A. Pengertian
Zakat Profesi
Zakat
profesi dikenal dengan istilah zakah rawatib al-muwazhaffin (zakat
gaji pegawai) atau zakah kasb al-‘amal wa al-mihan al-hurrah (zakat
hasil pekerjaan dan profesi swasta). (Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh az-Zakah,
I/497; Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, II/865; Ali
as-Salus, Mausu’ah al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, hal. 522;
Al-Yazid Ar-Radhi, Zakah Rawatib Al-Muwazhaffin, hal. 17).
Zakat
profesi menurut para penggagasnya didefinisikan sebagai zakat yang dikenakan
pada tiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan
sendiri maupun bersama orang/lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang)
yang memenuhi nishab. Misal profesi dokter, konsultan, advokat, dosen, arsitek,
dan sebagainya. (Didin Hafidhuddin, Panduan Praktis Tentang Zakat, Infaq,
Sedekah, hal. 103; Zakat dalam Perekonomian Modern, hal. 95).
Menurut
al-Qaradhawi nishab zakat profesi senilai 85 gram emas dan jumlah yang wajib
dikeluarkan 2,5%. Menurut Yusuf Qardhawi perhitungan zakat profesi dibedakan
menurut dua cara:Pertama,
zakat dibayar secara langsung dari penghasilan kotor, baik dibayarkan bulanan
atau tahunan. Contoh: seseorang dengan penghasilan Rp 3.000.000 tiap bulannya.
Maka dia wajib membayar zakat sebesar= 2,5% X 3.000.000 = Rp 75.000 per bulan,
atau Rp 900.000 per tahun jika dibayar tahunan.
Kedua,
zakat dibayar setelah dipotong kebutuhan pokok. Contoh: seseorang dengan
penghasilan Rp 1.500.000,- dengan pengeluaran untuk kebutuhan pokok Rp
1.000.000 tiap bulannya. Maka dia wajib membayar zakat sebesar = 2,5% X
(1.500.000-1.000.000) = Rp 12.500 per bulan atau Rp 150.000,- per tahun.
(id.wikipedia.org; Didin Hafidhuddin,ibid, hal. 104).
B. Sejarah
Zakat Profesi
Zakat
profesi adalah masalah baru, tidak pernah ada dalam sepanjang sejarah Islam
sejak masa Rasulullah SAW hingga tahun 60-an akhir pada abad ke-20 yang lalu,
ketika mulai muncul gagasan zakat profesi ini. Penggagas zakat profesi adalah
Syeikh Yusuf Qaradhawi dalam kitabnya Fiqh Az Zakah, yang cetakan
pertamanya terbit tahun 1969. Namun nampaknya Yusuf Qaradhawi dalam hal ini
mendapat pengaruh dari dua ulama lainnya, yaitu Syeikh Abdul Wahhab Khallaf dan
Syeikh Abu Zahrah.
Kajian
dan praktik zakat profesi mulai marak di Indonesia kira-kira sejak tahun 90-an
akhir dan awal tahun 2000-an. Khususnya setelah kitab Yusuf Qaradhawi tersebut
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Didin Hafidhuddin dengan
judul Fikih Zakat yang terbit tahun 1999.
Sejak
saat itu zakat profesi mulai banyak diterapkan oleh lembaga pengelola zakat di
Indonesia, baik BAZ (badan amil zakat) milik pemerintah, baik BASDA atau
BASNAZ, maupun LAZ (lembaga amil zakat) milik swasta, seperti PKPU, Dompet
Dhuafa, dan sebagainya.
C. Hukum
Zakat Profesi
Terdapat khilafiyah (perbedaan
pendapat) di kalangan ulama ataupun lembaga dakwah/fatwa dalam masalah zakat
profesi. Ada sebagian yang membolehkan zakat profesi, seperti Syeikh Abdul
Wahhab Khallaf, Syeikh Abu Zahrah, Yusuf Qaradhawi, Prof. Didin Hafidhuddin,
Quraisy Syihab, Majelis Tarjih Muhammadiyah, MUI (Majelis Ulama Indonesia).
Namun
ada pula sebagian yang tidak setuju dan tidak membolehkan zakat profesi, dengan
alasan utama bahwa zakat profesi tidak pernah dicontohkan oleh Nabi SAW. Mereka
misalnya Dr. Wahbah Az Zuhaili, Prof. Ali As Salus, Syeikh Bin Baz,
Syeikh Muhammad bin Shaleh Utsaimin, Hai`ah Kibaril Ulama, Dewan Hisbah PERSIS,
dan juga Bahtsul Masail NU. (lihat : Ahmad Sarwat, Zakat Profesi : Antara
Penentang Dan Pendukung (Part 1), www.facebook.com; Zakat Profesi dalam
Islam, http://www.konsultasisyariah.com; Maqalaat
Al Mutanawwi’ah, Syeikh Abdul Aziz bin Baaz 14/134, Syeikh Muhammad bin
Shaleh Al Utsaimin, Majmu’ Fatawa wa Ar Rasaa’il 18/178; Majmu’
Fatawa Haiah Kibaril Ulama Saudi Arabia, 9/281, fatwa no: 1360).
Mereka
yang membolehkan zakat profesi mempunyai dalil (landasan), antara lain sebagai
berikut :
Pertama,
menurut Al-Qaradhawi, landasan zakat profesi adalah perbuatan sahabat yang
mengeluarkan zakat untuk al-maal al-mustafaad (harta
perolehan). Al-maal al-mustafaad adalah setiap harta baru yang
diperoleh seorang muslim melalui salah satu cara kepemilikan yang disyariatkan,
seperti waris, hibah, upah pekerjaan, dan yang semisalnya. Al-Qaradhawi mengambil
pendapat sebagian sahabat (seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud) dan sebagian
tabi’in (seperti Az-Zuhri, Hasan Bashri, dan Makhul) yang mengeluarkan zakat
dari al-maal al-mustafaad pada saat menerimanya, tanpa
mensyaratkan haul (dimiliki selama satu tahun qamariyah).
Bahkan
al-Qaradhawi melemahkan hadis yang mewajibkan haul bagi harta zakat,
yaitu hadis Ali bin Abi Thalib RA, bahwa Nabi SAW bersabda”Tidak ada zakat pada
harta hingga berlalu atasnya haul.” (HR Abu Dawud). Alasan Yusuf Qaradhawi
menganggap lemah (dhaif) hadis tersebut, karena ada seorang periwayat hadis
bernama Jarir bin Hazim yang dianggap periwayat yang lemah. (Yusuf
Al-Qaradhawi, ibid., I/491-502; Wahbah az-Zuhaili, ibid., II/866).
Kedua,
ulama lain menambahkan dalil lain dari yang telah dikemukakan Qaradhawi di
atas, yaitu keumuman ayat ke-267 dari surat Al Baqarah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik…” (QS
Al Baqarah [2]:267)
Ada
pula ulama yang menambah dalil lain lagi, yaitu surat Adz Dzariyat ayat ke-19
sebagai berikut :
وَفِى أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ
لِلسَّآئِلِ وَالْمَحْرُوْمِ
“Dan
pada harta-harta mereka, ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang
miskin yang menahan diri (daripada meminta).” (QS Adz Dzariyat [51]:19)
Analisis
Kritis
Menurut
analisis penulis, zakat
profesi tidak mempunyai dalil yang kuat sehingga hukumnya tidak wajib.
Argumentasi penulis adalah sebagai berikut :
Pertama,
dalil utama dari zakat profesi adalah ijtihad sahabat mengenai al-maal
al-mustafaad yang tidak mensyaratkan haul. Padahal ijtihad sahabat (mazhab
al-shahabi) bukanlah dalil syariah yang kuat (mu’tabar). .
Kedua,
pendapat yang lebih kuat (rajih) mengenai al-maal al-mustafaad adalah
pendapat jumhur ulama, yaitu harta tersebut tidak wajib dikeluarkan zakatnya,
hingga memenuhi syarat berlalunya haul. Inilah pendapat sahabat Abu Bakar,
Umar, Utsman, dan Ali. Juga pendapat imam mazhab yang empat. (Al-Yazid
Ar-Radhi, Zakah Rawatib Al-Muwazhaffin,hal.19; Wahbah
az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, II/866).
Ketiga,
tidak tepat penilaian Al-Qaradhawi bahwa hadis tentang haul adalah
hadis lemah (dhaif). Al-Qaradhawi sebenarnya mengikuti pendapat Imam Ibnu Hazm
yang melemahkan hadis haul dari jalur Ali bin Abi Thalib RA,
karena ada perawi bernama Jarir bin Hazim yang dinilai lemah.
(Al-Qaradhawi, Fiqh az-Zakah, I/494; Ibnu Hazm, Al-Muhalla, VI/70). Padahal
Ibnu Hazm telah meralat penilaiannya, dan lalu mengakui bahwa Jarir bin Hazim
adalah perawi hadis yang sahih. (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, VI/74).
Keempat, ayat-ayat
yang dikemukakan sebagai dalil zakat profesi sesungguhnya tidak tepat dan tidak
dapat menjadi landasan zakat profesi. Mengapa? Sebab sungguhpun ayat-ayat
tersebut mempunyai pengertian umum yang mewajibkan infaq (mengeluarkan harta),
tapi keumumannya sudah dikhususkan dan dijelaskan oleh hadits-hadits Nabi SAW.
Dalam hal ini hadits-hadits Nabi SAW hanya menjelaskan ada 2 (dua) macam zakat
saja, yaitu zakat fitrah, dan zakat maal yang meliputi 4 (empat) macam mal
(harta), yaitu : zakat binatang ternak (zakat al mawasyi), zakat tanaman dan
buah-buahan (zakat az zuruu’ wa ats tsimaar), zakat perdagangan (zakah at
tijarah), dan zakat emas dan perak (zakah adz dzahab wa al fidhdhah)
termasuk dalam hal ini zakat uang. Tidak ada satu pun dari hadits-hadits Nabi
SAW yang mensyariatkan adanya zakat profesi.
Maka
dari itu, berhujjah dengan keumuman ayat-ayat sebagai dasar zakat profesi tidak
dapat diterima dan jelas tertolak, karena kaidah ushul fiqih menetapkan jika
dalil yang umum sudah dikhususkan/dijelaskan dalam hadits-hadits Nabi SAW, maka
keumumannya tidak boleh lagi digunakan sebagai hujjah (landasan). Kaidah ushul
fiqih tersebut berbunyi : al
‘aam yabqaa ‘ala ‘umuumihi maa lam yarid dalil at takhsis (dalil
umum tetap dalam keumumannya selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkan).
D. Kesimpulan
Kesimpulan
penulis, zakat profesi tidak wajib dalam Islam karena dalil-dalilnya sangat
lemah. Maka uang hasil profesi tidak sah dikeluarkan zakatnya saat menerima,
tapi wajib digabungkan lebih dulu dengan uang yang sudah dimiliki sebelumnya.
Zakat baru dikeluarkan setelah uang gabungan itu mencapai nishab dan berlalu
haul atasnya. (Ali as-Salus,Mausu’ah al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, hal.
523). Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar