NASR HAMID ABU ZAID EXEGESIS
Presented by: Khoirun Nisa,THK 09 UIN SUKA
A.
Pendahuluan
Hermeneutika, selain mempunyai peran yang cukup besar dalam bidang
ilmu sejarah dan kritik teks. khususnya kitab suci. Dalam prakteknya
hermeneutika lebih sering dipakai sebagai metode memahami al-Qur’an. Istilah hermeneutika
dalam sejarah studi Islam belum mucul dalam tafsir al-Qur’an klasik, walaupun
benih-benih hermeneutik sebenarnya sudah ada sejak masa sahabat. Istilah
hermeneutika modern baru mulai menjadi
populer beberapa dekade terakhir, hal ini didukung dengan berkembangnya
teknologi dan informasi serta meningkatnya semangat keilmuan terhadap
al-Qur’an. Hal inilah yang kemudian melahirkan
beberapa intelektual muslim kontemporer yang konsentrasi dalam studi al-Qur’an.
Salah satunya adalah Nasr Hamid Abu
Zayd.
Dalam studi ulumul Qur’an, Nasr Hamid Abu Zayd memunculkan beberapa
isu baru serta menarik. Dintaranya adalah isu mengeanai kritik al-Qur’an. ia
menyatakan bahwa al-Qur’an adalah Muntaj al-Saqafi> atau al-Qur’an
adalah produk budaya. Isu ini sangat menggemparkan dunia islam karena dianggap
telah menyalahi konsep al-Qur’an yang telah mapan oleh kesepakatan ulama. Dalam
tulisan ini, pemakalah akan memaparkan sedikit dari Nasr dan pemikirannya mengenai
teks, cara pemahaman terhadap teks dengan menggunakan metode hermeneutika, yang
akan diperjelas dengan aplikasi teori.
B.
Biografi
dan Karya-karyanya
Nasr Hamid Abu Zaid adalah salah satu tokoh pemikir
islam modern yang banyak melahirkan pemikiran-pemikiran baru. Tokoh ini berasal
dari mesir disaat Negara mesir baru membentuk diri. Nas}r Ha>mid lahir
pada tanggal 10 juli 1943 di desa Qahafah, dekat kota Tanta, Mesir. Nama
lengkapnya adalah Nasr Hamid Rizk Abu Zaid, orang tuanya memberi nama Nasr
dengan harapan semoga ia selalu membawa kemenangan atas lawan-lawannya,
mengingat kelahirannya bertepatan dengan perang dunia II. Bapaknya adalah
seorang aktivis al-Ikhwan al-Muslimun dan pernah dipenjara menyusul eksekusinya
Sayyid Quthb. Nas}r Ha>mid berasal dari keluarga religius. Ketika
usianya mencapai 8 tahun, Nasr Hamid sudah menghafalkan al-Qur’annya hingga
hatam sehingga dia dipanggil “Syaikh Nasr” oleh anak-anak di desanya.
Seperti anak-anak seumurnya, selain mengikuti
pendidikan formal di sekolah negeri setempat, Nas}r Ha>mid juga
mengikuti pendidikan agama secara non-formal di kuttab atau lembaga pendidikan
tradisional yang ada di daerahnya. Di kuttab itulah Nas}r Ha>mid belajar
membaca, menulis, dan juga menghafal al-Qur’an, disamping menerima
pelajaran-pelajaran keagamaan tradisional yang lain. Oleh karena itu, dilihat
dari sisi sosialnya (perang dunia II dan kondisi mesir yang masih stabil) dan
keluarganya, Nas}r Ha>mid lebih banyak menelurkan pemikiran-pemikiran
yang progresif, salah satunya adalah tentang teks al-Qur’an. Menurutnya, kode
dan “saluran” al-Qur’an dipahami sebagai text poetic yang terstruktur
yang keberadaanya tidak masuk kategori teks puisi. Artinya, al-Qur’an tetap
sebagai teks keagamaan yang memiliki banyak fungsi. Untuk itu, Nas}r Ha>mid
menjadikan teks al-Qur’an sebagai teks terbuka yang menuntut adanya
interpretasi bahasa. Karena itu, analisis linguistik diharapkan mampu
meminimalisasi subjektivitas dan tarikan kepentingan pembacanya (pembaca
al-Qur’an).[1]
Pada bulan april 1992, pada usianya yang ke-49, Nas}r
Ha>mid menikahi Dr. Ibtihal Ahmad Kamal Yunis, professor bahasa inggris
prancis dan sastra perbandingan di universitas kairo. Satu bulan kemudian, 9
mei 1992, beliau mengajukan promosi professor penuh di universitas kairo. Namun
ini merupakan awal dari tragedi hidupnya, sebuah peristiwa yang telah
mempengaruhi sejarah mesir dan dunia islam secara umum. Nas}r Ha>mid menyerahkan
dua bukunya, al-Imam al-Syafi’I dan Naqd al-Kitab al-Dini, serta
sebelas paper akademik lainnya kepada panitia penguji. Meskipun dua dari tiga
komite menyetujui karya-karyanya, panitia pada akhirnya mengadopsi pandangan
Dr. Abd al-Shabur al-Syahin, yang telah menuduh Nas}r Ha>mid merusak
ortodoksi islam yang berkaitan dengan al-Qur’an, Nabi, Sahabat, Malaikat, dan
makhluk ghaib lainnya. Panitia pun menolak pengajuan promosinya.[2]
Penolakan terhadap promosi Nas}r Ha>mid
ini memunculkan polemik para kaum intelektual di media masa. Banyak sekali
artikel maupun buku yang ditulis sebagai respon terhadap karya-karya Nas}r
Ha>mid yang isinya saling perang argumentasi antara pihak yang pro Nas}r
Ha>mid dan kelompok yang kontra terhadapnya. Kelompok yang menentang
beliau, menulis buku berjudul “Qis}sa}h Abu> Za>id wa Inhisar
al-‘Alama>niyah fi Jami’ah al-Qa>hirah” yang ditulis oleh Prof. Abd
Shabur Syahin.[3]
Namun, ceritanya tidaklah berhenti disitu, beberapa islamis menuduh Nas}r Ha>mid
Murtad. Beberapa pengacara yang sejalan dengan pendirian para islamis ini
kemudian membawanya ke pengadilan tingkat pertama Giza pada 1993 yang menuntut
perceraian dengan Ibtihal Yunis. Akhirnya, pada 14 juni 1995, pengadilan
banding kairo memutuskan bahwa Nas}r Ha>mid adalah seorang yang
murtad dan dia harus diceraikan dari istrinya, ibtihal. Keputusan ini kemudian
dimantabkan kembali pada 5 agustus 1996 oleh pengadilan kasasi Mesir.[4]
Nas}r Ha>mid menghembuskan
nafas terakhirnya di rumah sakit spesialis as-Syeikh Zaid, kairo (sebagaimana
dilansir situs al-Ahram). Sedangkan situs Masrawi menyebutkan bahwa Nas}r
Ha>mid meninggal pada umur 67 tahun, setelah diserang virus tak dikenal
pasca kunjungannya beberapa minggu sebelumnya di Indonesia.
Adapun sejarah pendidikannya, Nas}r Ha>mid menyelesaikan
gelar BA pada 1972 konsentrasi Arabic Studies. Pada saat itu, Nas}r Ha>mid
lulus dengan predikat Cumlaude (sangat memuaskan) sehingga ia
diangkat sebagai asisten dosen di almamaternya. Gelar MA pada tahun 1977 dan memperoleh
gelar doctor, PhD. pada 1981 dengan konsentrasi Islamic Studies di Universitas
Kairo. Beliau menulis disertasi yang berjudul “Falsafah al-Ta’wil ‘inda Muhy al-Din Ibn al-‘Arabi”
(Filsafat Takwil: Studi Hermeneutika al-Qur’an Muhy al-Din Ibn al-‘Arabi), yang
dipublikasikan pada 1983 dengan nilai memuaskan dan dengan penghargaan tingkat
pertama (Martabah ma’a al-Syaraf al-Ula).[5] Beliau bekerja sebagai
dosen di Universitas yang sama sejak 1982. Pada tahun 1992, beliau dipromosikan
sebagai professor, tetapi ditolak karena hasil kerja dan pemikirannya yang
kontroversial, diantaranya menghujat para sahabat Nabi. Sebelumnya, pada tahun
1978 beliau menjadi fellow pada Centre for Middle East Studies di universitas
pensylvania, Philadelphia, Amerika Serikat, dimana Abu Zaid mempelajari
ilmu-ilmu sosial dan humanitas, khususnya teori-teori tentang cerita rakyat (folklore).
Pada periode inilah, Abu Zaid menjadi akrab dengan hermeneutika barat. Dia
menulis artikel “al-Hirmiiniyutiqa wa Mu’dhilat Tafsir al-Nashsh”
(hermeneutika dan problem penafsiran teks) yang menurut pengakuannya merupakan
artikel pertama tentang hermeneutika yang ditulis dalam bahasa arab.[6]
B.
Karya-karyanya
Nas}r
Ha>mid Abu> Zaid merupakan ilmuwan muslim yang sangat produktif. Ia
menulis lebih dari dua puluh Sembilan (29) karya sejak tahun 1964 sampai 1999,
baik berbentuk buku, maupun artikel. Diantara karya-karyanya yaitu:
1.
The
al-Qur’an: God and Man in Communication
(Leiden, 2000)
2.
Al-Khita>b
wa al-Ta’wi>l (Dar el-Beida, 2000)
3.
D{awa>ir
al-Khauf, Qira’ah fi al-Khitah al-Mar’ah (Dar
el-Beida, 1999)
4.
Al-Nas}s}
al-Sultah, al-Haqi>qah: al-Fikr al-Dini baina Iradat al-Ma’rifah wa Iradat
al-Haimanah (Cairo, 1995)
5.
Al-Tafki>r
fi Zama>n al-Tafki>r: Didda al-Lahl wa al-Zayf wa al-Khurafah (Cairo,
1995)
6.
Naqd
al-Khita>b al-Dini>y (Cairo: 1994)
7.
Mafhu>m
al-Nas}h: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an (Cairo,
1994)
8.
Falsafah
al-Ta’wi>l: Dirasah fi al-Ta’wil al-Qur’an ‘inda Muhyi al-Din Ibn al-‘Arabiy
(Beirut, 1993)
9.
Al-Ittijah
al-‘Aqli fi al-Tafsi>r: Dirasah Qaqiyyat al-Majaz fi al-Qur’an (Beirut,
1982)
10. Al-Ima>m al-Syafi’i wa Ta’si>s
al-Aidiulujiyyah al-Wasat}iyyah.
Sedangkan
karya-karya lain dan beberapa tulisan lepas Abu Zaid yang dimuat dalam majalah
meupun yang dicetak dan diterbitkan banyak sekali, antara lain:
1.
Hakadza
Takallama Ibn ‘Arabi> (beginilah Ibnu ‘Arabi
berdialog)
2.
Sirah
Nabawiyah Sirah Syu’ubiyyah, dalam Journal of
Osaka University of Foreign Studies, no. 71 (1986)
3.
Al-Ghaza>li’s
Theory of Interpretation. Dalam Journal of
Osaka University of Foreign Studies, no. 72 (1987)
4.
Mahfu>m
al-Nidha>m ‘inda Abd al-Qa>hir, Qira>’ah fi Dhaui’ al-Ushuliyyah, dalam
jurnal Fusul, jilid 5 pertama, mesir, 1985.
5.
Al-Maqa>sid
al-Kulliyyah Li Syari’ah: Qira’ah Jadidah, dalam
al-‘Arabi, No. 426 mei, 1994.
6.
Niam
wa Tamri>r, Madha>min al-Must}}haliha>t, dalam:
al-‘Arabi, No. 429 agustus, 1994.
7.
Al-Khila>fah
wa Shultah al-Ummah, Dar al-Nahr li Nasyr wa al-Sauri, Kairo,
2, 1995.
8.
Al-Tura>ts
baina al-Tafsi>r wa al-Talwi>n: Qira’ah fi Masyri al-Yasar al-Islam, majalah
alif, Universitas Amerika, Kairo, 1990.
9.
Al-Nus}us}
al-Diniyyah baina al-T{a}rihi wa al-Wa>qi’, majalah
Qadhaya wa al-Syahadah, Muassasah Aibali fi Dirasah wa Nasyr, No. 2, 1990.
10. Mata> al-Ra>jul wa Bada>’ah
Muhakkamatuh, Adab wa Naqd, Kairo, 101, januari,
1994:67
C.
Konsep
Teks: Al-Qur’an Produk Budaya
Sebagai intelektual dan pemikir
keislaman, nama Nas}r Ha>mid Abu> Za>id sudah tidak asing lagi
ditelinga para pemikir islam. Kehadirannya dengan wacana pemikiran keagamaan
telah ikut mewarnai khazanah pemikiran islam, dengan tidak langsung
memposisikan dirinya dalam percaturan pemikiran islam kontemporer. Dalam
bukunya yang berjudul “Mafhu>m al-Nash” Nas}r Ha>mid Abu> Za>id
mengatakan al-Qur’an adalah produk budaya (Muntaj s}aqafi) dan juga
menjadi produsen budaya (Muntij li al-s}aqafah) karena menjadi teks yang
hegemonik dan menjadi sumber atau rujukan bagi teks yang lain. Message al-Qur’an
adalah analisa kritis sejarah dan memang telah menyejarah[7].
Sebagai
teks bahasa, al-Qur’an dapat disebut sebagai teks sentral atau pusat dalam
sejarah peradaban arab. Dalam arti, bahwa dasar-dasar ilmu dan budaya
arab-islam tumbuh dan berdiri tegak diatas suatu landasan yang mana “teks”
sebagai pusatnya tidak dapat di abaikan. Namun ini tidak berarti bahwa yang
membangun peradaban hanya teks semata. Peradaban dibentuk oleh dialektika
manusia dan segala sesuatu yang membentuknya (seperti ekonomi, sosial, budaya,
dan politik). Sedangkan dalam peradaban kita “orang islam”, al-Qur’an memiliki
peran budaya yang tak dapat diabaikan dalam membentuk wajah peradaban dan dalam
menentukan sifat dan watak ilmu-ilmu yang berkembang didalamnya.[8] Sebagai teks bahasa juga,
al-Qur’an tidak hanya bisa difahami dalam sisi lafadznya saja, namun juga dari
maksud dan arti yang terkandung di dalamnya sehingga menunjukkan arti yang
mendalam dari teks bahasa tersebut dan dapat membantu kita dalam menjelaskan
watak ideology yang bermanfaat (baik) dalam menginterpretasikan teks.[9]
Oleh karena itu, dalam pembahasan
disini kita akan membahas tentang konsep teks perspektif bahasa dan budaya,
yakni dari makna semantik. Tujuan dari konsep teks ini adalah untuk mengungkap
sebagian karakteristik khas budaya Arab-Islam dalam dimensi
tradisional-historis, sebagai upaya untuk lebih memahami realitas kultural
kontemporer kita. Dalam konteks ini, tahap pertama adalah dengan mengungkap
makna semantis dari kata an-Nas} (teks) dalam bahasa.
Makna semantis dari kata al-Nas} dalam
bahasa. Hal ini dilakukan karena bahasa merepresentasikan system pokok yang
bermakna dalam struktur budaya secara umum. Mengungkap makna semantis serta
melacak perkembangannya (dari makna terminologis/definisi) merupakan upaya
pengungkapan konsep tersebut dalam ilmu-ilmu budaya arab secara umum.
Contohnya:
Dalam bahasa eropa, makna teks berarti suatu
jalinan relasi semantis struktural yang melampaui batas-batas kalimat dalam
pengertian gramatikal. Sedangkan, dalam bahasa arab, dalam Lisa>n
al-Arab, makna teks/al-Nas} berarti tampak atau tersingkap. Makna
ini masih kita gunakan dalam bahasa kontemporer saat ini, yakni bisa kita lihat
dari kata Minashshah (منصة) yakni mimbar
atau pelaminan. Sedangkan dalam penggunaan lama, kata ini berarti tempat yang diduduki
pengantin sebagai dekorasi yakni Jalwah (dekorasi) yang biasa digunakan
dalam dialek sehari-hari, dan juga berarti tampak dan tersingkap. Berikut ini
adalah contoh melacak perkembangan historis dari makna kata tersebut, yakni
dari makna materiil (al-Hissi) ke makna konseptual (al-Maknawi):
a.
makna materil:
o Nus}s}a ad-da>bah- rafa’a jidaha bi
al-miqwad likai yastahitstsaha ‘ala as-sur’ah fi as-sair (ia
menarik leher hewan itu sehingga terangkat dengan tali kendali agar berjalan
cepat).
b.
Peralihan
dari makna materiil:
o Al-nas} wa at-tanshis=as-sair
asy-syadid (perjalanan yang berat).
o Nas}s}a al-umu>r= syadiduha (perkara-perkara
yang berat).
c.
Peralihan
pada makna konseptual:
o Nas}s}a ar-rajul= seseorang
menanyainya tentang sesuatu hingga terungkap apa yang ada padanya.
o Balaga al-nisa>’ nashsha al-haqaq= perempuan
itu sudah mencapai usia baligh.
d.
Jika masuk pada makna terminologis:
o Isnad (dalam
ilmu hadits)
o Nas}} (berarti
at-taufiq)
o Ta’yin (penentuan)
Dari urutan diatas, sudah jelas bahwa dari makna
sentral beralih dari makna materiil menuju makna konseptual dan masuk ke dalam
makna terminologis itu tidak mengalami perubahan besar. Dan kata nas} ini
sekalipun telah berubah menjadi istilah semantis, ia masih menunjukkan makna
yang jelas dengan sendirinya. Dengan kata lain, bahwa kata nas} menjadi
terminology semantis procedural yang menunjukkan sebagian makna yang
ditunjukkan oleh kata itu sendiri sekarang ini.
Kajian terhadap teks al-Qur’an yang dilakukan oleh
Nasr, sebnarnya berangkat dari sejumlah fakta-fakta yang ada di sekitar
al-Qur’an itu sendiri yang dibentuk oleh peradaban Arab didukukng dengan hasil
yang ia peroleh melalui teori sastranya. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
sebelum teks al-Qur’an turun, realitas budaya Arab sudah ada. Selain itu,
perjalanan turunnya teks dari awal hingga akhir tidak bisa dilepaskan dari realitas dan budaya yang telah ada. Atau
dengan kata lain teks al-Qur’an terbentuk atau diturunkan kepada Nabi Muahmmad,
bkan pada masyarakat yang kosong dari budaya, tetapi teks tersebut terbentuk di dalam realitas budayalebih dari
20 tahun.[10]
Pernyataan yang diberikan Nasr, bahwa al-Qur’an
adalah produk budaya tentu tidak terlepas juga latar belakang Nasr sebagai
seorang sastrawan, sehingga ada kemungkinan teori-teori sastra yang ia pelajari
berpengaruh terhadap pemikiran-pemikirannya. Jika ditelusuri, Anggapan bahwa
teks al-Qur’an adalah produk budaya sebenarnya diambil dari teori kritik
sastra. Lucian Gpldman menganggap bahwa karya sastra adalah sebuah struktur
sebagai produk sejarah yang terus berlangsung. Sementara itu, sosiologi sastra
memandang bahwa karya sastra dihasilkan melalui anatarhubungan bermakna, yaitu
subjek kreator dan masyarakat. Teori ini memandang karya sastra sebai bagian
dari masyarakat, yaiatu sebagai dokumen social. Seorang pengarang tidak mungkin
menciptakan suatu karya tanpa realitas yang melatar belakanginya. Oleh karena
itu, karya sastra adalah produk masyrakat tertentu. Mungkin inilah teori sastra
yang mempengaruhi nasr, sehingga ia berani mengatakatan bahwa al-Qur’an adalah
produk budaya.[11]
D.
Teori Hermeneutika Nasr Hamid
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa al-Qur’an merupakan
produk budaya. Karena ia turun dalam
masyarakat yang kental dengan budaya yang begitu kompleks, sehingga dalam
memahami al-Qur’an konteks budaya yang melingkupi saat teks al-Qur’an tersebut
turun harus diperhatikan. Paling tidak dengan menggunakan asba>b al-nuzu>l,
baik mikro maupun makro.
Analisis terhadap latar belakang konteks yang terjadi dianggap
sangat penting, mengapa? Karena hal ini disebabkan karena pesan al-Qur’an tidak memiliki berbagai
pengaruh jika masyarakat Arab yang pertama kali menerima tidak mampu memahami
pesan tersebut. Sementara masyarakat Arab tersebut hanya bisa memahami pesan
dalam konteks sosial budaya mereka sendiri.[12]
Hal inilah yang kemudian menyebabkan lahirnya perbedan pemahaman terhadap pesan
teks al-Qur’an oleh masyarakat dengan konteks sosial budaya yang saling
berbeda.
Pemahaman ulama di masa awal Islam terhadap
pesan teks tidak dianggap sebagai pemahaman yang final, absolut, sehingga tidak
bisa dirubah. Karena pada hakekatnya semua bahasa termasuk bahasa al-Qur’an, selalu mengalami
perkembangan secara dinamis melalui proses pengkodean secara terus menerus dan
tidak berakhir. Hal ini bararti teks akan mengalami produksi makna yang tidak
berujung, atau dalam istilah Nasr teks akan memiliki makna yang berkembang
menjadi signifikansi. Produksi makna akan selalu berkembang dan beragam
bentuknya, akibat perbedaan konteks dan metode yang dipakai. Seseorang
interpreter yang kompeten boleh mengungkap makna teks (interpretasi), akan
tetapi Nasr memberi batasan-batasan dalam interpretasi teks sebagaimana
berikut:
Pertama, menghindari
pembacaan yang terikat (al-qira>’ah ghair al-bari>ah)[13]. Beberapa
teori kontemporer biasanya menekankan aspek internal teks sebagai
hubungan-hubungan semantis yang terpaku pada data-data kebahasaan yang terdapat
pada teks, sehingga mengabaikan hubungan teks dengan dunia luar. Padahal teks
tidak bisa dipisahkan dari faktor-faktor ekternal, yang melingkupi teks tersebut turun.
Kedua, menghindari pembacaan
tendensius (al-qira>’ah al mugrid}ah)[14].
Pembacaan tendensius merupakan pembacaan teks yang dilakukan sesuai dengan
ideologi yang dianut oleh seorang interpreter.[15]
Pembacaan berdasarkan ideologi, dan mendukung kepentingan sendiri akan
menghasilkan pemahaman yang subjektif. Karena sejak awal interpreter memiliki
kepentingan dan berusaha agar hasil interpretasinya sesuai dengan keinginannya.
Oleh karena itu, sebelum melakukan interpretasi, seorang interpreter harus
meningggalkan semua horizon subjektif dari otaknya.
Ketiga,
memisahkan dua dimensi makna teks, yakni dala>lah (ma’na>) dan
magza>. Langkah ini sangatlah penting dilakukan agar interpretasi teks
tidak tunduk terhadap ideologi interpreter yang serampangan dan vulgar.[16] Dari
sinilah kemudian Nasr menawarkan sebuah model pembacaan yang disebut dengan al-qira>’ah
al muntijah (pembacaan produktif).
Model al-qira>’ah
al muntijah merupakan model pembacaan yang berorientasi pada dala>lah
dan magza>. Pada dasarnya dala>lah dan magza> adalah dua bentuk yang digunakan untuk satu pekerjaan. Magza> tidak bisa dilepaskan dari sentuhan dala>lah,
sebab dala>lah yang akan bertugas mengantarkan magza> ke
makna yang paling jauh.[17]
Sementara itu, untuk mengungkapkan makna dala>lah harus melalui media
tanda. Dengan demikian, al-qira>’ah al muntijah merupakan pembacaan
yang berangkat dari analisis tanda bahasa untuk memperoleh makna tekstual,
setelah itu kembali ke asal atau dihubungkan dengan makna konteks
sosio-historis untuk memperoleh Magza>.
Seperti
dijelaskan di atas, konteks (siya>q), memiliki peran yang sangat
penting dalam proses interpretasi. Nas}r menunjukkan bahwa siya>q walaupun
bentuknya singular, akan tetapi ia mencakup banyak dimensi,
yaitu:
1.
Konteks
sosio-kultural (al siya>q al-saqa>fi> al-ijtima>’i)
2.
Konteks
eksternal(al siya>q al-kha>riji>)
3.
Konteks
internal(al siya>q al-da>hili>)
4.
Konteks
bahasa(al siya>q al-lugawi>)
5.
Konteks
pembacaan atau penakwilan(al siya>q al-qira>’ah atau al siya>q
al-ta’wi>l).
Konteks sosio-kultural (al siya>q al-saqa>fi>
al-ijtima>’i) adalah hubungan teks dengan sesuatu di luar teks dalam
berbagai hal. Teks-teks bahasa merupakan segala sesuatu yang menggambarkan sumber
kognitif komunikasi dengan menggunkan bahasa.[18] Dengan
kata lain bahasa menggambarkan kumpulan aturan-aturan tradisi atau konvensi
masyarakat tertentu, berawal dari tingkat suara atau bunyi yang memiliki makna.
Karena bergantung pada masyarakat. Sumber pengetahuan mengenai tradisi dapat ditelusuri
dengan segala macam tempat-tempat dan tradisi yang tampak dalam bahasa dan peraturannya.
Konteks eksternal (al siya>q al-kha>riji>),
merupakan gambaran konteks percakapan. Yaitu hubungan komunikasi antara kha>tib dan mukhatab. Sehingga teks sangat
kental dengan aspek sejarah yang menciptakan teks dan berhubungan dengan
perubahan alami para audiensnya. al
siya>q al-kha>riji tidak cukup dengan persoalan asba>b al-nuzu>l
makki-madani saja, akan tetapi bisa dilihat dari dalam teks al-Qur’an itu
sendiri, tidak harus melalui riwayat. Inilah yang disebut dengan asbab al-nuzul
makro.
Adapun mengenai Konteks internal (al siya>q
al-da>hili>) adalah hubungan terhadap bagian atau struktur teks.
al-Qur’an merupakan kesatuan struktural yang memiliki masing-masing bagian yang
saling berkaitan. Oleh karenanya, dilakukan munasabah antar ayat dan
surat-surat dengan melihat aspek isi dan stilistika kebahasaan teks al-Qur’an.
Selain munasabah, konteks lain yang perlu diperhatikan adalah konteks
diskusi atau konteks pembicaraan yang mencakup konteks kisah (siya>q
al-qis}s}}ah), ancaman (siya>q nahi wa amr, al-targi>b wa
al-tarhi>b), pedebatan(siya>q jadal), tahdid, inza>r,
akidah, syari’at, halal, haram, mubah, makruh, sunnah, dan sebagainya[19].
Mengenai Konteks bahasa (al siya>q al-lugawi>),
nasr mengutip Abdul Qa>hir, bahwa merupakan analisis terhadap
fenomena-fenomena gaya bahasa pada tingkatan jumlah kalimat, seperti fenomena al-taqdi>m,
al-ta’khi>r, al-haz}f, al-id}ma>r, hubungan antar kalimat, bala>ghah
dan analisis kebahsaan pada umumnya.[20] Nasr
menambahi bahwa perlu untuk memperluas analisis demi menyingkap dala>lah
masku>t ‘anha (makna yang tersembunyi). Sehingga analisis Konteks bahasa
tidak hanya bertujuan untuk menggali makna gramatikal, tetapi juga harus mampu
mengungkap makna yang tersembunyi. dala>lah masku>t ‘anha (makna
yang tersembunyi) bisa dicari dengan menyingkap makna terdalam dari hubungan
yang saling desak-desakkan antara sesuatu yang terdapat di luar teks dengan
makna pada konteks bahasa.
Sedangkan konteks terakhir yakni Konteks pembacaan atau
penakwilan(al siya>q al-qira>’ah atau al siya>q al-ta’wi>l)
adalah pembacaan teks yang memisahkan keterkaitan dari ideologi seorang
interpreter, Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya.
E.
Contoh
penafsiran
Untuk mendapatkan gambaran mengenai aplikasi teori yang
telah disinggung di atas, pemakalah akan menghadirkan contoh mengenai hukum
waris yang terdapat pada Q.S.
al-Nisa [4]: 7-11) yang berbunyi:
ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# tbqç/tø%F{$#ur Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur
Ò=ÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$#
cqç/tø%F{$#ur
$£JÏB ¨@s%
çm÷ZÏB
÷rr&
uèYx.
4 $Y7ÅÁtR
$ZÊrãøÿ¨B ÇÐÈ #sÎ)ur u|Øym spyJó¡É)ø9$# (#qä9'ré& 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur ßûüÅ6»|¡yJø9$#ur
Nèdqè%ãö$$sù çm÷YÏiB
(#qä9qè%ur óOçlm; Zwöqs% $]ùrã÷è¨B ÇÑÈ |·÷uø9ur úïÏ%©!$# öqs9
(#qä.ts?
ô`ÏB óOÎgÏÿù=yz ZpÍhè $¸ÿ»yèÅÊ (#qèù%s{
öNÎgøn=tæ (#qà)Guù=sù ©!$#
(#qä9qà)uø9ur Zwöqs% #´Ïy ÇÒÈ ¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù't tAºuqøBr&
4yJ»tGuø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ)
tbqè=à2ù't Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR ( cöqn=óÁuyur #ZÏèy
ÇÊÉÈ ÞOä3Ϲqã ª!$#
þÎû öNà2Ï»s9÷rr& (
Ìx.©%#Ï9
ã@÷VÏB
Åeáym Èû÷üusVRW{$#
4 bÎ*sù
£`ä. [ä!$|¡ÎS
s-öqsù
Èû÷ütGt^øO$#
£`ßgn=sù $sVè=èO
$tB
x8ts?
( bÎ)ur
ôMtR%x. ZoyÏmºur $ygn=sù ß#óÁÏiZ9$#
4 Ïm÷uqt/L{ur Èe@ä3Ï9 7Ïnºur
$yJåk÷]ÏiB â¨ß¡9$# $£JÏB
x8ts?
bÎ)
tb%x. ¼çms9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù óO©9 `ä3t ¼ã&©!
Ó$s!ur
ÿ¼çmrOÍurur
çn#uqt/r&
ÏmÏiBT|sù
ß]è=W9$#
4 bÎ*sù
tb%x. ÿ¼ã&s! ×ouq÷zÎ) ÏmÏiBT|sù â¨ß¡9$# 4 .`ÏB
Ï÷èt/
7p§Ï¹ur ÓÅ»qã !$pkÍ5 ÷rr&
Aûøïy
3 öNä.ät!$t/#uä öNä.ät!$oYö/r&ur
w tbrâôs? öNßgr&
Ü>tø%r& ö/ä3s9 $YèøÿtR
4 ZpÒÌsù ÆÏiB
«!$# 3 ¨bÎ)
©!$# tb%x.
$¸JÎ=tã $VJÅ3ym ÇÊÊÈ [21]
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian
yang telah ditetapkan. Dan apabila sewaktu pembagian itu
hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah
mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
baik. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
benar. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala (neraka). Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[272];
dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut
di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Menurut Nasr, Al-Qur’an
sangat memperhatikan persoalan warisan, bahkan apabila ada kerabat, anak yatim,
orang-orang miskin tidak menadapatkan warisan, mereka harus di beri sedekah.
Prinsip keadilan al-Qur’an melalui pemerataan distribusi harta benda di dalam
masyarakat secara luas menunjukkan makna tersembunyi dengan tujuan supaya
perputaran kekayaan tidak hanya dimonopoli oleh orang kaya. Berangkat dari
makna universal ini, Nasr menganalisis makna mawaris dalam al-Qur’an, kemudian
setelah itu beralih dari makna dari makna konteks historis ke magza yang
tersirat dalam makna itu. Sehingga tampak bahwa makna makna tektual mawaris,
sedangkan magza adalah setelah makna tekstual mawaris diperoleh kemudian
dihubungkan dengan konteks historis dan dihubungkan dengan kesadaran keagamaan
saat ini.
Dari data historis pra Islam, perempuan tidak mendapatkan
warisan sedikitpun, bahkan jika ia ditinggal mati oleh suaminya, seorang perempuan
dapat diwariskan. Warisan hanya milik laki-laki yang bisa berperang. Tradisi
ini menunjukkan bahwa posisi perempuan pada pra Islam sangatlah tertindas.
Inilah yang dimaksud dengan al siya>q al-saqa>fi>
al-ijtima>’i. Dengan datangnya
Islam, posisi perempuan mulai diangkat dan hak-hak mereka sebagai manusia
sedikit demi sedikit mulai dipenuhi, termasuk hak untuk memperoleh warisan. Respon
al-Qur’an dalam maslah mawaris ini menunjukkan fungsi al-Qur’an sebagai inzar.
Kemudian melacak konteks eksternal(al siya>q al-kha>riji>).
Proses perubahan realitas pada zaman Islam pertama tidaklah mudah, karena
sangat sulit merubah suatu tradisi partiarkhi yang sangat mengakar di bangsa
Arab kala itu. Mereka menganut prinsip:
لا نورث من لا يركب ولا
يحمل ولا ينكاء عدوا
“ kami tidak mewarisi orang yang tidak bisa naik kuda, tidak
bisa memikul keletihan, dan tidak mampu mengalahkan musuh”[22]
Setelah melakukan analisis konteks eksternal, Nasr beralih ke
analisis Konteks bahasa(al siya>q al-lugawi>). Dalam
konteks warisan ini, Nasr mengikuti analisis Muhammad Abduh, dimana ia
menganalisis kalimat wa li al nisa>i
nasi>bun min ma> taraka al wa>lida>ni wa al-aqra>bu>n.
kalimat ini menunjukkan makna fard}u (ketetapan). Hasil ini berangkat
dari analisis struktur teks yaitu hubungan ‘ataf kalimat tersebut dengan kalimat sebelumnya, dan tikrar
pengulangan kata nasi>b.
Kemudian analisis terhadap redaksi lil d}akari mislu haz}i al
unsayaini dan yu>si>kum fi> aula>dikum. Redaksi ini
merupakan bentuk penghapusan tradisi Jahiliyah yang melarang perempuan
mendapatkan warisan. Analisis ini tidak berhenti pada aspek gramatikal, karena
akan melahirkan makna bagian laki-laki adalah dua kali lipat bagian perempuan.
Oleh karenanya perlu dihubungkan dengan persoalam kesaksian perempuan, baik di
lembaga peradilan maupun urusan perniagaan, sebagai siya>q
da>khili>. Secara tekstual redaksi ayat mnyebutkan satu banding dua,
satu saksi laki-laki sama dengan dua saksi perempuan. Utuk menghindari makna
tekstual tersebut, maka perlu dicari magza> dengan cara menghubungkan
teks dengan konteks sosio historis yang
disebutkan sebelumnya, yang menghendaki penghapusan monopoli dan agar terjadi
pemerataan. Magza> adalah
keseimbangan, baik dalam agama, sosial, maupun kemasyarakatan. Sehingga prinsip
kesetaraan berlaku pada konteks waris.
Nasr juga mengutip pendapat Muhammad Syahrur dalam mendapatkan
Magza teks waris. Ungkapan yang menyatakan bagian laki-laki adalah dua kali
bagian perempuan. Nasr menganggap dalam teks ini terdapat kesetaraan dengan
teori hudud Syahrur, menjelaskan bahwa ungkapan tersebut merupakan
batasan-batasan dan ketetapan Allah, yaitu supaya laki-laki tidak diberi
warisan lebih dari dua kali lipat bagian perempuan, dan perempuan agar tidak
diberikan lebih sedikit dari separoh bagian laki-laki. Dengan kata lain makna
kesataraan dalam warisan adalah batas maksimal untuk laki-laki, dan batas
minimal untuk perempuan.[23]
F.
Kesimpulan
dan Penutup
Nasr Hamid merupakan sarjana muslim yang konsen
dalam kajian ulumul –Qur’a>n. Dengan teori hermeneutika, Nasr
mengatakan bahwa al-Qur’an adalah produk budaya, sehingga dalam memahami teks
al-ur’an tidak boleh dipisahkan dari konteks historis yang melatar belakangi
teks tersebut. Nasr menawarkan model pembacaan produktif untuk mendapatkan
magza teks yang dilalui dengan analisis beberapa konteks(siya>q) yang mencakup Konteks
sosio-kultural (al siya>q al-saqa>fi> al-ijtima>’I, Konteks eksternal(al siya>q al-kha>riji>), Konteks internal(al siya>q al-da>hili>), Konteks bahasa(al siya>q al-lugawi>), Konteks pembacaan atau penakwilan(al siya>q
al-qira>’ah atau al siya>q al-ta’wi>l).
Usaha
Nas}r dalam bidang Ulumul Qur’an perlu diapresiasi tinggi karena ia menawarkan
sesuatu yang baru dalam proses pemahaman teks al-Qur’an. Mungkin cukup sekian
pembahasan mengenai Nas}r Hamid dan pemikirannya, kritik dan saran sangat
pemakalah butuhkan demi perbaikan makalah ini. Atas perhatiannya kami mengucapkan
terima kasih. Wassalam.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Zayd, Nasr
Hamid. al-Nas}}}s} wa al-Sultah} wa al-haqi}qah, Beirut: Marka>z
Saqa>fi>, 2000.
Abu Zayd, Nasr
Hamid. Naqd al-Khita}b al-Di}ni>. Kairo: Sina>’ li al Nasyr>,
1992.
Abu Zaid, Nasr Ha>mid. “al-Hirminiyutiga wa
Mu’dilat Tafsir al-Nas” (Hermeneutika dan Problema Penafsiran Teks) can
find in Isykaliyah al-Qira’ah wa Alliyat al-Ta’wil translate edition in
Indonesian by Muhammad Mansur, PT. LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta,
2004.
Armas, Adnin. Metodologi Bibel dalam Studi
Al-Qur’an, Gema Insani, 2005, sub bab: Nashr Ha>mid dan Hermeneutika
Al-Qur’an.
Ihwan, M. Nur.
“Al-Qur’an Sebagai Teks (Teori Hermeneutika
al-Qur’an Nasr Ha>mid ) in ESSENSIA. Vol. 2 No. 1 Januari 2001.
Mustaqim , Abdul and Sahiron Syamsudin (ed,.)Al-Qur’an
Sebagai Teks in Studi Qur’an Kontemporer,. Yogyakarta: Tiara Wacana,
2002.
Imron, Ali, Hermeneutika
Nasr Hamid Abu Zayd, Dalam Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis. Yogyakarta:
elsaQ, 2010.
[1] Nur Kholis Setiawan, Pemikiran
Progresif dalam Kajian al-Qur’an (Jakarta: kencana, 2008), hlm.xvii
[2] Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan
Kritis…...hlm. 22.
[3] Hilman Latief, Kritik Teks
Keagamaan….hlm. 50.
[4]Moch. Nur Ichwan, Meretas
Kesarjanaan Kritis…. hlm. 22.
[5] Hery Sucipto, Ensiklopedi
Tokoh Islam…. hlm.349.
[6] Skripsi pemikiran Nasr Hamid
tentang al-Qur’an, Moch. Nur Ikhwan, Meretas kesarjanaan Kritis, hlm.18.
[7] Skripsi Hermeneutika
al-Qur’an Nas}r Ha>mid Abu> Za>id, Fitria Gustina
jurusan aqidah dan filsafat fakultas ushuluddin.
[8] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas
al-Qur’an, (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 01.
[9]Nas}r Ha>mid Abu> Za>id, al-Nas}
as-Sulthah, al-Haqiqah, (al-Markaz al-saqafi al-‘Arabi, 1995), hlm. 110.
[10] Nasr
Hamid abu Zayd, Mafhu>m al-Nas}}}}: dirasah fi ulum al-Qur’an (Beirut:
Marka>z Saqa>fi>, 2000), hlm.108.
[11] Ali
Imron, Hermeneutika Nas}r Ha>mid Abu> Zayd, Dalam Hermeneutika al-Qur’an
dan Hadis,( Yogyakarta: elsaQ, 2010),hlm. 124,
[12] Nasr Hamid abu Zayd, al-Nas}}}s}
wa al-Sultah} wa al-haqi}qah, (Beirut: Marka>z Saqa>fi>, 2000),
hlm.108.
[13] Nasr Hamid abu Zayd, Naqd
al-Khita}b al-Di}ni>, (Kairo: Sina>’ li al Nasyr>, 1992), hlm.113.
[15] Nasr Hamid abu Zayd, Naqd
al-Khita}b al-Di}ni>….., hlm.114.
[16] Nasr Hamid abu Zayd, Naqd
al-Khita}b al-Di}ni>….., hlm.114.
[18] Nasr Hamid
abu Zayd, al-Nas}}}s} wa al-Sultah} wa al-haqi}qah, (Beirut: Marka>z
Saqa>fi>, 2000), hlm.96
[19] Nasr Hamid
abu Zayd, al-Nas}}}s} wa al-Sultah} wa al-haqi}qah, (Beirut: Marka>z
Saqa>fi>, 2000), hlm.97
[20] Nasr Hamid
abu Zayd, al-Nas}}}s} wa al-Sultah} wa al-haqi}qah, (Beirut: Marka>z
Saqa>fi>, 2000), hlm.106
[21]
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahanya
[22] Ali Imron, Hermeneutika Nasr
Hamid Abu Zayd, Dalam Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis,( Yogyakarta: elsaQ,
2010),hlm. 138.
[23] Ali Imron, Hermeneutika Nasr
Hamid Abu Zayd, Dalam Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis,( Yogyakarta: elsaQ,
2010),hlm. 140
Tidak ada komentar:
Posting Komentar