Sabtu, 26 Oktober 2013

BAB II,KONSEP DASAR DIFABEL

BAB II
BEBERAPA KONSEP DASAR
A.  Meninjau Istilah Difabel
a.       Transisi Penggunaan Istilah
Pembahasan mengenai istilah ini memang sulit dihindari dari bias-bias kebahasaan. Istilah “difabel” yang dikenal sekarang ini, merupakan rumusan asn yang muncul setelah beberapa kali terjadi transisi penggunaan kata. Di Indonesia sendiri , awalnya seorang difabel disebut dengan penyandang cacat.[1] Istilah ini memunculkan perspektif negative bagi sebagian orang, karena istilah “cacat” cenderung menilai seseorang berbeda hanya karena keterbatasan fisiknya.  Definisi terhadap istilah ini termuat dalam  Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997,Pasal 1 ayat 1, bahwa “penyandang cacat” adalah “setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya”.
Penggunaan istilah “penyandang cacat” ini sebenarnya mengacu pada ketentuan yang ditetapkan dunia Internasional oleh Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization), bahwa yang dimaksud dengan kecacatan, antara lain : Impairement[2], Disability[3] dan Handicapped[4].  Kategori “penyandang cacat” sejalan dengan istilah disability, dan jika diamati disability hanyalah salah satu dari tiga aspek kecacatan itu. Singkatnya, impairment merupakan aspek kecacatan pada level organ tubuh. Sedangkan disability merupakan aspek kecacatan pada level keberfungsian individu. Handicap dipahami sebagai kondisi yang dianggap merugikan akibat adanya impairment dan disability yang dipengaruhi oleh factor-faktor yang tidak terkait langsung dengan kecacatan.
Jika ketiga istilah tersebut dipahami, maka masing-masing mempunyai perbedaan yang terkadang membentuk adanya keterkaitan kausalitas ataupun tidak sama sekali. Suatu impairment belum tentu mengakibatkan disability. Misalnya, seseorang yang kehilangan sebagian dari jari kelingking tangan kanannya,maka tidak lantas menyebabkan orang itu kehilangan kemampuannnya untuk melakukan kegiatan sehari-hari secara selayaknya.  Demikian pula, disability tidak selalu mengakibatkan seseorang mengalami handicap. Misalnya, orang yang kehilangan penglihatan (impairment) tidak mampu mengoperasikan computer secara visual (disability) tetapi dia dapat mengatasi keterbatasannya itu dengan menggunakan software pembaca layer bersuara (speech screen reader) dan oleh karenanya dia tetap dapat berperan sebagai seorang programmer komputer. Akan tetapi, handicap dalam bidang programming itu akan muncul manakala dia dihadapkan pada komputer yang tidak dilengkapi dengan speech screen reader. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan handicap itu ditentukan oleh factor-faktor di luar dirinya.

Selain istilah “penyandang cacat”, terdapat beberapa kelompok yang menyepakati penggunaan istilah “penyandang ketunaan” yaitu organisasi Pertuni (Persatuan Tuna Netra Indonesia)[5], sebagai hasil dari semiloka tentang terminologi “penyandang cacat”. Penetapan tersebut bertepatan dengan hari ulang tahun Pertuni yang ke-43 pada tanggal 26 Januari 2009. Istilah tersebut direkomendasikan untuk dipergunakan untuk menerjemahkan frase ‘person with disabilities” yang digunakan dalam International Convention on The Right of Person with Disabilities.[6] Istilah inilah juga yang kemudian lebih bermasyarakat, karena nyatanya masyarakat lebih mengetahui istilah ini untuk menyebut kekurangan dalam diri seseorang seseorang. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, kata tuna digunakan juga untuk membentuk istilah yang mengacu pada kekurangan non-organik, seperti  penggunaan istilah tunawisma, tunasusila, dan lain-lain. Meskipun begitu, kata tuna tidak lazim jika digunakan untuk mengacu pada barang yang rusak, hal ini berbeda dengan kata cacat , yang bisa saja digunakan untuk menyebut barang yang cacat, misalnya, “sepatu ini cacat”.
Pada tahun 1997  istilah “difabel”  di Indonesia mulai diperkenalkan oleh  Dr. Mansour Fakih. (Ambulangsih, 2007; Priyadi 2006, Annisa 2005).[7] Penggunaan kata ini merujuk pada istilah berbahasa Inggris, yaitu Different Ability People (seseorang dengan kemampuan berbeda), yang kemudian disingkat menjadi Difable. Namun, penggunaannya di Indonesia tidak mengikuti kaidah tersebut, karena nyatanya istilah yang berkembang bukanlah “difable” melainkan “difabel”. Perubahan penggunaan kata ini-meskipun dianggap bukan hal yang terlalu penting-, tetapi menjadi harapan sekelompok orang untuk merekonstruksi pandangan, pemahaman, dan persepsi masyarakat umum pada nilai-nilai sebelumnya yang memandang seorang difabel adalah seseorang yang tidak normal, memiliki kecacatan sebagai sebuah kekurangan dan ketidakmampuan. Padahal setiap manusia memang diciptakan berbeda, dan seorang difabel hanyalah sebagai seseorang yang memiliki perbedaan kondisi fisik dan dia mampu melakukan segala aktivitas dengan cara dan pencapaian yang berbeda. Pemakaian istilah difabel memiliki nilai lebih humanis dan sebagai suatu usaha untuk menghilangkan kekuatan ruang yang memiliki hubungan tidak adil atau diskriminasi serta mendorong eksistensi dan peran difabel dalam lingkungan mereka (Priyadi 2006; Annisa, 2005).[8]
b.      Macam-Macam Difabel[9]
Jika merujuk pada Undang-Undang No.4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, maka macam-macam difabel[10] dapat dikategorikan ke dalam tiga bentuk, antara lain:
1.      Difabel Fisik
Adalah kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh, antara lain gerak tubuh, penglihatan, pendengaran, dan kemampuan berbicara. Oleh karena itu, difabel ini terbagi lagi kedalam beberapa kategori, yaitu:
a.       Difabel Tubuh       : kondisi ini disebabkan adanya anggota tubuh yang tidak lengkap oleh karena bawaan dari lahir, kecelakaan, maupun akibat penyakit yang menyebabkan terganggunya mobilitas yang bersangkutan. Contohnya amputasi tangan atau kaki (paraplegia), dan kecacatan tulang (cerebral palsy).
b.      Difabel Rungu      : disebabkan karena hilangnya atau terganggunya fungsi pendengaran dan atau fungsi bicara baik disebabkan oleh kelahiran, kecelakaan maupun penyakit. Terdiri dari difabel rungu dan wicara, difabel rungu, dan difabel wicara.
c.       Difabel Netra        : seseorang yang terhambat mobilitas gerak yang disebabkan oleh hilang atau berkurangnya fungsi penglihatan sebagai akibat dari kelahiran, kecelakaan, maupun penyakit. Terdiri dari
-          Netra total ( tidak dapat melihat sama sekali objek di depannya atau hilangnya fungsi penglihatan)
-          Persepsi Cahaya (seseorang yang mampu membedakan adanya cahaya atau tidak, tetapi tidak dapat menentukan objek atau benda di depannya).
-          Memiliki sisa penglihatan atau low vision (seseorang yang dapat melihat samar-samar benda yang ada di depannya dan tidak dapat melihat jari-jari tangan yang digerakkan dalam jarak satu meter. Tidak termasuk dalam kelompok ini orang yang menggunakan kaca mata plus, minus, maupun silinder).
2.      Difabel Mental            : seseorang yang perkembangan mentalnya (IQ) tidak sejalan dengan pertumbuhan usia biologisnya (Retardasi). Juga termasuk seseorang yang pernah mengalami gangguan jiwa (Eks Psikotik).
3.      Difabel Ganda atau Difabel Fisik dan Mental : seseorang yang memiliki kelainan pada fisik dan mentalnya.

B.   Konsep Egalitarianism dalam al-Qur’an
            Kata “Egalitarianism” berasal dari bahasa Perancis égal yang berarti “sama”. Setara juga dengan kata equality dalam bahasa Inggris. Egalitarian kemudian didefinisikan dengan
 Affirming, promoting, or characterized by belief in equal political, economic, social, and civil right for all people[11].
 Kata ini kemudian dibentuk dengan tambahan ism menjadi Egalitarianism , yaitu
The doctrine of the equality of mankind and the desirability of political and economic and social equality[12].
            Selanjutnya, kata ini menjadi salah satu kata serapan dalam bahasa Indonesia, dan didefinisikan sebagai “doktrin atau pandangan yang menyatakan bahwa manusia itu ditakdirkan sama derajatnya atau asas yang menganggap bahwa kelas-kelas social yang berbeda mempunyai bermacam-macam anggota, dari yang sangat pandai sampai ke yang sangat bodoh dalam proporsi yang relative sama”.[13] Dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata “Kesetaraan atau Persamaan”. Sedangkan dalam bahasa Arab bisa terwakili dengan kata al-Mu>sa as>wah.
            Dalam al-Qur’an konsep Egalitarianism ini ditegaskan dalam  Q.S al-Hujurat [49] ayat 13[14] yang menjelaskan mengenai keragaman manusia (bahwa Alla>h swt menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku) dan hal itu menjadi sebuah keniscayaan.  Keragaman tersebut janganlah dijadikan pemicu adanya pertentangan dan perselisihan, tetapi harus difahami bahwa keragaman tersebut sebenarnya kembali kepada hakekat yang sama, bahwa makhluk diciptakan dari satu jenis yang sama, sebagaimana terangkum dalam Q.S Al-Nisa’4]: 1[15]. Perbedaan yang nampak dihadapan Alla>h swt lebih tertuju pada seberapa tinggi tingkat ketakwaan kepada-Nya. Hal inilah yang mendasari persamaan perlakuan yang ditujukan pada semua makhluk, meskipun ia berbeda dalam arti fisik ataupun mentalnya.
            Asghar Ali Engineer dalam bukunya Islam dan Teologi Pembebasan  menuliskan bahwa Egalitarianism menjadi salah satu tujuan dasar Islam,  sebagai sebuah agama yang bersifat social-revolutif dan menentang segala bentuk penindasan. Tiga tujuan dasar tersebut antara lain, persaudaraan yang universal (Universal Brotherhood), Kesetaraan (Equality atau Egalitarian), dan keadilan social (Social Justice). Q.S Al-Hujurat [49] ayat 13 yang telah dipaparkan sebelumnya,  menegaskan kesatuan manusia (Unity of Mankind),dan hal inilah yang idealnya membentuk persaudaraan yang universal. Ketaqwaan dalam ayat tersebut menurut Asghar tidak hanya meliputi kesalehan ritual saja, tetapi juga meliputi kesalehan social. Secara tegas, al-Qur’an menyatakan dalam ayat lain “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Alla>h, Sesungguhnya Alla>h Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”[16]. Kesalehan social yang dimaksudkan dalam penjelasan ini terkait dengan keadilan social. Menurut –Asghar-, keadilan social tidak akan tercipta tanpa membebaskan golongan masyarakat lemah dan marjinal dari penderitaan.[17] Dalam hal ini, bisa diasumsikan difabel dalam kajian ini termasuk dalam golongan masyarakat yang termarjinalkan dalam masyarakat, dan untuk menciptakan suatu keadilan social, maka harus membebaskan mereka dari segala diskriminasi yang ada.
Hal ini senada dengan sikap humanitarian yang selalu dikampanyekan oleh Abdurrahman Wahid. Humanitarian merupakan sikap toleran dan memiliki kepedulian yang kuat terhadap kerukunan social (social harmony). Abdurrahaman Wahid menggunakan istilah ini untuk mengungkapkan suatu sikap dalam melihat segala kebaikan dalam perspektif kemanusiaan yang dipadukan dengan perhatian terhadap kesejahteraan individu. Humanitaraianisme Abdurrahman Wahid merupakan pemikiran fundamentalnya,  dalam memberikan apresiasi luas terhadap segala hal yang baik dalam kehidupan manusia dan dalam memberikan perhatian pada kesejahteraan setiap individu. Sikap humanitarian ini dikemukakan tanpa membedakan latar belakang agama, kultur dan etnis.[18] Pandangan Abdurrahman Wahid ini berangkat dari ide dasar Islam mengenai jaminan-jaminan[19] yang diberikan oleh Islam untuk manusia. Ia merumuskan jaminan dasar Islam ini sebagai dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat dan harus diwujudkan dalam kehidupan nyata masyarakat.
Sebagaimana Asghar Ali, Abdurrahman Wahid juga menekankan adanya perjuangan menegakkan HAM (Hak-Hak Asasi Manusia) untuk membebaskan manusia dari ketidakadilan struktur social ekonomi dan kezaliman rezim diktator. Perjuangan menegakkan HAM ini harus menyentuh masyarakat bawah, dan tidak hanya menjadi komoditi politik yang hanya menguntungkan salah satu pihak saja. Dengan sikap humanitarianisme inilah, Abdurrahman Wahid sebagaimana Asghar Ali, bertujuan untuk mengembangkan asas kesetaraan (Egalitarianism).

C.     Metode Hermeneutika[20] Praksis[21] Liberatif[22] – Humanistik[23]
Hermenutika sebagai metode penafsiran al-Qur’an selama ini banyak digagas oleh para mufassir kontemporer, semisal Hassan Hanafi, M.Arkoun, Fazlur Rahman, Amina Wadud, Farid Esack, Asghar Ali Engineer, Asma Barlas, dan lain-lain. Meskipun diakui bahwa peran hermeneutika yang paling besar adalah dalam bidang ilmu sejarah dan kritik teks, terutama berkenaan dengan kitab suci. Hal ini salah satunya terlihat dalam kajian hermeneutika M.Arkoun yang mengusung ide pembacaan semiotika terhadap al-Qur’an, serta Fazlur Rahman dengan hermeneutikanya yang sistematik, dikenal dengan  Double Movement.[24] Metode keduanya inilah yang kemudian diadopsi oleh Farid Esack dan menjadi satu rangkaian dalam metode penafsirannya yang dikenal dengan metode hermeneutika praksis liberatif. 
Hermeneutika yang diusung Esack sebenarnya hampir mirip dengan hermeneutika yang diusung oleh Hassan Hanafi dan Asghar Ali Engineer. Ketiganya menerapkan metode penafsiran pada wilayah masing-masing, Hassan Hanafi yang memperjuangkan adanya pembebasan dari adanya penjajahan kapitalisme Barat di Mesir, Asghar Ali yang memperjuangkan penghapusan rasisme, kesetaraan gender, serta membendung pengaruh ekonomi kapitalis Barat di India. Begitu juga  Farid Esack yang berdomisili di Afrika Selatan berjuang untuk menghapuskan penindasan dan diskriminasi akibat pengaruh ideologi Aphartheid. Ketiganya bergerak pada ranah penafsiran, berusaha untuk mereproduksi makna ayat dengan semangat teologi pembebasan.
Teologi pembebasan yang diusungnya dipahami sebagai sesuatu yang bekerja ke arah pembebasan agama dari struktur serta ide social, politik, dan religious yang didasarkan pada ketundukan yang tidak kritis dan pembebasan seluruh masyarakat dari semua bentuk ketidakadilan dan ekspoitasi ras, gender, kelas, dan agama.[25]Dengan kata lain pembebasan teologi diperlukan untuk mengembangkan teologi pembebasan (theology of liberation).Semangat pembebasan yang dirumuskannya dibangun di atas kenyataan bahwa Nabi Muhammad saw sendiri adalah seorang pembebas. Masa Arab pra-Islam menunjukkan masa kebodohan (jahiliyah), masyarakatnya sebagian besar adalah buta huruf, selain itu kehidupan religius diketahui sangat menyimpang, posisi perempuan tidak dihargai, kondisi ekonomi memburuk, ditambah dengan marjinalisasi kaum buruh (para budak). Keadaan tersebut sedikit demi sedikit dikikis setelah datangnya Islam yang ditandai dengan diutusnya Muhammad saw.  Ia berjuang membebaskan kaum yang tertindas, fakir miskin dan kaum yang tertindas. Dalam melakukan upaya ini, Nabi Muhammad saw tidak hanya berperan sebagai seorang guru dan filosof, tetapi juga sebagai aktivis yang turun ke lapangan dan juga seorang pejuang.[26] Legitimasi dari al-Qur’an pun ia gunakan sebagai pijakan teologi pembebasan. Seperti halnya Q.S al-Hujurat [49] : 13 yang menunjukkan adanya kesatuan manusia (unity of mankind), Q.S al-Qashash [28]: 5 menyatakan mengenai pembebasan golongan masyarakat lemah dan marjinal, serta pemberian kesempatan bagi mereka untuk menjadi pemimpin. Kemudian, Esack secara tegas menyatakan dogma boleh jadi mendahului praksis tetapi hal ini tidak berlaku bagi teologi pembebasan. Teologi, bagi kaum marjinal adalah refleksi yang mengikuti praksis pembebasan. Dalam hal ini, ia berpegang pada firman Alla>h swt “dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Alla>h benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.(Q.S al-‘Ankabut [29]: 69.[27]
Jika diamati ,teologi pembebasan ini termasuk dalam upaya penafsiran yang ingin  membumikan al-Qur’an, terlebih berusaha mengungkap nilai-nilai humanistis demi kemaslahatan manusia. Sebagaimana Nashr Hamid Abu Zayd dalam Mafhum al-Nas; Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an yang mengungkapkan perlunya penafsiran ulang terhadap teks-teks keagamaan untuk menyemangati nilai-nilai humanistis. Karena ayat al-Qur’an tidak hanya menyerukan pembelaan kepada Tuhan, tetapi juga mengusung inspirasi untuk menegakkan nilai-nilai bumi yang terkait dengan hak-hak utama manusia. Mengutip pendapat Hassan Hanafi, bahwa wahyu akan dianggap wahyu yang sesungguhnya, bukan karena diturunkan dari Tuhan belaka, melainkan disebut wahyu ketika wahyu tersebut dapat menjadi spirit dalam menciptakan perubahan pada tataran bawah, dengan membela kemaslahatan dan nilai-nilai humanistis.[28] Mengingat penjelasan di awal mengenai sikap humanitarian yang digagas oleh Abdurrahman Wahid, bahwa pengembangan sikap inilah yang diharapkan mampu menciptakan kondisi yang mengantarkan pada egalitarianism. Gagasan mayoritas mufassir kontemporer pun dewasa ini  berusaha lebih jauh untuk membumikan al-Qur’an sebagai kitab suci pemberi hidayah bagi manusia.
Selanjutnya , kita akan melihat keunikan dari metode yang ditawarkan oleh Esack yang  menetapkan tujuh kunci hermeneutik,  sebagai perangkat untuk memahami al-Qur’an, terutama bagi suatu masyarakat yang diwarnai penindasan dan perjuangan antariman demi keadilan dan kebebasan. Diantara kunci hermeneutika yang dimaksud adalah Taqwa> (integritas dan kesadaran atas kehadiran Tuhan), Tauhi>d (Keesaan Tuhan), al-Na>ss (Manusia), al-Mustadl’afu>na fi> al-Ardl (yang tertindas di dunia), ‘Adl dan Qist} (Keseimbangan dan kesetaraan),  dan Jiha>d (Perjuangan dan praksis).
Dua kunci pertama, taqwa> dan tauhi>d  ditujukan pada pembangunan moral dan doktrinal untuk menguji kunci-kunci lain atau lebih jelasnya disebut “lensa teologis” untuk membaca al-Qur’an secara umum. Dua kunci selanjutnya, al-na>ss dan al-mustadl’afu>n fi al-ardl sebagai objek dari interpretasi. Meskipun menurutnya, seorang penafsir sendiri tidak akan bisa lepas dari pengaruh konteks yang melingkupinya. Dua kunci terakhir, ‘adl dan qist} dan perjuangan (jiha>d) merefleksikan metode dan etos yang menghasilkan dan membentuk pemahaman kontekstual tentang firman Tuhan dalam masyarakat yang diwarnai ketidakadilan.[29]










[1] Kata “cacat” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Purwadarminta)  mencakup beberapa arti, diantaranya: (1) kekurangan yang menyebabkan mutunya kurang baik atau kurang sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin atau ahlak); (2) lecet (kerusakan, noda) yang menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik (kurang sempurna); (3) cela atau aib; (4) tidak/kurang sempurna.
[2]Impairment adalah kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi psikologis, fisiologis, atau anatomis (Any loss or abnormality of psychological, physiological, or anatomical structure or function).
[3] Disability adalah suatu keterbatasan atau kehilangan kemampuan sebagai akibat dari suatu impairment, untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara atau dalam batas-batas yang dipandang normal bagi seorang manusia (Any restriction or lack (resulting from an impairment) of ability to perform an activity in the manner or within the range considered normal for a human being).
[4] Handicap adalah suatu kerugian, bagi seorang individu tertentu, sebagai akibat dari adanya impairment atau disability, yang membatasi atau menghambat terlaksananya suatu peran yang normal, tergantung pada usia, jenis kelamin, faktor-faktor sosial atau budaya (A disadvantage, for a given individual, resulting from an impairment or disability, that limits or prevents the fulfillment of a role that is normal, depending on age, sex, social and cultural factors).
[5] Pertuni merupakan organisasi kemasyarakatan tuna netra Indonesia yang didirikan oleh sekelompok tuna netra pada tahun 1966. Organisasi ini bertujuan untuk mewujudkan keadaan yang kondusif bagi orang tuna netra untuk menjalankan kehidupannya sebagai manusia dan warga negara Indonesia yang cerdas, mandiri, dan produktif tanpa diskriminasi dalam segala aspek kehidupan.
[6] Kata “tuna” berasal dari bahasa Jawa kuno yang artinya rusak atau rugi. Penggunaan kata ini diperkenalkan pada awal tahun 1960-an sebagai bagian dari istilah yang mengacu pada kekurangan yang dialami oleh seseorang pada fungsi organ tubuhnya; lihat misalnya istilah tunanetra, tunarungu, dll. Dikutip dari Didi Tarsidi, Penyandang Ketunaan  Istilah Pengganti  Penyandang Cacat dalam www.pertuni.idp-europe.org.
[7] Mengenai hal ini, ada yang berpendapat bahwa istilah ini mulai diperkenalkan pada tahun 1999 oleh aktivis gerakan kecacatan di Indonesia.  Dr. Ikaputra  yang merupakan praktisi dan dosen Arsitektur UGM , menyatakan bahwa  istilah “difabel” muncul pertama kali di Inggris, namun sayangnya penulis belum dapat menemukan sumber-sumber yang dapat memperkuat statement tersebut.
[8] Didi Tarsidi, Penyandang Ketunaan : Istilah Pengganti “Penyandang Cacat” dalam www.Pertuni.idp-europe.org , diakses tanggal 24 Desember .
[9]  Diadaptasi dari makalah Marjuki, Penyandang Cacat : Berdasarkan Klasifikasi International Classification of Functioning for Disability and Health (ICF), Kepala Badan  Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial Republik Indonesia.
[10] selanjutnya penulis lebih menggunakan istilah ini daripada istilah kecacatan atau ketunaan

[11] The American Heritage® Dictionary of the English Language, Fourth Edition copyright ©2000 by Houghton Mifflin Company. Updated in 2009. Published by Houghton Mifflin Company  dalam www.thefreedictionary.com diakses pada tanggal 11 Januari 2012.
[12] Berdasarkan definisi yang dimuat  WordNet 3.0, Farlex clipart collection. © 2003-2011 Princeton University, Farlex Inc , dalam www.thefreedictionary.com diakses pada tanggal 11 Januari 2012.
[13] Yus Badudu,Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2003), hlm.75.
[14] Artinya:  Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
[15] Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya, Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.


[16] Q.S al-Maidah :8.
[17] Ashgar Ali Angineer,Islam dan Teologi Pembebasan, hlm.33.
[18] Syamsul Bakri dan Mudhofir,Jombang-Kairo, Jombang-Chichago :Sintesis Pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam Pembaharuan Islam di Indonesia ed.Sukini (Solo: Tiga Serangkai,2004) hlm.48-49.
[19] Jaminan-jaminan dasar itu antara lain jaminan atas keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani diluar koridor hukum, keselamatan keyakinan agama masing-masing tanpa adanya pemaksaan untuk berpindah agama, keselamatan keluarga dan keturunan, keselamatan harta benda dan milik pribadi diluar ketentuan hukum, serta jaminan terhadap keselamatan profesi.lihat dalam Syamsul Bakri dan Mudhofir, Jombang-Kairo, Jombang-Chichago :Sintesis Pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam Pembaharuan Islam di Indonesia,hlm.49.
[20] Kata “Hermeneutika” berasal dari bahasa Yunani  hermeneuein  yang berarti menafsirkan. Mengambil dari salah satu definisi , hermeneutika adalah ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau satu kejadian dalam waktu dan budaya lampau dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial  dalam situasi sekarang.(Braaten, 1966,hlm.131) dalam  Farid Esack, A-l-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan Yang Tertindas terj. Watung A. Budiman ( Bandung: Mizan, 2000),hlm. 83. 
[21] Tindakan sadar yang diambil suatu komunitas manusia yang bertanggung jawab atas tekad politiknya sendiri, berdasar pada kesadaran bahwa manusialah yang membentuk sejarah . dalam  Farid Esack, al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan Yang Tertindas, hlm. 145.
[22] Liberatif pada tulisan ini diartikan dengan “pembebasan”. Arti utuh dan integral terhadap istilah ini diberikan oleh Gutierrez (1973), Ronaldo Munoz (1974), dan Segundo Galilea (1975). Farid Esack dalam penafsirannya terpengaruh oleh teologi pembebasannya Gutierrez dan Segundo. Gutierrez merumuskan teologi pembebasan sebagai refleksi kritis atas praksis Kristiani dalam terang Sabda, sedangkan Segundo merumuskannya sebagai refleksi iman ayng tidak merefleksikan wahyu Tuhan dalam pesan verbalnya saja, tetapi juga wahyu Tuhan di dalam realitas-realitas kesejarahan. Cara berteologi pembebasan adalah trnsformatif , bertolak dari praksis atau iman yang dialami dalam sejarah tertentu. Lihat di Fr.Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan:Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya (Yogyakarta : LKiS, 2008) hlm. 17.  Dengan begitu, metode penafsiran Farid Esack cenderung berangkat dari konteks atau kondisi masyarakat tertentu (dalam tafsirnya ia banyak mengaitkan tafsirnya pada lingkungan masyarakat Afrika Selatan).
[23] Human berarti manusia,sedangakn humanistic bisa dipahami dengan bersifat kemanusiaan.
[24] Fahruddin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial (Yogyakarta:  eLSAQ  Press,2005), hlm 14-15.
[25] Farid Esack, Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan Yang Tertindas, hlm.120.
[26] Ashgar Ali Angineer,Islam dan Teologi Pembebasan, terj.Agung Prihantoro,hlm. 41-45.
[27] Farid Esack, Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan Yang Tertindas ,hlm.122.
[28] Zuhairi Misrawi, Tafsir Humanis atas Syari’at Islam dalam www.Islamlib.com  diakses pada 14 Januari 2102.
[29] Farid Esack, Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan Yang Tertindas, hlm.123-124.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar