BAB II
BEBERAPA KONSEP DASAR
A. Meninjau
Istilah Difabel
a.
Transisi Penggunaan Istilah
Pembahasan mengenai istilah ini memang
sulit dihindari dari bias-bias kebahasaan. Istilah “difabel” yang dikenal
sekarang ini, merupakan rumusan asn yang muncul setelah beberapa kali terjadi
transisi penggunaan kata. Di Indonesia sendiri , awalnya seorang difabel
disebut dengan penyandang cacat.[1]
Istilah ini memunculkan perspektif negative bagi sebagian orang, karena istilah
“cacat” cenderung menilai seseorang berbeda hanya karena keterbatasan
fisiknya. Definisi terhadap istilah ini
termuat dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1997,Pasal 1 ayat 1, bahwa “penyandang cacat” adalah “setiap orang yang
mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan
rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya”.
Penggunaan
istilah “penyandang cacat” ini sebenarnya mengacu pada ketentuan yang
ditetapkan dunia Internasional oleh Badan Kesehatan Dunia (World Health
Organization), bahwa yang dimaksud dengan kecacatan, antara lain : Impairement[2],
Disability[3]
dan Handicapped[4]. Kategori “penyandang cacat” sejalan dengan
istilah disability, dan jika diamati disability hanyalah salah
satu dari tiga aspek kecacatan itu. Singkatnya, impairment merupakan
aspek kecacatan pada level organ tubuh. Sedangkan disability merupakan
aspek kecacatan pada level keberfungsian individu. Handicap dipahami
sebagai kondisi yang dianggap merugikan akibat adanya impairment dan disability
yang dipengaruhi oleh factor-faktor yang tidak terkait langsung dengan
kecacatan.
Jika ketiga istilah tersebut dipahami,
maka masing-masing mempunyai perbedaan yang terkadang membentuk adanya
keterkaitan kausalitas ataupun tidak sama sekali. Suatu impairment belum
tentu mengakibatkan disability. Misalnya, seseorang yang kehilangan
sebagian dari jari kelingking tangan kanannya,maka tidak lantas menyebabkan
orang itu kehilangan kemampuannnya untuk melakukan kegiatan sehari-hari secara
selayaknya. Demikian pula, disability
tidak selalu mengakibatkan seseorang mengalami handicap. Misalnya, orang
yang kehilangan penglihatan (impairment) tidak mampu mengoperasikan
computer secara visual (disability) tetapi dia dapat mengatasi
keterbatasannya itu dengan menggunakan software pembaca layer bersuara (speech
screen reader) dan oleh karenanya dia tetap dapat berperan sebagai seorang
programmer komputer. Akan tetapi, handicap dalam bidang programming itu
akan muncul manakala dia dihadapkan pada komputer yang tidak dilengkapi dengan speech
screen reader. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan handicap itu
ditentukan oleh factor-faktor di luar dirinya.
Selain istilah “penyandang cacat”,
terdapat beberapa kelompok yang menyepakati penggunaan istilah “penyandang
ketunaan” yaitu organisasi Pertuni (Persatuan Tuna Netra Indonesia)[5],
sebagai hasil dari semiloka tentang terminologi “penyandang cacat”. Penetapan
tersebut bertepatan dengan hari ulang tahun Pertuni yang ke-43 pada tanggal 26
Januari 2009. Istilah tersebut direkomendasikan untuk dipergunakan untuk
menerjemahkan frase ‘person with disabilities” yang digunakan dalam
International Convention on The Right of Person with Disabilities.[6] Istilah inilah juga yang kemudian lebih
bermasyarakat, karena nyatanya masyarakat lebih mengetahui istilah ini untuk
menyebut kekurangan dalam diri seseorang seseorang. Tetapi dalam
perkembangan selanjutnya, kata tuna digunakan juga untuk membentuk istilah yang
mengacu pada kekurangan non-organik, seperti
penggunaan istilah tunawisma, tunasusila, dan lain-lain. Meskipun
begitu, kata tuna tidak lazim jika digunakan untuk mengacu pada barang yang
rusak, hal ini berbeda dengan kata cacat , yang bisa saja digunakan untuk
menyebut barang yang cacat, misalnya, “sepatu ini cacat”.
Pada
tahun 1997 istilah “difabel” di Indonesia mulai diperkenalkan oleh Dr. Mansour Fakih. (Ambulangsih, 2007;
Priyadi 2006, Annisa 2005).[7]
Penggunaan kata ini merujuk pada istilah berbahasa Inggris, yaitu Different
Ability People (seseorang dengan kemampuan berbeda), yang kemudian
disingkat menjadi Difable. Namun, penggunaannya di Indonesia tidak mengikuti
kaidah tersebut, karena nyatanya istilah yang berkembang bukanlah “difable”
melainkan “difabel”. Perubahan penggunaan kata ini-meskipun dianggap bukan hal
yang terlalu penting-, tetapi menjadi harapan sekelompok orang untuk merekonstruksi
pandangan, pemahaman, dan persepsi masyarakat umum pada nilai-nilai sebelumnya
yang memandang seorang difabel adalah seseorang yang tidak normal, memiliki
kecacatan sebagai sebuah kekurangan dan ketidakmampuan. Padahal setiap manusia memang
diciptakan berbeda, dan seorang difabel hanyalah sebagai seseorang yang
memiliki perbedaan kondisi
fisik dan dia mampu melakukan segala aktivitas dengan cara dan pencapaian
yang berbeda. Pemakaian
istilah difabel memiliki nilai lebih humanis dan sebagai suatu usaha untuk
menghilangkan kekuatan ruang yang memiliki hubungan tidak adil atau
diskriminasi serta mendorong eksistensi dan peran difabel dalam lingkungan
mereka (Priyadi 2006; Annisa, 2005).[8]
b.
Macam-Macam
Difabel[9]
Jika merujuk pada Undang-Undang No.4 Tahun 1997
tentang penyandang cacat, maka macam-macam difabel[10]
dapat dikategorikan ke dalam tiga bentuk, antara lain:
1.
Difabel
Fisik
Adalah
kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh, antara lain gerak
tubuh, penglihatan, pendengaran, dan kemampuan berbicara. Oleh karena itu,
difabel ini terbagi lagi kedalam beberapa kategori, yaitu:
a.
Difabel
Tubuh : kondisi ini disebabkan
adanya anggota tubuh yang tidak lengkap oleh karena bawaan dari lahir,
kecelakaan, maupun akibat penyakit yang menyebabkan terganggunya mobilitas yang
bersangkutan. Contohnya amputasi tangan atau kaki (paraplegia), dan kecacatan
tulang (cerebral palsy).
b.
Difabel
Rungu : disebabkan karena hilangnya
atau terganggunya fungsi pendengaran dan atau fungsi bicara baik disebabkan
oleh kelahiran, kecelakaan maupun penyakit. Terdiri dari difabel rungu dan
wicara, difabel rungu, dan difabel wicara.
c.
Difabel
Netra : seseorang yang terhambat
mobilitas gerak yang disebabkan oleh hilang atau berkurangnya fungsi
penglihatan sebagai akibat dari kelahiran, kecelakaan, maupun penyakit. Terdiri
dari
-
Netra
total ( tidak dapat melihat sama sekali objek di depannya atau hilangnya fungsi
penglihatan)
-
Persepsi
Cahaya (seseorang yang mampu membedakan adanya cahaya atau tidak, tetapi tidak
dapat menentukan objek atau benda di depannya).
-
Memiliki
sisa penglihatan atau low vision (seseorang yang dapat melihat samar-samar
benda yang ada di depannya dan tidak dapat melihat jari-jari tangan yang
digerakkan dalam jarak satu meter. Tidak termasuk dalam kelompok ini orang yang
menggunakan kaca mata plus, minus, maupun silinder).
2.
Difabel
Mental : seseorang yang perkembangan
mentalnya (IQ) tidak sejalan dengan pertumbuhan usia biologisnya (Retardasi).
Juga termasuk seseorang yang pernah mengalami gangguan jiwa (Eks Psikotik).
3.
Difabel
Ganda atau Difabel Fisik dan Mental : seseorang yang memiliki kelainan pada
fisik dan mentalnya.
B.
Konsep Egalitarianism dalam al-Qur’an
Kata “Egalitarianism” berasal dari
bahasa Perancis égal yang berarti “sama”. Setara juga dengan
kata equality dalam bahasa Inggris. Egalitarian kemudian
didefinisikan dengan
Affirming, promoting, or characterized by
belief in equal political, economic, social, and civil right for all people[11].
Kata ini
kemudian dibentuk dengan tambahan ism menjadi Egalitarianism , yaitu
The
doctrine of the equality of mankind and the desirability of political and
economic and social equality[12].
Selanjutnya, kata ini menjadi salah
satu kata serapan dalam bahasa Indonesia, dan didefinisikan sebagai “doktrin
atau pandangan yang menyatakan bahwa manusia itu ditakdirkan sama derajatnya
atau asas yang menganggap bahwa kelas-kelas social yang berbeda mempunyai
bermacam-macam anggota, dari yang sangat pandai sampai ke yang sangat bodoh
dalam proporsi yang relative sama”.[13] Dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata “Kesetaraan atau
Persamaan”. Sedangkan dalam bahasa Arab bisa terwakili dengan kata al-Mu>sa
as>wah.
Dalam
al-Qur’an konsep Egalitarianism ini ditegaskan dalam Q.S al-Hujurat [49] ayat 13[14]
yang menjelaskan mengenai keragaman manusia (bahwa Alla>h swt menciptakan
manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku) dan hal itu menjadi sebuah
keniscayaan. Keragaman tersebut janganlah dijadikan pemicu
adanya pertentangan dan perselisihan, tetapi harus difahami bahwa keragaman
tersebut
sebenarnya kembali kepada hakekat yang sama, bahwa makhluk
diciptakan dari satu jenis yang sama, sebagaimana terangkum dalam Q.S Al-Nisa’4]:
1[15].
Perbedaan yang nampak dihadapan Alla>h swt lebih tertuju pada seberapa
tinggi tingkat ketakwaan kepada-Nya. Hal inilah yang mendasari persamaan perlakuan yang ditujukan
pada semua makhluk, meskipun ia berbeda dalam arti fisik ataupun mentalnya.
Asghar
Ali Engineer dalam bukunya Islam dan Teologi Pembebasan menuliskan bahwa Egalitarianism menjadi salah
satu tujuan dasar Islam, sebagai sebuah
agama yang bersifat social-revolutif dan menentang segala bentuk penindasan.
Tiga tujuan dasar tersebut antara lain, persaudaraan yang universal (Universal
Brotherhood), Kesetaraan (Equality atau Egalitarian), dan
keadilan social (Social Justice). Q.S Al-Hujurat [49] ayat 13 yang telah
dipaparkan sebelumnya, menegaskan
kesatuan manusia (Unity of Mankind),dan hal inilah yang idealnya
membentuk persaudaraan yang universal. Ketaqwaan dalam ayat tersebut menurut
Asghar tidak hanya meliputi kesalehan ritual saja, tetapi juga meliputi kesalehan
social. Secara tegas, al-Qur’an menyatakan dalam ayat lain “Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Alla>h,
Sesungguhnya Alla>h Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”[16].
Kesalehan social yang dimaksudkan dalam penjelasan ini terkait dengan keadilan
social. Menurut –Asghar-, keadilan social tidak akan tercipta tanpa membebaskan
golongan masyarakat lemah dan marjinal dari penderitaan.[17]
Dalam hal ini, bisa diasumsikan difabel dalam kajian ini termasuk dalam
golongan masyarakat yang termarjinalkan dalam masyarakat, dan untuk menciptakan
suatu keadilan social, maka harus membebaskan mereka dari segala diskriminasi
yang ada.
Hal
ini senada dengan sikap humanitarian yang selalu dikampanyekan oleh Abdurrahman
Wahid. Humanitarian merupakan sikap toleran dan memiliki kepedulian yang kuat
terhadap kerukunan social (social harmony). Abdurrahaman Wahid
menggunakan istilah ini untuk mengungkapkan suatu sikap dalam melihat segala
kebaikan dalam perspektif kemanusiaan yang dipadukan dengan perhatian terhadap
kesejahteraan individu. Humanitaraianisme Abdurrahman Wahid merupakan pemikiran
fundamentalnya, dalam memberikan
apresiasi luas terhadap segala hal yang baik dalam kehidupan manusia dan dalam
memberikan perhatian pada kesejahteraan setiap individu. Sikap humanitarian ini
dikemukakan tanpa membedakan latar belakang agama, kultur dan etnis.[18]
Pandangan Abdurrahman Wahid ini berangkat dari ide dasar Islam mengenai
jaminan-jaminan[19]
yang diberikan oleh Islam untuk manusia. Ia merumuskan jaminan dasar Islam ini
sebagai dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat dan harus diwujudkan dalam kehidupan
nyata masyarakat.
Sebagaimana
Asghar Ali, Abdurrahman Wahid juga menekankan adanya perjuangan menegakkan HAM
(Hak-Hak Asasi Manusia) untuk membebaskan manusia dari ketidakadilan struktur
social ekonomi dan kezaliman rezim diktator. Perjuangan menegakkan HAM ini
harus menyentuh masyarakat bawah, dan tidak hanya menjadi komoditi politik yang
hanya menguntungkan salah satu pihak saja. Dengan sikap humanitarianisme
inilah, Abdurrahman Wahid sebagaimana Asghar Ali, bertujuan untuk mengembangkan
asas kesetaraan (Egalitarianism).
Hermenutika sebagai metode penafsiran al-Qur’an selama ini
banyak digagas oleh para mufassir kontemporer, semisal Hassan Hanafi, M.Arkoun,
Fazlur Rahman, Amina Wadud, Farid Esack, Asghar Ali Engineer, Asma Barlas, dan
lain-lain. Meskipun diakui bahwa peran hermeneutika yang paling besar adalah
dalam bidang ilmu sejarah dan kritik teks, terutama berkenaan dengan kitab
suci. Hal ini salah satunya terlihat dalam kajian hermeneutika M.Arkoun yang
mengusung ide pembacaan semiotika terhadap al-Qur’an, serta Fazlur Rahman
dengan hermeneutikanya yang sistematik, dikenal dengan Double Movement.[24]
Metode keduanya inilah yang kemudian diadopsi oleh Farid Esack dan menjadi satu
rangkaian dalam metode penafsirannya yang dikenal dengan metode hermeneutika
praksis liberatif.
Hermeneutika yang diusung Esack sebenarnya hampir mirip
dengan hermeneutika yang diusung oleh Hassan Hanafi dan Asghar Ali Engineer.
Ketiganya menerapkan metode penafsiran pada wilayah masing-masing, Hassan
Hanafi yang memperjuangkan adanya pembebasan dari adanya penjajahan kapitalisme
Barat di Mesir, Asghar Ali yang memperjuangkan penghapusan rasisme, kesetaraan
gender, serta membendung pengaruh ekonomi kapitalis Barat di India. Begitu juga Farid Esack yang berdomisili di Afrika
Selatan berjuang untuk menghapuskan penindasan dan diskriminasi akibat pengaruh
ideologi Aphartheid. Ketiganya bergerak pada ranah penafsiran, berusaha untuk
mereproduksi makna ayat dengan semangat teologi pembebasan.
Teologi pembebasan yang diusungnya dipahami sebagai sesuatu
yang bekerja ke arah pembebasan agama dari struktur serta ide social, politik,
dan religious yang didasarkan pada ketundukan yang tidak kritis dan pembebasan
seluruh masyarakat dari semua bentuk ketidakadilan dan ekspoitasi ras, gender,
kelas, dan agama.[25]Dengan
kata lain pembebasan teologi diperlukan untuk mengembangkan teologi pembebasan (theology
of liberation).Semangat pembebasan yang dirumuskannya dibangun di atas
kenyataan bahwa Nabi Muhammad saw sendiri adalah seorang pembebas. Masa Arab
pra-Islam menunjukkan masa kebodohan (jahiliyah), masyarakatnya sebagian besar
adalah buta huruf, selain itu kehidupan religius diketahui sangat menyimpang,
posisi perempuan tidak dihargai, kondisi ekonomi memburuk, ditambah dengan
marjinalisasi kaum buruh (para budak). Keadaan tersebut sedikit demi sedikit
dikikis setelah datangnya Islam yang ditandai dengan diutusnya Muhammad
saw. Ia berjuang membebaskan kaum yang
tertindas, fakir miskin dan kaum yang tertindas. Dalam melakukan upaya ini,
Nabi Muhammad saw tidak hanya berperan sebagai seorang guru dan filosof, tetapi
juga sebagai aktivis yang turun ke lapangan dan juga seorang pejuang.[26]
Legitimasi dari al-Qur’an pun ia gunakan sebagai pijakan teologi pembebasan.
Seperti halnya Q.S al-Hujurat [49] : 13 yang menunjukkan adanya kesatuan manusia
(unity of mankind), Q.S al-Qashash [28]: 5 menyatakan mengenai
pembebasan golongan masyarakat lemah dan marjinal, serta pemberian kesempatan
bagi mereka untuk menjadi pemimpin. Kemudian, Esack secara tegas menyatakan
dogma boleh jadi mendahului praksis tetapi hal ini tidak berlaku bagi teologi
pembebasan. Teologi, bagi kaum marjinal adalah refleksi yang mengikuti praksis
pembebasan. Dalam hal ini, ia berpegang pada firman Alla>h swt “dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan
Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Alla>h
benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.(Q.S al-‘Ankabut [29]:
69.[27]
Jika diamati ,teologi pembebasan ini termasuk dalam upaya
penafsiran yang ingin membumikan
al-Qur’an, terlebih berusaha mengungkap nilai-nilai humanistis demi
kemaslahatan manusia. Sebagaimana Nashr Hamid Abu Zayd dalam Mafhum al-Nas;
Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an yang mengungkapkan perlunya penafsiran
ulang terhadap teks-teks keagamaan untuk menyemangati nilai-nilai humanistis.
Karena ayat al-Qur’an tidak hanya menyerukan pembelaan kepada Tuhan, tetapi
juga mengusung inspirasi untuk menegakkan nilai-nilai bumi yang terkait dengan
hak-hak utama manusia. Mengutip pendapat Hassan Hanafi, bahwa wahyu akan
dianggap wahyu yang sesungguhnya, bukan karena diturunkan dari Tuhan belaka,
melainkan disebut wahyu ketika wahyu tersebut dapat menjadi spirit dalam
menciptakan perubahan pada tataran bawah, dengan membela kemaslahatan dan
nilai-nilai humanistis.[28]
Mengingat penjelasan di awal mengenai sikap humanitarian yang digagas oleh
Abdurrahman Wahid, bahwa pengembangan sikap inilah yang diharapkan mampu
menciptakan kondisi yang mengantarkan pada egalitarianism. Gagasan mayoritas mufassir
kontemporer pun dewasa ini berusaha
lebih jauh untuk membumikan al-Qur’an sebagai kitab suci pemberi hidayah bagi
manusia.
Selanjutnya , kita akan melihat keunikan dari metode yang
ditawarkan oleh Esack yang menetapkan
tujuh kunci hermeneutik, sebagai
perangkat untuk memahami al-Qur’an, terutama bagi suatu masyarakat yang
diwarnai penindasan dan perjuangan antariman demi keadilan dan kebebasan.
Diantara kunci hermeneutika yang dimaksud adalah Taqwa> (integritas
dan kesadaran atas kehadiran Tuhan), Tauhi>d (Keesaan Tuhan), al-Na>ss
(Manusia), al-Mustadl’afu>na fi> al-Ardl (yang tertindas di
dunia), ‘Adl dan Qist} (Keseimbangan dan kesetaraan), dan Jiha>d (Perjuangan dan
praksis).
Dua kunci pertama, taqwa> dan tauhi>d ditujukan pada pembangunan moral dan doktrinal
untuk menguji kunci-kunci lain atau lebih jelasnya disebut “lensa teologis” untuk
membaca al-Qur’an secara umum. Dua kunci selanjutnya, al-na>ss dan al-mustadl’afu>n
fi al-ardl sebagai objek dari interpretasi. Meskipun menurutnya, seorang
penafsir sendiri tidak akan bisa lepas dari pengaruh konteks yang
melingkupinya. Dua kunci terakhir, ‘adl dan qist} dan perjuangan
(jiha>d) merefleksikan metode dan etos yang menghasilkan dan
membentuk pemahaman kontekstual tentang firman Tuhan dalam masyarakat yang
diwarnai ketidakadilan.[29]
[1] Kata “cacat” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Purwadarminta) mencakup beberapa arti,
diantaranya: (1) kekurangan yang menyebabkan mutunya kurang baik atau kurang
sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin atau ahlak); (2) lecet
(kerusakan, noda) yang menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik (kurang
sempurna); (3) cela atau aib; (4) tidak/kurang sempurna.
[2]Impairment
adalah kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi psikologis,
fisiologis, atau anatomis (Any loss or abnormality of psychological,
physiological, or anatomical structure or function).
[3] Disability
adalah suatu keterbatasan atau kehilangan kemampuan sebagai akibat dari suatu impairment,
untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara atau dalam batas-batas yang
dipandang normal bagi seorang manusia (Any restriction or lack (resulting
from an impairment) of ability to perform an activity in the manner or within
the range considered normal for a human being).
[4] Handicap
adalah suatu kerugian, bagi seorang individu tertentu, sebagai akibat dari
adanya impairment atau disability, yang membatasi atau menghambat
terlaksananya suatu peran yang normal, tergantung pada usia, jenis kelamin,
faktor-faktor sosial atau budaya (A disadvantage, for a given individual,
resulting from an impairment or disability, that limits or prevents the
fulfillment of a role that is normal, depending on age, sex, social and
cultural factors).
[5] Pertuni merupakan organisasi kemasyarakatan tuna netra
Indonesia yang didirikan oleh sekelompok tuna netra pada tahun 1966. Organisasi
ini bertujuan untuk mewujudkan keadaan yang kondusif bagi orang tuna netra
untuk menjalankan kehidupannya sebagai manusia dan warga negara Indonesia yang
cerdas, mandiri, dan produktif tanpa diskriminasi dalam segala aspek kehidupan.
[6]
Kata “tuna” berasal dari bahasa Jawa kuno yang artinya rusak atau rugi.
Penggunaan kata ini diperkenalkan pada awal tahun 1960-an sebagai bagian dari
istilah yang mengacu pada kekurangan yang dialami oleh seseorang pada fungsi
organ tubuhnya; lihat misalnya istilah tunanetra, tunarungu, dll. Dikutip dari
Didi Tarsidi, Penyandang Ketunaan
Istilah Pengganti Penyandang
Cacat dalam www.pertuni.idp-europe.org.
[7] Mengenai hal ini, ada yang berpendapat bahwa istilah ini
mulai diperkenalkan pada tahun 1999 oleh aktivis gerakan kecacatan di
Indonesia. Dr.
Ikaputra yang merupakan praktisi dan
dosen Arsitektur UGM , menyatakan bahwa
istilah “difabel” muncul pertama kali di Inggris, namun sayangnya
penulis belum dapat menemukan sumber-sumber yang dapat memperkuat statement tersebut.
[8] Didi Tarsidi, Penyandang Ketunaan : Istilah Pengganti
“Penyandang Cacat” dalam www.Pertuni.idp-europe.org
, diakses tanggal 24 Desember .
[9] Diadaptasi dari
makalah Marjuki, Penyandang Cacat : Berdasarkan Klasifikasi International
Classification of Functioning for Disability and Health (ICF), Kepala
Badan Pendidikan dan Penelitian
Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial Republik Indonesia.
[10] selanjutnya
penulis lebih menggunakan istilah ini daripada istilah kecacatan atau ketunaan
[11] The American Heritage®
Dictionary of the English Language, Fourth Edition copyright ©2000 by Houghton
Mifflin Company. Updated in 2009. Published by Houghton Mifflin Company
dalam www.thefreedictionary.com diakses pada tanggal 11 Januari 2012.
[12] Berdasarkan definisi yang
dimuat WordNet 3.0, Farlex clipart
collection. © 2003-2011 Princeton University, Farlex Inc , dalam www.thefreedictionary.com diakses pada tanggal 11 Januari 2012.
[13] Yus Badudu,Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa
Indonesia (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2003), hlm.75.
[14] Artinya: Hai
manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
[15] Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu
yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya, Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
[16] Q.S al-Maidah :8.
[17] Ashgar Ali Angineer,Islam dan Teologi Pembebasan,
hlm.33.
[18] Syamsul Bakri dan Mudhofir,Jombang-Kairo,
Jombang-Chichago :Sintesis Pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam Pembaharuan
Islam di Indonesia ed.Sukini (Solo: Tiga Serangkai,2004) hlm.48-49.
[19] Jaminan-jaminan dasar itu antara lain jaminan atas
keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani diluar koridor hukum,
keselamatan keyakinan agama masing-masing tanpa adanya pemaksaan untuk
berpindah agama, keselamatan keluarga dan keturunan, keselamatan harta benda
dan milik pribadi diluar ketentuan hukum, serta jaminan terhadap keselamatan
profesi.lihat dalam Syamsul Bakri dan Mudhofir, Jombang-Kairo, Jombang-Chichago
:Sintesis Pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam Pembaharuan Islam di Indonesia,hlm.49.
[20] Kata “Hermeneutika” berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan. Mengambil dari salah
satu definisi , hermeneutika adalah ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana
sebuah kata atau satu kejadian dalam waktu dan budaya lampau dapat dimengerti
dan menjadi bermakna secara eksistensial
dalam situasi sekarang.(Braaten, 1966,hlm.131) dalam Farid Esack, A-l-Qur’an, Liberalisme,
Pluralisme: Membebaskan Yang Tertindas terj. Watung A. Budiman ( Bandung:
Mizan, 2000),hlm. 83.
[21] Tindakan sadar yang diambil suatu komunitas manusia yang
bertanggung jawab atas tekad politiknya sendiri, berdasar pada kesadaran bahwa
manusialah yang membentuk sejarah . dalam
Farid Esack, al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan
Yang Tertindas, hlm. 145.
[22] Liberatif pada tulisan ini diartikan dengan “pembebasan”.
Arti utuh dan integral terhadap istilah ini diberikan oleh Gutierrez (1973),
Ronaldo Munoz (1974), dan Segundo Galilea (1975). Farid Esack dalam
penafsirannya terpengaruh oleh teologi pembebasannya Gutierrez dan Segundo.
Gutierrez merumuskan teologi pembebasan sebagai refleksi kritis atas praksis
Kristiani dalam terang Sabda, sedangkan Segundo merumuskannya sebagai refleksi
iman ayng tidak merefleksikan wahyu Tuhan dalam pesan verbalnya saja, tetapi
juga wahyu Tuhan di dalam realitas-realitas kesejarahan. Cara berteologi
pembebasan adalah trnsformatif , bertolak dari praksis atau iman yang dialami
dalam sejarah tertentu. Lihat di Fr.Wahono Nitiprawiro, Teologi
Pembebasan:Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya (Yogyakarta : LKiS, 2008)
hlm. 17. Dengan begitu, metode
penafsiran Farid Esack cenderung berangkat dari konteks atau kondisi masyarakat
tertentu (dalam tafsirnya ia banyak mengaitkan tafsirnya pada lingkungan
masyarakat Afrika Selatan).
[23] Human berarti manusia,sedangakn humanistic bisa dipahami
dengan bersifat kemanusiaan.
[24] Fahruddin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an: Tema-Tema
Kontroversial (Yogyakarta:
eLSAQ Press,2005), hlm 14-15.
[25] Farid Esack, Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme:
Membebaskan Yang Tertindas, hlm.120.
[26] Ashgar Ali Angineer,Islam dan Teologi Pembebasan,
terj.Agung Prihantoro,hlm. 41-45.
[27] Farid Esack, Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme:
Membebaskan Yang Tertindas ,hlm.122.
[28] Zuhairi Misrawi, Tafsir Humanis atas Syari’at Islam
dalam www.Islamlib.com diakses pada 14
Januari 2102.
[29] Farid Esack, Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme:
Membebaskan Yang Tertindas, hlm.123-124.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar