Majjah,
Ibnu Hibban dan al-Hakim
Adapun hadis yang ia kutip terdapat di kitab Sunan al Tumudzi yang berbunyi :
حدثنا واصل بن
عبد الأعلى حدثنا محمد بن فضيل عن عبد الله بن عبد الرحمن أبي نصر عن مساور
الحميري عن أمه عن أم سلمة قالت : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم أيما
امرأة ماتت وزوجها عنها راض دخلت الجنة [12]
Artinya:
Diceritakan dari Ummi Salamah bahwa Nabi Muhammad SAW berkata: “Seorang istri
yang meninggal dan suaminya ridha kepadanya maka ia akan masuk surga.
Para pensyarah
klasik yang terkenal, Riyadh al-Shalihin, mengatakan bahwa maksudnya adalah selama
istri tersebut saleh dan suaminya ridha kepadanya, maka ia akan masuk surga. [13]
hal ini tentunya merupakan kesimpulan dari implikasi bunyi teks. Teks
literalnya tidak menyebutkan perempuan saleh, tapi hanya menyebutkan bahwa
perempuan yang meninggal dan suaminya ridha kepadanya, maka perempuan itu akan
masuk surga. Hal ini mengundang persoalan karena pemahaman semacam ini
menggantungkan keridhaan Tuhan pada keridhaan suami. Namun, jika dikatakan
hadis ini hanya berlaku bagi istri yang saleh, juga akan mengundang
permasalahan. Karena ridha tuhan dikaitkan pada ridha suami, tidak peduli
apakah suaminya saleh atau tidak. Begitu juga jika dikatakan hadis ini hanya
berlaku bagi suami dan istri yang saleh, akan tetap problematic. Karena mungkin
saja istri lebih shaleh dari pada suami, dan suami mempunyai watak pelit, pemarah,
berkelakuan buruk dan sifat negatif lainnya. Tanpa mempertimbangkan segala
kemungkinan bahwa suami memiliki sifat tersebut, maknanya tetap menunjukkan ridha
Tuhan bergantung pada ridha suami. Semua ini adalah konsep revolusioner yang
memiliki dampatk teologis dan social yang sangat mendalam, tapi sebelum kita
mengakuinya, perlu dilakukan kritik atas keautentikan hadis tersebut.
Versi hadis
lain berasal dari Anas bin Malik bahwa Nabi pernah bersabda: jika seorang
wanita shalat lima hari sekali, berpuasa ramadhan, patuh pada suami, dan
menjaga kehormatannya, maka ia akan masuk surga. [14]
Untuk mengkritik hadis di ini, mula-mula yang dilakukan adalah kritik tentang
keautentikan hadis tersebut yakni dengan melakukan beberapa tahapan seperti
yang dijelaskan sebelumnya, yaitu kritik sanad, kritik rijal dan kritik matan.
Dari segi sanad, hadis di atas hanya diterima oleh jumlah perawi yang lebih
kecil jumlahnya dari pada hadis pertama. Kemudian ditemukan salah seorang
perawi bernama Ibnu Luhay’ah, yang dianggap tidak dapat dipercaya. [15] Versi
hadis ini juga sama sekali tidak menghilangkan kekurangjelasan versi hadi
pertama. Misalnya. Bagaimana halnya dengan kewajiban-kewajiban lainnya seperti
membayar zakat, haji dan lain lain. Ibadah ini mungkin diserahkan kepada
kmampuan keuangan suami, tetapi bagaimana jika istrinya yang kaya?.
Menurut Aboe
el-Fadl, hadis-hadis missoginis di atas, diperlukan adanya ketelitian karena hadis
ini tidak selaras dengan semangat al-Qur’an, mengusik kesadan dan bertentangan
dengan gambaran sifat Nabi. Al-Qur’an berbicara tentang cinta, kasih sayang,
persahabatan, dan perempuan saleh yang taat pada tuhan bukan pada suami. Hal
ini tercantum dalam surat al-Ahzab(33): 35[16]
sebagaimana berikut:
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ
وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ
وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ
وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا
وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Artinya: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan
yang mukmin[1218], laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang
sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama)
Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
Oleh karenanya,
dikatakan bahwa memaksa seorang istri untuk melayani suami di atas punggung binatang,
menuntut kepatuhan moral atau ketaatan
membagi buta, tidak selaras dengan konsep cinta, kasih sayang, persahabatan,
kesalehan, dan ketaatan kepada Tuhan. Menurut Aboe, konsep pernikahan tidak
didasarkan kepada pengabdian membabi buta akan tetapi pada kasih sayang dan
kemitraan. Konsep Al-Qur’an tentang kesalehan tidak disandarkan pada keridhaan
manusia tetapi pada ketakwaan dan ketaatan kepada Tuhan.[17]
Mengenai
kualitas, hadis di atas termasuk hadis ahad, begitu juga dengan hadis-hadis
yang di jadikan pendukung. Sehingga hadis tersebut tidak bisa dijadikan sebagai
sumber hukum, atau prinsip mendasar, bagi persoalan sepenting pernikahan. Menurut
Aboe el-Fadl, logilka yang harus dikedepankan adalah logika proposionalitas,
yang tentunya hanya memerlukan hadis-hadis dengan derajat autentisitas yang
tinggi untuk bisa dijadikan landasan persoalan agama yang penting atau yang
memiliki dampak social yang penting. Akan tetapi, CRLO dan mereka yang
mengikuti pemikiran mereka memperbolehkan hadis-hadis ahad untuk menjadi acuan
dalam semua permasalahan hukum dan juga dalam permasalahan akidah dan keimanan.[18]hingga
tingkat tertentu, pendapat ini I menjadi pembenaran bagi sebagian besar
penetapan mereka, terutama dalam permasalahan wanita, lebih buruknya lagi
pandangan ini sudah diterima secara luas pada masa modern ini.
Menurut
mayoritas ulama, Hadis-hadis ahad tidak bisa membawa kepada kita kepada
pemahaman yang pasti tentang perkataan Nabi, sehingga hadis tersebut tidak bisa
dijadikan acuan sebagaiman hadis mutawatir. Hadis ahad sebenarnya bisa
digunakan dalam dalam membicarakan
hal-hal yang bersifat cabang dalam agama, walaupun mayoritas ahli hukum masih
memperdebatkan antara ushul dan furu’, akan tetapi realitanya menunjukkan bahwa
mereka tidak menjadikan hadis-hadis ahad sebagai acuan yang cukup memadai untuk
membentuk bagian yang penting dalam agama, misalnya pernikahan. Menanggapi hal
ini, Khaled M. Aboe el Fadl aboe el-Fadl lebih menginginkan hubungan
proposional autentisitas hadis dan cakupan efektifnya. Bagaimana
proposionalitas antara pengetuan kita mengenai sebuah teks dan dampak teks
tersebut.
Kritik yang
dilakukan oleh Aboe el fadl di atas, mulai dari autentitas hadis dan keamanahan
para perawi, jumlah perawi dari generasi paling awal, jumlah versi hadis,
hubungan antara hadis dengan hadis lain, bukti teks al-Qur’an, konteks historis
sebuah hadis dan praktik Nabi dan para sahabat dalam konteks hadis terkait.
Upaya ini menurutnya bukanlah hal yang urgen karena Permasalahannya adalah
ketika sebuah hadis memiliki dampak social, teologis, dan politik yang serius, sedangkan
bukti-bukti menunjukkan hadis tersebut tidak bisa dijadikan sebagi acuan. Oleh
karena itu, menurut Aboe el-Fadl, kita bisa kembali menggunakan sikap berbasis
iman ketika menghadapi hadis seperti di atas.
D.
Analisis dan Kritik
Sejauh yang ditemukan dari penulis, metode yang dipakai untuk
mengkritisi hadis oleh Aboe Fadl terkesan inkonsisten. Hal ini dikarenakan ada
beberapa aspek yang tidak dijelaskan, semisal konteks historis sebuah hadis dan
praktik Nabi dan para sahabat dalam konteks hadis terkait. Kritik sanad yang
dilakukan hanya pada hadis pendukung kedua, sedangkan hadis pertama cukup
dikatakan ahad. Selain itu, untuk menyebutkan hadis pendukung, ia
merujuk pada kitab-kitab syarah, bukan pada sumber utama hadis (kutub
al-sittah). Hal ini menurut penulis, ia lakukan karena ia menganggap
langkah itu tidaklah penting untuk hadis yang sangat berdampak social, teologis
dan politik. Nabi Muhammad tidak akan mengeluarkan riwayat yang menurunkan
derajat perempuan, tetapi sebaliknya, apa yang dilakukan Nabi Muhammad adalah
untuk mengangkat derajat wanita yang pada masa jahiliyah tidak diakui
keberadaannya. Derajat laki-laki dan perempuan adalah sama. Di mata Tuhan yang
membedakan hanyalah tingkat ketakwaan seseorang. Sedangkan dalam kehidupan
masyarakat yang menentukan adalah kemampuan baik itu dimiliki laki-laki atau
perempuan.
Teks-teks hadis yang mendikkreditkan perempuan
serta hasil pembacaan baik pengarang ataupun pembaca selama ini memiliki dampak
yang besar sehingga wanita dianggap oleh masyakat sebagai mahluk yang memiliki
kekurangan dan harus berada diurutan kedua setelah laki-laki. Oleh karenanya menurut
Aboe el-Fadl diperlukan sikap kejujuran, kesungguhan,kemenyeluruhan,
rasionalitas dan pengendalian diri dari tiga aspek (teks, pengarang, dan
pembaca) agar tidak jatuh ke dalam otoritarianisme. Gagasan Aboe el-fadl
tentang perempuan di atas penting untuk diapresiasi dan dikembangkan. Terlebih
bila melihat kasus-kasus yang terjadi hingga saat ini, masih banyak perempuan
yang menjadi korban berbagai tindak kekerasan secara fisik maupun non fisik
atas nama agama.
Daftar Pustaka
Abu fadel, Khaled M. Atas
Nama Tuhan : Dari Fiqh Otoriter Ke Fiqih Otoritatif, terj: Cecep Lukman Yasin. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004
Abou El Fadl, Khaled M. Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang
dan Sewenang-wenang dalam Islam, terj. Kurniawan Abdullah, Jakarta:
Serambi, 2003
Arifin, Zainal, Hermeneutika dalam Hukum Islam Khaled M. Aboe el
Fadl M. Abou El-Fadl dalam Karya Speaking in God’s Name: Islamic Law,
Authority, and Women.
Faiz, Fahruddin. Hermeneutika Qur’ani.
Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002
Nasr, Sayyed Hossen. Knowledge and Sacred.
New York State University Press.
Kasdi, Abdurrahman, Membangun Peradaban
Umat, Perspektif Sosial, Politik dan Humanisme dalam Islam, Lakpesdam Mesir,
2001
Taimiyyah, Ibnu. 1971. Muqaddimah fi Usul
al-Tafsir. Kuwait: Dar Al-Qur’an al-Karim, 1989
[1]
Perilaku yang tidak berpegang pada prasyarat pengendalian diri dan melibatkan
klaim palsu yang dampaknya adalah penyalahgunaan kehendak Tuhan.
[2] Ayahnya bernama Medhat Abou El Fadl, sedangkan ibunya bernama Afaf
El Nimr. Nama lengkap khaled adalah Khaled Medhat Abou El Fadl, tetapi dalam
banyak tulisan ia disebut dengan Khaled Abou El Fadl, atau Abou El Fadl.
[3]
Teresa Watanabe, “Battling Islamic Puritans," Dalam Los Angeles Times (2
Januari 2002). (dalam Konsepsi jihad Aboe fadl..edisi Disertasi Abid Rohmanu di
Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya)
[4]Khaled M. Abou El Fadl, Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang
dan Sewenang-wenang dalam Islam, terj. Kurniawan Abdullah (Jakarta:
Serambi, 2003), hlm.18
[6] Lihat riwayat pendidikan Abou El Fadl dalam, antara lain, Noha
El-Hennawi, “Khaled Abou El Fadl”, Teresa Watanabe, “Battling ….” hlm.27
[7] Data ini diambil dari situs terbaru UCLA, dimana Abou el
Fadel bekerja sekarang yaitu: http://www.law.ucla.edu/home/index.asp?page=386, diakses
tanggal 8 Januari 2011
[8] Khaled M. Abu fadel. Atas Nama Tuhan : Dari Fiqh Otoriter Ke Fiqih
Otoritatif, terj: Cecep Lukman
Yasin, ( Jakarta, PT Serambi Ilmu Semesta, 2004) hlm.ix
[9] Khaled Abou el-Fadl memberikan salah satu perumpamaan terkait problem
penggunaan simbol bahasa, dia menjelaskan jika dia menggambar sebuah sketsa
manusia. Beberapa orang mungkin akan mengitkan itu dengan kisah adam dan hawa,
sementara itu ada juga yang menggap itu gambar dua orang yang jatuh cinta atau
bisa jadi ada orang yang menganggap bahwa sang penggambar sedang kebosanan dan
kesepianmengharapkan pasangan. Lihat khaled M. Abou...hlm. 133.
[10] Akhm Akhmad Fachruddin dan M. Yardho, Hermeneutika al-Quran Khaled M.
Abou El-Fadl ( Menjunjung Otoritas teks dan Membatasi Otorianisme Pembaca) dalam http://ejournal.sunan-ampel.ac.id/index.php/Al-Afkar/article/viewFile/86/81
[12]
Muhammad bin Isa al-Turmudzi, Sunan al-Turmudzi bab al-Ridha no 1081.
Juga terdapat dalam kitab Aun al-Ma’bud hlm 25. Hadis ini sederajat
dengan hadis tentang sujud kepada suami yakni tidak samapai pada derajat
mutawatir.
[13]
Khan,dkk. Nuzhat al-Muttaqin, jilid pertama, hlm.289.
[14] Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Hibban dan
al-Thabari. lihat ibnu Hanbal, Musnad, jilid keenam hlm.236-237. Hadis lain yang dijadikan pendukung
adalah riwayat yang mengatakan bahwa shalat dan perbuatan baik seorang
istri tidak akan diterima Tuhan selama suaminya masih marah kepadanya (lihat:
Ibnu Hajar al-Asqalani, fath al-Bari, jilid ke Sembilan. Hlm 294) ,
begitu juga riwayat yang mengatakan : para malaikat akan melaknat seorang istri
yang membuat marah suaminya karena menolak ajakannya untuk berhub ungan badan
(lihat, al-Syaukani, Nail al-Authar, jilid ke enam, hlm.209-210)
[15]
Sebenarnya kredibilitas Abu Luhay’ah masih diperdebatkan. Ibnu Hajar berkata
perawi ini adalah shaduq. Hal ini terdapat pada Taqrib al-Tahdzib,
hlm.444. tetapi dalam kitab al-Majruhin
karya Ibnu Hibban, diriwayatkan bahwa perawi ini mentalnya menjadi tidak stabilstelah
bukunya terbakar pada tahun 170 H.
[16] Terdapat juga di QS. al-Nisa’ (4):34
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ
بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar