Jumat, 25 Oktober 2013

NASR HAMID ABU ZAID

NASR HAMID ABU ZAID EXEGESIS
Presented by: Khoirun Nisa,THK 09 UIN SUKA
A.    Pendahuluan
Hermeneutika, selain mempunyai peran yang cukup besar dalam bidang ilmu sejarah dan kritik teks. khususnya kitab suci. Dalam prakteknya hermeneutika lebih sering dipakai sebagai metode  memahami al-Qur’an. Istilah hermeneutika dalam sejarah studi Islam belum mucul dalam tafsir al-Qur’an klasik, walaupun benih-benih hermeneutik sebenarnya sudah ada sejak masa sahabat. Istilah hermeneutika  modern baru mulai menjadi populer beberapa dekade terakhir, hal ini didukung dengan berkembangnya teknologi dan informasi serta meningkatnya semangat keilmuan terhadap al-Qur’an. Hal inilah  yang kemudian melahirkan beberapa intelektual muslim kontemporer yang konsentrasi dalam studi al-Qur’an. Salah satunya adalah  Nasr Hamid Abu Zayd.
Dalam studi ulumul Qur’an, Nasr Hamid Abu Zayd memunculkan beberapa isu baru serta menarik. Dintaranya adalah isu mengeanai kritik al-Qur’an. ia menyatakan bahwa al-Qur’an adalah Muntaj al-Saqafi> atau al-Qur’an adalah produk budaya. Isu ini sangat menggemparkan dunia islam karena dianggap telah menyalahi konsep al-Qur’an yang telah mapan oleh kesepakatan ulama. Dalam tulisan ini, pemakalah akan memaparkan sedikit dari Nasr dan pemikirannya mengenai teks, cara pemahaman terhadap teks dengan menggunakan metode hermeneutika, yang akan diperjelas dengan aplikasi teori.
B.     Biografi dan Karya-karyanya
Nasr Hamid Abu Zaid adalah salah satu tokoh pemikir islam modern yang banyak melahirkan pemikiran-pemikiran baru. Tokoh ini berasal dari mesir disaat Negara mesir baru membentuk diri. Nas}r Ha>mid lahir pada tanggal 10 juli 1943 di desa Qahafah, dekat kota Tanta, Mesir. Nama lengkapnya adalah Nasr Hamid Rizk Abu Zaid, orang tuanya memberi nama Nasr dengan harapan semoga ia selalu membawa kemenangan atas lawan-lawannya, mengingat kelahirannya bertepatan dengan perang dunia II. Bapaknya adalah seorang aktivis al-Ikhwan al-Muslimun dan pernah dipenjara menyusul eksekusinya Sayyid Quthb. Nas}r Ha>mid berasal dari keluarga religius. Ketika usianya mencapai 8 tahun, Nasr Hamid sudah menghafalkan al-Qur’annya hingga hatam sehingga dia dipanggil “Syaikh Nasr” oleh anak-anak di desanya.
Seperti anak-anak seumurnya, selain mengikuti pendidikan formal di sekolah negeri setempat, Nas}r Ha>mid juga mengikuti pendidikan agama secara non-formal di kuttab atau lembaga pendidikan tradisional yang ada di daerahnya. Di kuttab itulah Nas}r Ha>mid belajar membaca, menulis, dan juga menghafal al-Qur’an, disamping menerima pelajaran-pelajaran keagamaan tradisional yang lain. Oleh karena itu, dilihat dari sisi sosialnya (perang dunia II dan kondisi mesir yang masih stabil) dan keluarganya, Nas}r Ha>mid lebih banyak menelurkan pemikiran-pemikiran yang progresif, salah satunya adalah tentang teks al-Qur’an. Menurutnya, kode dan “saluran” al-Qur’an dipahami sebagai text poetic yang terstruktur yang keberadaanya tidak masuk kategori teks puisi. Artinya, al-Qur’an tetap sebagai teks keagamaan yang memiliki banyak fungsi. Untuk itu, Nas}r Ha>mid menjadikan teks al-Qur’an sebagai teks terbuka yang menuntut adanya interpretasi bahasa. Karena itu, analisis linguistik diharapkan mampu meminimalisasi subjektivitas dan tarikan kepentingan pembacanya (pembaca al-Qur’an).[1]
Pada bulan april 1992, pada usianya yang ke-49, Nas}r Ha>mid menikahi Dr. Ibtihal Ahmad Kamal Yunis, professor bahasa inggris prancis dan sastra perbandingan di universitas kairo. Satu bulan kemudian, 9 mei 1992, beliau mengajukan promosi professor penuh di universitas kairo. Namun ini merupakan awal dari tragedi hidupnya, sebuah peristiwa yang telah mempengaruhi sejarah mesir dan dunia islam secara umum. Nas}r Ha>mid menyerahkan dua bukunya, al-Imam al-Syafi’I dan Naqd al-Kitab al-Dini, serta sebelas paper akademik lainnya kepada panitia penguji. Meskipun dua dari tiga komite menyetujui karya-karyanya, panitia pada akhirnya mengadopsi pandangan Dr. Abd al-Shabur al-Syahin, yang telah menuduh Nas}r Ha>mid merusak ortodoksi islam yang berkaitan dengan al-Qur’an, Nabi, Sahabat, Malaikat, dan makhluk ghaib lainnya. Panitia pun menolak pengajuan promosinya.[2]
Penolakan terhadap promosi Nas}r Ha>mid ini memunculkan polemik para kaum intelektual di media masa. Banyak sekali artikel maupun buku yang ditulis sebagai respon terhadap karya-karya Nas}r Ha>mid yang isinya saling perang argumentasi antara pihak yang pro Nas}r Ha>mid dan kelompok yang kontra terhadapnya. Kelompok yang menentang beliau, menulis buku berjudul “Qis}sa}h Abu> Za>id wa Inhisar al-‘Alama>niyah fi Jami’ah al-Qa>hirah” yang ditulis oleh Prof. Abd Shabur Syahin.[3] Namun, ceritanya tidaklah berhenti disitu, beberapa islamis menuduh Nas}r Ha>mid Murtad. Beberapa pengacara yang sejalan dengan pendirian para islamis ini kemudian membawanya ke pengadilan tingkat pertama Giza pada 1993 yang menuntut perceraian dengan Ibtihal Yunis. Akhirnya, pada 14 juni 1995, pengadilan banding kairo memutuskan bahwa Nas}r Ha>mid adalah seorang yang murtad dan dia harus diceraikan dari istrinya, ibtihal. Keputusan ini kemudian dimantabkan kembali pada 5 agustus 1996 oleh pengadilan kasasi Mesir.[4]
Nas}r Ha>mid menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit spesialis as-Syeikh Zaid, kairo (sebagaimana dilansir situs al-Ahram). Sedangkan situs Masrawi menyebutkan bahwa Nas}r Ha>mid meninggal pada umur 67 tahun, setelah diserang virus tak dikenal pasca kunjungannya beberapa minggu sebelumnya di Indonesia.
Adapun sejarah pendidikannya, Nas}r Ha>mid menyelesaikan gelar BA pada 1972 konsentrasi Arabic Studies. Pada saat itu, Nas}r Ha>mid lulus dengan predikat Cumlaude (sangat memuaskan) sehingga ia diangkat sebagai asisten dosen di almamaternya. Gelar MA pada tahun 1977 dan memperoleh gelar doctor, PhD. pada 1981 dengan konsentrasi Islamic Studies di Universitas Kairo. Beliau menulis disertasi yang berjudul “Falsafah al-Ta’wil  ‘inda Muhy al-Din Ibn al-‘Arabi” (Filsafat Takwil: Studi Hermeneutika al-Qur’an Muhy al-Din Ibn al-‘Arabi), yang dipublikasikan pada 1983 dengan nilai memuaskan dan dengan penghargaan tingkat pertama (Martabah ma’a al-Syaraf al-Ula).[5] Beliau bekerja sebagai dosen di Universitas yang sama sejak 1982. Pada tahun 1992, beliau dipromosikan sebagai professor, tetapi ditolak karena hasil kerja dan pemikirannya yang kontroversial, diantaranya menghujat para sahabat Nabi. Sebelumnya, pada tahun 1978 beliau menjadi fellow pada Centre for Middle East Studies di universitas pensylvania, Philadelphia, Amerika Serikat, dimana Abu Zaid mempelajari ilmu-ilmu sosial dan humanitas, khususnya teori-teori tentang cerita rakyat (folklore). Pada periode inilah, Abu Zaid menjadi akrab dengan hermeneutika barat. Dia menulis artikel “al-Hirmiiniyutiqa wa Mu’dhilat Tafsir al-Nashsh” (hermeneutika dan problem penafsiran teks) yang menurut pengakuannya merupakan artikel pertama tentang hermeneutika yang ditulis dalam bahasa arab.[6]
B. Karya-karyanya
            Nas}r Ha>mid Abu> Zaid merupakan ilmuwan muslim yang sangat produktif. Ia menulis lebih dari dua puluh Sembilan (29) karya sejak tahun 1964 sampai 1999, baik berbentuk buku, maupun artikel. Diantara karya-karyanya yaitu:
1.      The al-Qur’an: God and Man in Communication (Leiden, 2000)
2.      Al-Khita>b wa al-Ta’wi>l (Dar el-Beida, 2000)
3.      D{awa>ir al-Khauf, Qira’ah fi al-Khitah al-Mar’ah (Dar el-Beida, 1999)
4.      Al-Nas}s} al-Sultah, al-Haqi>qah: al-Fikr al-Dini baina Iradat al-Ma’rifah wa Iradat al-Haimanah (Cairo, 1995)
5.      Al-Tafki>r fi Zama>n al-Tafki>r: Didda al-Lahl wa al-Zayf wa al-Khurafah (Cairo, 1995)
6.      Naqd al-Khita>b al-Dini>y (Cairo: 1994)
7.      Mafhu>m al-Nas}h: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an (Cairo, 1994)
8.      Falsafah al-Ta’wi>l: Dirasah fi al-Ta’wil al-Qur’an ‘inda Muhyi al-Din Ibn al-‘Arabiy (Beirut, 1993)
9.      Al-Ittijah al-‘Aqli fi al-Tafsi>r: Dirasah Qaqiyyat al-Majaz fi al-Qur’an (Beirut, 1982)
10.  Al-Ima>m al-Syafi’i wa Ta’si>s al-Aidiulujiyyah al-Wasat}iyyah.
Sedangkan karya-karya lain dan beberapa tulisan lepas Abu Zaid yang dimuat dalam majalah meupun yang dicetak dan diterbitkan banyak sekali, antara lain:
1.      Hakadza Takallama Ibn ‘Arabi> (beginilah Ibnu ‘Arabi berdialog)
2.      Sirah Nabawiyah Sirah Syu’ubiyyah, dalam Journal of Osaka University of Foreign Studies, no. 71 (1986)
3.      Al-Ghaza>li’s Theory of Interpretation. Dalam Journal of Osaka University of Foreign Studies, no. 72 (1987)
4.      Mahfu>m al-Nidha>m ‘inda Abd al-Qa>hir, Qira>’ah fi Dhaui’ al-Ushuliyyah, dalam jurnal Fusul, jilid 5 pertama, mesir, 1985.
5.      Al-Maqa>sid al-Kulliyyah Li Syari’ah: Qira’ah Jadidah, dalam al-‘Arabi, No. 426 mei, 1994.
6.      Niam wa Tamri>r, Madha>min al-Must}}haliha>t, dalam: al-‘Arabi, No. 429 agustus, 1994.
7.      Al-Khila>fah wa Shultah al-Ummah, Dar al-Nahr li Nasyr wa al-Sauri, Kairo, 2, 1995.
8.      Al-Tura>ts baina al-Tafsi>r wa al-Talwi>n: Qira’ah fi Masyri al-Yasar al-Islam, majalah alif, Universitas Amerika, Kairo, 1990.
9.      Al-Nus}us} al-Diniyyah baina al-T{a}rihi wa al-Wa>qi’, majalah Qadhaya wa al-Syahadah, Muassasah Aibali fi Dirasah wa Nasyr, No. 2, 1990.
10.  Mata> al-Ra>jul wa Bada>’ah Muhakkamatuh, Adab wa Naqd, Kairo, 101, januari, 1994:67
  

C.    Konsep Teks: Al-Qur’an Produk Budaya
            Sebagai intelektual dan pemikir keislaman, nama Nas}r Ha>mid Abu> Za>id sudah tidak asing lagi ditelinga para pemikir islam. Kehadirannya dengan wacana pemikiran keagamaan telah ikut mewarnai khazanah pemikiran islam, dengan tidak langsung memposisikan dirinya dalam percaturan pemikiran islam kontemporer. Dalam bukunya yang berjudul “Mafhu>m al-NashNas}r Ha>mid Abu> Za>id mengatakan al-Qur’an adalah produk budaya (Muntaj s}aqafi) dan juga menjadi produsen budaya (Muntij li al-s}aqafah) karena menjadi teks yang hegemonik dan menjadi sumber atau rujukan bagi teks yang lain. Message al-Qur’an adalah analisa kritis sejarah dan memang telah menyejarah[7].
            Sebagai teks bahasa, al-Qur’an dapat disebut sebagai teks sentral atau pusat dalam sejarah peradaban arab. Dalam arti, bahwa dasar-dasar ilmu dan budaya arab-islam tumbuh dan berdiri tegak diatas suatu landasan yang mana “teks” sebagai pusatnya tidak dapat di abaikan. Namun ini tidak berarti bahwa yang membangun peradaban hanya teks semata. Peradaban dibentuk oleh dialektika manusia dan segala sesuatu yang membentuknya (seperti ekonomi, sosial, budaya, dan politik). Sedangkan dalam peradaban kita “orang islam”, al-Qur’an memiliki peran budaya yang tak dapat diabaikan dalam membentuk wajah peradaban dan dalam menentukan sifat dan watak ilmu-ilmu yang berkembang didalamnya.[8] Sebagai teks bahasa juga, al-Qur’an tidak hanya bisa difahami dalam sisi lafadznya saja, namun juga dari maksud dan arti yang terkandung di dalamnya sehingga menunjukkan arti yang mendalam dari teks bahasa tersebut dan dapat membantu kita dalam menjelaskan watak ideology yang bermanfaat (baik) dalam menginterpretasikan teks.[9]
            Oleh karena itu, dalam pembahasan disini kita akan membahas tentang konsep teks perspektif bahasa dan budaya, yakni dari makna semantik. Tujuan dari konsep teks ini adalah untuk mengungkap sebagian karakteristik khas budaya Arab-Islam dalam dimensi tradisional-historis, sebagai upaya untuk lebih memahami realitas kultural kontemporer kita. Dalam konteks ini, tahap pertama adalah dengan mengungkap makna semantis dari kata an-Nas} (teks) dalam bahasa.
Makna semantis dari kata al-Nas} dalam bahasa. Hal ini dilakukan karena bahasa merepresentasikan system pokok yang bermakna dalam struktur budaya secara umum. Mengungkap makna semantis serta melacak perkembangannya (dari makna terminologis/definisi) merupakan upaya pengungkapan konsep tersebut dalam ilmu-ilmu budaya arab secara umum. Contohnya:
Dalam bahasa eropa, makna teks berarti suatu jalinan relasi semantis struktural yang melampaui batas-batas kalimat dalam pengertian gramatikal. Sedangkan, dalam bahasa arab, dalam Lisa>n al-Arab, makna teks/al-Nas} berarti tampak atau tersingkap. Makna ini masih kita gunakan dalam bahasa kontemporer saat ini, yakni bisa kita lihat dari kata Minashshah (منصة) yakni mimbar atau pelaminan. Sedangkan dalam penggunaan lama, kata ini berarti tempat yang diduduki pengantin sebagai dekorasi yakni Jalwah (dekorasi) yang biasa digunakan dalam dialek sehari-hari, dan juga berarti tampak dan tersingkap. Berikut ini adalah contoh melacak perkembangan historis dari makna kata tersebut, yakni dari makna materiil (al-Hissi) ke makna konseptual (al-Maknawi):
a.        makna materil:
o   Nus}s}a ad-da>bah- rafa’a jidaha bi al-miqwad likai yastahitstsaha ‘ala as-sur’ah fi as-sair (ia menarik leher hewan itu sehingga terangkat dengan tali kendali agar berjalan cepat).
b.      Peralihan dari makna materiil:
o   Al-nas} wa at-tanshis=as-sair asy-syadid (perjalanan yang berat).
o   Nas}s}a al-umu>r= syadiduha (perkara-perkara yang berat).
c.    Peralihan pada makna konseptual:
o   Nas}s}a ar-rajul= seseorang menanyainya tentang sesuatu hingga terungkap apa yang ada padanya.
o   Balaga al-nisa>’ nashsha al-haqaq= perempuan itu sudah mencapai usia baligh.
d.    Jika masuk pada makna terminologis:
o   Isnad (dalam ilmu hadits)
o   Nas}} (berarti at-taufiq)
o   Ta’yin (penentuan)
Dari urutan diatas, sudah jelas bahwa dari makna sentral beralih dari makna materiil menuju makna konseptual dan masuk ke dalam makna terminologis itu tidak mengalami perubahan besar. Dan kata nas} ini sekalipun telah berubah menjadi istilah semantis, ia masih menunjukkan makna yang jelas dengan sendirinya. Dengan kata lain, bahwa kata nas} menjadi terminology semantis procedural yang menunjukkan sebagian makna yang ditunjukkan oleh kata itu sendiri sekarang ini.
Kajian terhadap teks al-Qur’an yang dilakukan oleh Nasr, sebnarnya berangkat dari sejumlah fakta-fakta yang ada di sekitar al-Qur’an itu sendiri yang dibentuk oleh peradaban Arab didukukng dengan hasil yang ia peroleh melalui teori sastranya. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sebelum teks al-Qur’an turun, realitas budaya Arab sudah ada. Selain itu, perjalanan turunnya teks dari awal hingga akhir tidak bisa dilepaskan  dari realitas dan budaya yang telah ada. Atau dengan kata lain teks al-Qur’an terbentuk atau diturunkan kepada Nabi Muahmmad, bkan pada masyarakat yang kosong dari budaya, tetapi teks tersebut  terbentuk di dalam realitas budayalebih dari 20 tahun.[10]
Pernyataan yang diberikan Nasr, bahwa al-Qur’an adalah produk budaya tentu tidak terlepas juga latar belakang Nasr sebagai seorang sastrawan, sehingga ada kemungkinan teori-teori sastra yang ia pelajari berpengaruh terhadap pemikiran-pemikirannya. Jika ditelusuri, Anggapan bahwa teks al-Qur’an adalah produk budaya sebenarnya diambil dari teori kritik sastra. Lucian Gpldman menganggap bahwa karya sastra adalah sebuah struktur sebagai produk sejarah yang terus berlangsung. Sementara itu, sosiologi sastra memandang bahwa karya sastra dihasilkan melalui anatarhubungan bermakna, yaitu subjek kreator dan masyarakat. Teori ini memandang karya sastra sebai bagian dari masyarakat, yaiatu sebagai dokumen social. Seorang pengarang tidak mungkin menciptakan suatu karya tanpa realitas yang melatar belakanginya. Oleh karena itu, karya sastra adalah produk masyrakat tertentu. Mungkin inilah teori sastra yang mempengaruhi nasr, sehingga ia berani mengatakatan bahwa al-Qur’an adalah produk budaya.[11]
D.     Teori Hermeneutika Nasr Hamid
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa al-Qur’an merupakan produk budaya. Karena ia turun  dalam masyarakat yang kental dengan budaya yang begitu kompleks, sehingga dalam memahami al-Qur’an konteks budaya yang melingkupi saat teks al-Qur’an tersebut turun harus diperhatikan. Paling tidak dengan menggunakan asba>b al-nuzu>l, baik mikro maupun makro.
Analisis terhadap latar belakang konteks yang terjadi dianggap sangat penting, mengapa? Karena hal ini disebabkan karena  pesan al-Qur’an tidak memiliki berbagai pengaruh jika masyarakat Arab yang pertama kali menerima tidak mampu memahami pesan tersebut. Sementara masyarakat Arab tersebut hanya bisa memahami pesan dalam konteks sosial budaya mereka sendiri.[12] Hal inilah yang kemudian menyebabkan lahirnya perbedan pemahaman terhadap pesan teks al-Qur’an oleh masyarakat dengan konteks sosial budaya yang saling berbeda.
Pemahaman ulama di masa awal Islam terhadap pesan teks tidak dianggap sebagai pemahaman yang final, absolut, sehingga tidak bisa dirubah. Karena pada hakekatnya semua bahasa termasuk bahasa al-Qur’an, selalu mengalami perkembangan secara dinamis melalui proses pengkodean secara terus menerus dan tidak berakhir. Hal ini bararti teks akan mengalami produksi makna yang tidak berujung, atau dalam istilah Nasr teks akan memiliki makna yang berkembang menjadi signifikansi. Produksi makna akan selalu berkembang dan beragam bentuknya, akibat perbedaan konteks dan metode yang dipakai. Seseorang interpreter yang kompeten boleh mengungkap makna teks (interpretasi), akan tetapi Nasr memberi batasan-batasan dalam interpretasi teks sebagaimana berikut:
Pertama, menghindari pembacaan yang terikat (al-qira>’ah ghair al-bari>ah)[13]. Beberapa teori kontemporer biasanya menekankan aspek internal teks sebagai hubungan-hubungan semantis yang terpaku pada data-data kebahasaan yang terdapat pada teks, sehingga mengabaikan hubungan teks dengan dunia luar. Padahal teks tidak bisa dipisahkan dari faktor-faktor ekternal, yang melingkupi teks tersebut turun.
Kedua, menghindari pembacaan tendensius (al-qira>’ah al mugrid}ah)[14]. Pembacaan tendensius merupakan pembacaan teks yang dilakukan sesuai dengan ideologi yang dianut oleh seorang interpreter.[15] Pembacaan berdasarkan ideologi, dan mendukung kepentingan sendiri akan menghasilkan pemahaman yang subjektif. Karena sejak awal interpreter memiliki kepentingan dan berusaha agar hasil interpretasinya sesuai dengan keinginannya. Oleh karena itu, sebelum melakukan interpretasi, seorang interpreter harus meningggalkan semua horizon subjektif dari otaknya.
Ketiga, memisahkan dua dimensi makna teks, yakni dala>lah (ma’na>) dan magza>. Langkah ini sangatlah penting dilakukan agar interpretasi teks tidak tunduk terhadap ideologi interpreter yang serampangan dan vulgar.[16] Dari sinilah kemudian Nasr menawarkan sebuah model pembacaan yang disebut dengan al-qira>’ah al muntijah (pembacaan produktif).
Model al-qira>’ah al muntijah merupakan model pembacaan yang berorientasi pada dala>lah dan magza>. Pada dasarnya dala>lah dan magza> adalah dua bentuk yang digunakan untuk satu pekerjaan. Magza>  tidak bisa dilepaskan dari sentuhan dala>lah, sebab dala>lah yang akan bertugas mengantarkan magza> ke makna yang paling jauh.[17] Sementara itu, untuk mengungkapkan makna dala>lah harus melalui media tanda. Dengan demikian, al-qira>’ah al muntijah merupakan pembacaan yang berangkat dari analisis tanda bahasa untuk memperoleh makna tekstual, setelah itu kembali ke asal atau dihubungkan dengan makna konteks sosio-historis untuk memperoleh Magza>.   
Seperti dijelaskan di atas, konteks (siya>q), memiliki peran yang sangat penting dalam proses interpretasi. Nas}r menunjukkan bahwa siya>q walaupun bentuknya singular, akan tetapi ia mencakup banyak dimensi, yaitu:
1.      Konteks sosio-kultural (al siya>q al-saqa>fi> al-ijtima>’i)
2.      Konteks eksternal(al siya>q al-kha>riji>)
3.      Konteks internal(al siya>q al-da>hili>)
4.      Konteks bahasa(al siya>q al-lugawi>)
5.      Konteks pembacaan atau penakwilan(al siya>q al-qira>’ah atau al siya>q al-ta’wi>l).
Konteks sosio-kultural (al siya>q al-saqa>fi> al-ijtima>’i) adalah hubungan teks dengan sesuatu di luar teks dalam berbagai hal. Teks-teks bahasa merupakan segala sesuatu yang menggambarkan sumber kognitif komunikasi dengan menggunkan bahasa.[18] Dengan kata lain bahasa menggambarkan kumpulan aturan-aturan tradisi atau konvensi masyarakat tertentu, berawal dari tingkat suara atau bunyi yang memiliki makna. Karena bergantung pada masyarakat. Sumber pengetahuan mengenai tradisi dapat ditelusuri dengan segala macam tempat-tempat dan tradisi yang tampak dalam bahasa dan peraturannya.
Konteks eksternal (al siya>q al-kha>riji>), merupakan gambaran konteks percakapan. Yaitu hubungan komunikasi antara kha>tib dan mukhatab. Sehingga teks sangat kental dengan aspek sejarah yang menciptakan teks dan berhubungan dengan perubahan alami para audiensnya.  al siya>q al-kha>riji tidak cukup dengan persoalan asba>b al-nuzu>l makki-madani saja, akan tetapi bisa dilihat dari dalam teks al-Qur’an itu sendiri, tidak harus melalui riwayat. Inilah yang disebut dengan asbab al-nuzul makro.
Adapun mengenai Konteks internal (al siya>q al-da>hili>) adalah hubungan terhadap bagian atau struktur teks. al-Qur’an merupakan kesatuan struktural yang memiliki masing-masing bagian yang saling berkaitan. Oleh karenanya, dilakukan munasabah antar ayat dan surat-surat dengan melihat aspek isi dan stilistika kebahasaan teks al-Qur’an. Selain munasabah, konteks lain yang perlu diperhatikan adalah konteks diskusi atau konteks pembicaraan yang mencakup konteks kisah (siya>q al-qis}s}}ah), ancaman (siya>q nahi wa amr, al-targi>b wa al-tarhi>b), pedebatan(siya>q jadal), tahdid, inza>r, akidah, syari’at, halal, haram, mubah, makruh, sunnah, dan sebagainya[19].
Mengenai Konteks bahasa (al siya>q al-lugawi>), nasr mengutip Abdul Qa>hir, bahwa merupakan analisis terhadap fenomena-fenomena gaya bahasa pada tingkatan jumlah kalimat, seperti fenomena al-taqdi>m, al-ta’khi>r, al-haz}f, al-id}ma>r, hubungan antar kalimat, bala>ghah dan analisis kebahsaan pada umumnya.[20] Nasr menambahi bahwa perlu untuk memperluas analisis demi menyingkap dala>lah masku>t ‘anha (makna yang tersembunyi). Sehingga analisis Konteks bahasa tidak hanya bertujuan untuk menggali makna gramatikal, tetapi juga harus mampu mengungkap makna yang tersembunyi. dala>lah masku>t ‘anha (makna yang tersembunyi) bisa dicari dengan menyingkap makna terdalam dari hubungan yang saling desak-desakkan antara sesuatu yang terdapat di luar teks dengan makna pada konteks bahasa.
Sedangkan konteks terakhir yakni Konteks pembacaan atau penakwilan(al siya>q al-qira>’ah atau al siya>q al-ta’wi>l) adalah pembacaan teks yang memisahkan keterkaitan dari ideologi seorang interpreter, Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya.
E.     Contoh penafsiran
Untuk mendapatkan gambaran mengenai aplikasi teori yang telah disinggung di atas, pemakalah akan menghadirkan contoh mengenai hukum waris yang terdapat pada Q.S. al-Nisa [4]: 7-11) yang berbunyi:

ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# tbqç/tø%F{$#ur Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# šcqç/tø%F{$#ur $£JÏB ¨@s% çm÷ZÏB ÷rr& uŽèYx. 4 $Y7ŠÅÁtR $ZÊrãøÿ¨B ÇÐÈ   #sŒÎ)ur uŽ|Øym spyJó¡É)ø9$# (#qä9'ré& 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ßûüÅ6»|¡yJø9$#ur Nèdqè%ãö$$sù çm÷YÏiB (#qä9qè%ur óOçlm; Zwöqs% $]ùrã÷è¨B ÇÑÈ   |·÷uø9ur šúïÏ%©!$# öqs9 (#qä.ts? ô`ÏB óOÎgÏÿù=yz Zp­ƒÍhèŒ $¸ÿ»yèÅÊ (#qèù%s{ öNÎgøŠn=tæ (#qà)­Guù=sù ©!$# (#qä9qà)uø9ur Zwöqs% #´ƒÏy ÇÒÈ   ¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ tAºuqøBr& 4yJ»tGuŠø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù'tƒ Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR ( šcöqn=óÁuyur #ZŽÏèy ÇÊÉÈ   ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 bÎ*sù £`ä. [ä!$|¡ÎS s-öqsù Èû÷ütGt^øO$# £`ßgn=sù $sVè=èO $tB x8ts? ( bÎ)ur ôMtR%x. ZoyÏmºur $ygn=sù ß#óÁÏiZ9$# 4 Ïm÷ƒuqt/L{ur Èe@ä3Ï9 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB â¨ß¡9$# $£JÏB x8ts? bÎ) tb%x. ¼çms9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù óO©9 `ä3tƒ ¼ã&©! Ó$s!ur ÿ¼çmrOÍurur çn#uqt/r& ÏmÏiBT|sù ß]è=W9$# 4 bÎ*sù tb%x. ÿ¼ã&s! ×ouq÷zÎ) ÏmÏiBT|sù â¨ß¡9$# 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur ÓÅ»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ 3 öNä.ät!$t/#uä öNä.ät!$oYö/r&ur Ÿw tbrâôs? öNßgƒr& Ü>tø%r& ö/ä3s9 $YèøÿtR 4 ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJŠÅ3ym ÇÊÊÈ  [21]
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

            Menurut Nasr, Al-Qur’an sangat memperhatikan persoalan warisan, bahkan apabila ada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin tidak menadapatkan warisan, mereka harus di beri sedekah. Prinsip keadilan al-Qur’an melalui pemerataan distribusi harta benda di dalam masyarakat secara luas menunjukkan makna tersembunyi dengan tujuan supaya perputaran kekayaan tidak hanya dimonopoli oleh orang kaya. Berangkat dari makna universal ini, Nasr menganalisis makna mawaris dalam al-Qur’an, kemudian setelah itu beralih dari makna dari makna konteks historis ke magza yang tersirat dalam makna itu. Sehingga tampak bahwa makna makna tektual mawaris, sedangkan magza adalah setelah makna tekstual mawaris diperoleh kemudian dihubungkan dengan konteks historis dan dihubungkan dengan kesadaran keagamaan saat ini.
Dari data historis pra Islam, perempuan tidak mendapatkan warisan sedikitpun, bahkan jika ia ditinggal mati oleh suaminya, seorang perempuan dapat diwariskan. Warisan hanya milik laki-laki yang bisa berperang. Tradisi ini menunjukkan bahwa posisi perempuan pada pra Islam sangatlah tertindas. Inilah yang dimaksud dengan al siya>q al-saqa>fi> al-ijtima>’i.  Dengan datangnya Islam, posisi perempuan mulai diangkat dan hak-hak mereka sebagai manusia sedikit demi sedikit mulai dipenuhi, termasuk hak untuk memperoleh warisan. Respon al-Qur’an dalam maslah mawaris ini menunjukkan fungsi al-Qur’an sebagai inzar. Kemudian melacak konteks eksternal(al siya>q al-kha>riji>). Proses perubahan realitas pada zaman Islam pertama tidaklah mudah, karena sangat sulit merubah suatu tradisi partiarkhi yang sangat mengakar di bangsa Arab kala itu. Mereka menganut prinsip:
لا نورث من لا يركب ولا يحمل ولا ينكاء عدوا
“ kami tidak mewarisi orang yang tidak bisa naik kuda, tidak bisa memikul keletihan, dan tidak mampu mengalahkan musuh”[22]
Setelah melakukan analisis konteks eksternal, Nasr beralih ke analisis Konteks bahasa(al siya>q al-lugawi>). Dalam konteks warisan ini, Nasr mengikuti analisis Muhammad Abduh, dimana ia menganalisis kalimat wa li al nisa>i nasi>bun min ma> taraka al wa>lida>ni wa al-aqra>bu>n. kalimat ini menunjukkan makna fard}u (ketetapan). Hasil ini berangkat dari analisis struktur teks yaitu hubungan ‘ataf kalimat tersebut  dengan kalimat sebelumnya, dan tikrar pengulangan kata nasi>b.
Kemudian analisis terhadap redaksi lil d}akari mislu haz}i al unsayaini dan yu>si>kum fi> aula>dikum. Redaksi ini merupakan bentuk penghapusan tradisi Jahiliyah yang melarang perempuan mendapatkan warisan. Analisis ini tidak berhenti pada aspek gramatikal, karena akan melahirkan makna bagian laki-laki adalah dua kali lipat bagian perempuan. Oleh karenanya perlu dihubungkan dengan persoalam kesaksian perempuan, baik di lembaga peradilan maupun urusan perniagaan, sebagai siya>q da>khili>. Secara tekstual redaksi ayat mnyebutkan satu banding dua, satu saksi laki-laki sama dengan dua saksi perempuan. Utuk menghindari makna tekstual tersebut, maka perlu dicari magza> dengan cara menghubungkan teks  dengan konteks sosio historis yang disebutkan sebelumnya, yang menghendaki penghapusan monopoli dan agar terjadi pemerataan.  Magza> adalah keseimbangan, baik dalam agama, sosial, maupun kemasyarakatan. Sehingga prinsip kesetaraan berlaku pada konteks waris.
Nasr juga mengutip pendapat Muhammad Syahrur dalam mendapatkan Magza teks waris. Ungkapan yang menyatakan bagian laki-laki adalah dua kali bagian perempuan. Nasr menganggap dalam teks ini terdapat kesetaraan dengan teori hudud Syahrur, menjelaskan bahwa ungkapan tersebut merupakan batasan-batasan dan ketetapan Allah, yaitu supaya laki-laki tidak diberi warisan lebih dari dua kali lipat bagian perempuan, dan perempuan agar tidak diberikan lebih sedikit dari separoh bagian laki-laki. Dengan kata lain makna kesataraan dalam warisan adalah batas maksimal untuk laki-laki, dan batas minimal untuk perempuan.[23]
F.      Kesimpulan dan Penutup
Nasr Hamid merupakan sarjana muslim yang konsen dalam kajian ulumul –Qur’a>n. Dengan teori hermeneutika, Nasr mengatakan bahwa al-Qur’an adalah produk budaya, sehingga dalam memahami teks al-ur’an tidak boleh dipisahkan dari konteks historis yang melatar belakangi teks tersebut. Nasr menawarkan model pembacaan produktif untuk mendapatkan magza teks yang dilalui dengan analisis beberapa konteks(siya>q) yang mencakup Konteks sosio-kultural (al siya>q al-saqa>fi> al-ijtima>’I, Konteks eksternal(al siya>q al-kha>riji>), Konteks internal(al siya>q al-da>hili>), Konteks bahasa(al siya>q al-lugawi>), Konteks pembacaan atau penakwilan(al siya>q al-qira>’ah atau al siya>q al-ta’wi>l).
Usaha Nas}r dalam bidang Ulumul Qur’an perlu diapresiasi tinggi karena ia menawarkan sesuatu yang baru dalam proses pemahaman teks al-Qur’an. Mungkin cukup sekian pembahasan mengenai Nas}r Hamid dan pemikirannya, kritik dan saran sangat pemakalah butuhkan demi perbaikan makalah ini. Atas perhatiannya kami mengucapkan terima kasih. Wassalam.

DAFTAR PUSTAKA
Abu Zayd, Nasr Hamid. al-Nas}}}s} wa al-Sultah} wa al-haqi}qah, Beirut: Marka>z Saqa>fi>, 2000.
Abu Zayd, Nasr Hamid. Naqd al-Khita}b al-Di}ni>. Kairo: Sina>’ li al Nasyr>, 1992.
Abu Zaid, Nasr Ha>mid. “al-Hirminiyutiga wa Mu’dilat Tafsir al-Nas” (Hermeneutika dan Problema Penafsiran Teks) can find in Isykaliyah al-Qira’ah wa Alliyat al-Ta’wil translate edition in Indonesian by Muhammad Mansur, PT. LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2004.
Armas, Adnin. Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, Gema Insani, 2005, sub bab: Nashr Ha>mid dan Hermeneutika Al-Qur’an.
Ihwan, M. Nur. “Al-Qur’an Sebagai Teks (Teori Hermeneutika al-Qur’an Nasr Ha>mid ) in ESSENSIA. Vol. 2 No. 1 Januari 2001.
Mustaqim , Abdul  and Sahiron Syamsudin (ed,.)Al-Qur’an Sebagai Teks in Studi Qur’an Kontemporer,. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.
Imron, Ali, Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd, Dalam Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis. Yogyakarta: elsaQ, 2010.







[1] Nur Kholis Setiawan, Pemikiran Progresif dalam Kajian al-Qur’an (Jakarta: kencana, 2008), hlm.xvii
[2] Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis…...hlm. 22.
[3] Hilman Latief, Kritik Teks Keagamaan….hlm. 50.
[4]Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis…. hlm. 22.
[5] Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam…. hlm.349.
[6] Skripsi pemikiran Nasr Hamid tentang al-Qur’an, Moch. Nur Ikhwan, Meretas kesarjanaan Kritis, hlm.18.
[7] Skripsi Hermeneutika al-Qur’an Nas}r Ha>mid Abu> Za>id, Fitria Gustina jurusan aqidah dan filsafat fakultas ushuluddin.
[8] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an, (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 01.
[9]Nas}r Ha>mid Abu> Za>id, al-Nas} as-Sulthah, al-Haqiqah, (al-Markaz al-saqafi al-‘Arabi, 1995), hlm. 110. 
[10] Nasr Hamid abu Zayd, Mafhu>m al-Nas}}}}: dirasah fi ulum al-Qur’an (Beirut: Marka>z Saqa>fi>, 2000), hlm.108.

[11] Ali Imron, Hermeneutika Nas}r Ha>mid Abu> Zayd, Dalam Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis,( Yogyakarta: elsaQ, 2010),hlm. 124,
[12] Nasr Hamid abu Zayd, al-Nas}}}s} wa al-Sultah} wa al-haqi}qah, (Beirut: Marka>z Saqa>fi>, 2000), hlm.108.
[13] Nasr Hamid abu Zayd, Naqd al-Khita}b al-Di}ni>, (Kairo: Sina>’ li al Nasyr>, 1992), hlm.113.
[14] Nasr Hamid abu Zayd, Naqd al-Khita}b al-Di}ni>….., hlm.113.
[15] Nasr Hamid abu Zayd, Naqd al-Khita}b al-Di}ni>….., hlm.114.
[16] Nasr Hamid abu Zayd, Naqd al-Khita}b al-Di}ni>….., hlm.114.
[17] Nasr Hamid abu Zayd, Naqd al-Khita}b al-Di}ni>….., hlm.115.

[18] Nasr Hamid abu Zayd, al-Nas}}}s} wa al-Sultah} wa al-haqi}qah, (Beirut: Marka>z Saqa>fi>, 2000), hlm.96
[19] Nasr Hamid abu Zayd, al-Nas}}}s} wa al-Sultah} wa al-haqi}qah, (Beirut: Marka>z Saqa>fi>, 2000), hlm.97
[20] Nasr Hamid abu Zayd, al-Nas}}}s} wa al-Sultah} wa al-haqi}qah, (Beirut: Marka>z Saqa>fi>, 2000), hlm.106
[21]  Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahanya
[22] Ali Imron, Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd, Dalam Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis,( Yogyakarta: elsaQ, 2010),hlm. 138.
[23] Ali Imron, Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd, Dalam Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis,( Yogyakarta: elsaQ, 2010),hlm. 140

Tidak ada komentar:

Posting Komentar