Jumat, 25 Oktober 2013

HASBI ASH-SHIDDIEQY

 Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Studi Hadis
Presented by: Khoirun Nisa, THK UIN SUKA

A.    Biografi
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy dilahirkan di Lhokseumawe, Aceh Utara, pada tanggal 10 Maret 1904. Ayahnya bernama Teungku[1] Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husein ibn Muhammad Su’ud, adalah seorang ulama terkenal di kampungnya dan mempunyai sebuah pesantren (meunasah). Sedangkan Ibunya bernama Teungku Amrah binti Teungku Chik Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz, putri seorang Qadhi Kesultanan Aceh ketika itu.[2] Hasbi tumbuh  di tengah-tengah keluarga  ulama pejabat, pendidik dan pejuang. Jika ditelusuri lebih jauh, dalam diri beliau mengalir campuran darah Aceh dan Arab. Bahkan menurut silsilah, beliau adalah keturunan ke 37 yang mempunyai ketersambungan dengan Abu Bakar ash-Shiddiq (573-13 H/634 M). Oleh sebab itu, pada nama belakang beliau ditambahlkan ash-Shiddieqy. [3]
Hasbi menikah di usia 19 tahun dengan Siti Khadidjah, namun sang istri meninggal ketika melahirkan putri pertama yang bernama Nur Jauharah yang kemudian menyusul ibunya kembali ke Rahmatullah. Kemudian Hasbi menikah lagi dengan Tengku Nyak Asiyah binti Tengku Haji Hanum dan dikarunia 4 anak.[4]
-Perjalanan Akademik
Sejak kecil, Hasbi sangatlah cerdas dan kritis terhadap sesuatu. Dengan dukungan keluarga yang kental agama, Hasbi dengan mudah mengukir pendidikan agama pertamanya di dayah (pesantren) milik ayahnya.[5] Disana ia belajar al-Qur’an, Qira’at, tajwid, dasar-dasar tafsir dan fiqih yang diajarkan langsung oleh ayahnya sendiri.

Berbekal semangat keilmuan dan dorongan dari ayahnya, Hasbi kemudian nyantri di berbagai pesantren Aceh dari satu kota ke kota lain selama 8 tahun. Setelah tamat, Hasbi belum puas karena ilmu yang ia dapatkan di dayah hanyalah sekedar sebuah kitab, bahkan terbatas kitab-kitab bermadzab Syafi’I, dengan metode pembelajaran hanya berkutat menyimak penjelasan guru. Menurutnya, metode ini tidaklah mendidik karena secara tidak langsung mengajarkan murid bertalkid dengan selalu menunggu keputusan yang telah dibuat oleh ulama-ulama terdahulu. Sehingga Hasbi lebih memilih belajar secara otodidak.[6]
Keinginannya untuk belajar lebih luas tentang Islam akhirnya terwujud setelah ia bertemu dengan seorang pembaharu Islam yang bernama Syekh Muhammad ibn Salim al-Kalali. [7] Syekh Muhammad mengajarkan Hasbi bahasa Arab dan kitab-kitab yang ditulis oleh pelopor-pelopor pembaharu Islam[8]. Dari sinilah benih-benih pembaharu muncul dalam diri Hasbi. Kemudian pada tahun 1926, atas saran Syekh Muhammad, Hasbi berangkat ke Surabaya dan melanjutkan pendidikannya di Madrasah al-Irsyad, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan oleh Syekh Ahmad Surkati (1874-1943), ulama dari Sudan yang mempunyai pemikiran modern kala itu. Di Madrasah al-Irsyad  Hasbi mengambil pelajaran takhassus (jurusan) dalam bidang pendidikan dan bahasa selama 2 tahun. Al-Irsyad dan Ahmad Surkati inilah yang ikut berperan dalam membentuk pemikirannya yang modern sehingga, setelah kembali ke Aceh. Teungku[9] Hasbi as-Shiddieqy langsung bergabung dalam keanggotaan organisasi Muhammadiyah.[10]
-Karir dan karya-karya
Pada era demokrasi liberal ia terlibat secara aktif mewakili Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dalam perdebatan ideologi di Konstituante. Akan tetapi ia lebih memilih menetap di Yogyakarta dan mengkonsentrasikan diri dalam bidang pendidikan tahun 1951. Pada tahun 1960 ia diangkat menjadi dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta  hingga tahun 1972.[11]
Selain itu, beliau juga memangku jabatan di berbagai Perguruan Tinggi Swasta. Pada tahun 1961 M-1971 M, beliau menjabat sebagai Rektor Universitas al-Irsyad, Surakarta. Dan jabatan yang sama di Universitas Cokroaminoto. Beliau juga mengajar di Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta sejak tahun 1964 M. Pada tahun 1967 M, beliau mengajar sekaligus menjadi Dekan Fakultas Syari’ah Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), Semarang.
Pada tanggal 9 Desember 1975, setelah beberapa hari memasuki karantina haji, dalam rangka menunaikan ibadah haji, beliau meninggal dalam usia 71 tahun[12]. Jasad beliau dimakamkan di pemakaman keluarga IAIN Ciputat Jakarta. Pada upacara pelepasan jenazah almarhum, turut memberi sambutan almarhum Buya Hamka, dan pada saat pemakaman beliau dilepas oleh almarhum Mr. Moh. Rum. Naskah terakhir yang beliau selesaikan adalah Pedoman Haji yang kini telah banyak beredar di masyarakat luas.
Sebagai ulama yang produktif di zamannya, Karya tulisnya mencakup berbagai disiplin ilmu keislaman. Menurut skripsi Kurniasih, buku yang ditulis Hasbi berjumlah 72 judul (142 jilid). Sebagian besar karyanya adalah tentang fiqh (36 judul). Bidang-bidang lainnya adalah hadis(8 judul), tafsir (6 judul), tauhid (ilmu kalam; 5 judul). Sedangkan selebihnya adalah tema-tema yang bersifat umum[13], diantaranya yakni:
                            I.     Bidang Hadis meliputi:
1.      Beberapa Rangkuman Hadis.
2.      Sejarah Pengantar Ilmu Hadis.
3.      Mutiara Hadis berjumlah 5 jilid.
4.      Pokok-pokok Ilmu Dasar Hadis.
5.      Problematika Hadis Sebagai Dasar Pembinaan Hukum.
6.      Koleksi Hadis-hadis Hukum berjumlah 9 jilid.
7.      Rijalul Hadis.
8.      Sejarah Perkembangan Hadis.
9.      Kriteria Antara Sunnah dan Bid’ah
                            II.       Bidang Tafsir Al-Qur’an
1.    Beberapa rangkaian ayat.
2.    Sejarah dan Perkembangan Ilmu Al-Qur’an/Tafsir.
3.    Tafsir Al-Qur’an al-Majid an-Nur.
4.     Tafsir al-Bayan.
5.    Mu’jizat Al-Qur’an.
                      III.          Bidang Fiqh
1.        Sejarah Peradilan Agama.
2.        Tuntunan Qur’an.
3.        Pedoman Sholat.
4.        Hukum-hukum Fiqh Islam
5.        Pedoman Hukum Islam.
6.        Pedoman Zakat.
7.        Al-Ahkam (Pedoman Muslimin).
8.        Pedoman Puasa.
9.        Kuliah Ibadah.
10.    Pengantar Ilmu Fiqh.
11.    Falsafah Hukum Islam.
12.    Pedoman Haji
Atas jasa-jasanya terhadap dunia pendidikan, Muhammad Hasbi as-Shiddieqy mendapatkan beberapa pengahargaan diantaranya :
1)      Anugrah Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam Bandung (UNISBA) pada tahun 1975.
2)      Anugrah Doktor Honoris Causa dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1975.[14]

B.     Pemikiran  Hasbi dalam Bidang Hadis dan Ulum Hadis.
1.      Pemikiran Hasbi Tentang Sunnah dan Hadis
Umat Islam sepakat bahwasanya Sunnah adalah sumber hukum kedua setelah al-Qur’an yang merupakan bentuk perkataan, perbuatan dan ataupun taqrir yang disandarkan kepada Rasulullah Saw baik yang bersifat aqidah, syariat, mu’amalah maupun akhlaq. Para ulama telah memberikan perhatian yang sangat besar terhadap pengkajian, penelitian dan penyeleksian terhadap hadis-hadis Nabi Saw yang bertujuan untuk membedakannya dari perkataan, perbuatan dan taqrir yang disandarkan kepada selain beliau. Kata sunnah berdasarkan definisi leksikalnya adalah thariqah dan sirah yang berarti jalan atau metodologi. Sementara menurut terminologinya, maka akan ditemukan perbedaan defenisi antara Muhadditsin, Ushuliyyin dan Fuqaha. Adapun Sunnah menurut Muhadditsin[15] adalah segala apa yang berasal dari Nabi Saw baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, persetujuan (taqrir), sifat, atau sejarah hidup. Definisi Muhadditsin ini tidak memiliki perbedaan dengan definisi mereka terhadap kata Hadits.
Sunnah menurut Hasbi adalah seperti yang didfinisikan oleh para Ushuliyyin (ulama ushul fiqih), yakni segala yang disandarkan kepada Nabi Saw selain al-Qur’an, baik dari segi perkataan, perbuatan, ataupun taqrir yang dapat dijadikan sebagai dalil atas sebuah hukum syari’at. Sunnah menurut Muhadditsin[16] adalah segala apa yang berasal dari Nabi Saw baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, persetujuan (taqrir), sifat, atau sejarah hidup. Definisi tersebut juga berlaku untuk term Hadits.
Perbedaan definisi antara Ushuliyyin dan Muhadditsin ini disebabkan karena perbedaan metodologis dimana Muhadditsin di dalam penelitiannya memposisikan Rasulullah Saw sebagai Imam tertinggi, pemberi jalan menuju kepada hidayah, pemberi nasehat sebagaimana berita yang disampaikan Allah Swt bahwa Rasulullah Saw merupakan uswah dan qudwah bagi kaum muslimin, sehingga para Muhadditsin mengambil seluruh yang bersumber dari Nabi Saw baik dari masalah sirah (perjalanan hidup), Akhlaq, kecenderungan, berita-berita, perkataan, dan perbuatan beliau saw tanpa melihat apakah yang dinuqil tersebut memiliki kandungan hukum syari’at atau pun tidak. Adapaun Ushuliyyin memposisikan Nabi Saw sebagai Musyarri’ yang menjelaskan kepada manusia tentang pranata sosial, dan sebagai peletak kaidah-kaidah dasar untuk para Mujtahidin setelah beliau, oleh karena itu mereka melihat sunnah hanya sebatas apa yang datang dari Nabi Saw.[17].
Untuk term Hadis, Hasbi secara tegas membedakan antara istilah Sunnah[18] dengan Hadis dimana beliau memandang bahwa hadis adalah segala peristiwa yang disandarkan kepada Nabi Saw, walaupun peristiwa itu terjadi hanya sekali saja disepanjang hayat beliau, adapaun Sunnah adalah perbuatan Nabi Saw yang mutawatir, khususnya dari segi makna, namun jika dari segi penukilan matan/lafalnya tidak mutawatir namun pelaksanaannya mutawatir, maka tetap dinamakan sunnah.[19] Meskipun demikian beliau memandang bahwa kaum muslimin wajib untuk mengamalkan hadis dan sunnah dan menjadikannya pedoman pada setiap zaman dan tempat, sebab tidak dibenarkan sama sekali menyalahi hukum dan perintah Nabi Saw selama hadis tersebut adalah shahih dan tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an.
Menurut Hasbi Sunnah dibagi menjadi 2, yaitu Sunnah fi’liyyah dan Sunnah Takriyyah. Adapun Sunnah fi’liyyah, Hasbi mengutip pendapat Ulama’ ushul terbagi menjadi :[20]
§  Pekerjaan Nabi yang masuk urusan tabi’at, seperti keseharian Nabi, mis makan, minum, tidur, dan lain-lain.
§  Pekerjaan tertentu untuk Nabi, seperti beristri lebih dari empat yang tidak boleh ditiru oleh Umatnya.
§  Pekerjaan Nabi yang digunakan sebagai bayan (penerang)buat umatnya dalam beribadah. Seperti shalat dhuzur empat raka’at.
§  Apabila pekerjaan itu dilakukan atas dasar taat, seperti Nabi mencukur rambut di Hudaibiyyah, maka ada yang mengatakan hukumnya nadb dan Sunnah bagi Umatnya.
§  Pekerjaan Nabi tidak atas dasar ibadah dan bukan perintah Allah, seperti memakai jubah.
Adapaun pekerjaan-pekerjaan yang tidak dijalankan Nabi dan tidak ada halangan  untuk melakukannya (Sunnah Takriyyah), yakni apabila Nabi mengerjakan sesuatu, maka perbuatan itu dihukumi sunnnah. Sebaliknya, Apabila Nabi meninggalkan sesuatu, maka meninggalkan perbuatan itu lah sunnah. seperti Nabi meningglakan adzan pada hari shalat raya, shalat nisfu Sya’ban, membaca al-Qur’an untuk orang yang meningggal maka diperintahkan untuk meniggalkannya. Akan tetapi walaupun Nabi tidak mengerjakannya, tetapi termasuk Maslahah Mursalah (berbeda dengan Bid’ah) seperti kodifikasi al-Qur’an dalam mushaf , shalat tarawih dengan berjama’ah dan lainnya, maka tidak ada masalah bagi kita untuk mengerjakannya.[21] 
Memperhatikan pandangan T.M Hasbi di atas tentang Sunnah dan hadis, maka dapat dikatan bahwa beliau menitik beratkan Sunnah pada wilayah amaliyah Nabi Saw baik yang mutawatir secara lafal, makna, maupun pelaksanaannya. Hal ini sejalan dengan pandangan para Fuqaha’ yang memposisikan Nabi Saw sebagai manusia yang menjalankan hukum Allah Swt. Namun pada wilayah pendefenisian saja T.M Hasbi memilih untuk berada pada sisi Ushuliyyin yaitu melihat sunnah dari segi Madlul al-Hukmy (petunjuk hukum). Namun ketika beliau menjelaskan tentang kata hadis, maka beliau cenderung menggunkan pendefenisian hadis menurut peristilahan para Muhadditsin yang secara lahir sejalan dengan pendefenisian mereka terhadap kata Sunnah.
Analisis ini menunjukkan bahwa T.M Hasbi cenderung menggabungkan seluruh bentuk peristilahan atau defenisi etimologi dari kedua istilah tersebut (Sunnah dan Hadis), yang membedakan diatara keduanya adalah kalimat pengikat dari kedua kata, dimana T.M Hasbi menyebutkan istilah Sunnah Matawatir baik dari lafal, makna maupun pengamalan, dan menyebutkan istilah hadis dengan hadis shahih. Dimana keduanya wajib diamalkan oleh seluruh kaum muslimin kapan pun dan dimana pun mereka berada.
Adapun dalam istilah ulumul hadis atau ushulul hadis T.M Hasbi lebih memilih untuk menggunakan istilah Ilmu Dirayah Hadis dengan alasan bahwa penggunaan istilah Mushthalahul hadis untuk segenap macam Ilmu Dirayah adalah merupakan suatu tajawuz, oleh karena itu beliau menggunakan istilah ilmu dirayah untuk seluruh macam ilmu hadis, dengan mengasusmsikan bahwa Ilmu Dirayah sama dengan Ulumul Hadis atau Ushulul Hadis.
2.      Perbedaan antara Hadis, Sunnah, Khabar, dan Atsar, serta pengertian Hadis Qudsi
Pengertian Hadis menurut Hasbi sebagiamana yang di jelaskan di atas adalah segala peristiwa yang disandarkan kepada Nabi Saw, walaupun peristiwa itu terjadi hanya sekali saja disepanjang hayat beliau. adapaun Sunnah[22] adalah perbuatan Nabi Saw yang mutawatir, khususnya dari segi makna, namun jika dari segi penukilan matan/lafalnya tidak mutawatir namun pelaksanaannya mutawatir, maka tetap dinamakan sunnah.
Ta’rif (pengertian) Khabar[23] : menurut lughat ialah : warta berita yang disamapaikan dari seseorang kepada seseorang. Jama’nya akhbar, muradifnya naba’ yang jama’nya anba’ orang yang banyak khabar dinamai khabir. Menurut istilah sumber ahli hadis adalah : warta baik warta dari Nabi maupun warta dari sahabat, ataupun warta dari tabi’in. Ada juga yang mengatakan bahwa Khabar dipakai buat segala warta yang di terima dari yang selain Nabi mengingat hal inilah orang yang meriwayatkan hadis dinamai Muhadditsun dan orang yang meriwayatkan sejarah dinamai akhbary atau khabary.
Ta’rif Atsar[24] dari segi bahasa adalah bekasan sesuatu atau sisa sesuatu. Berarti nukilan (yang di nukilkan, yaitu sesuatu yang dinukilkan dari Nabi jama’nya atsar dan utsur. Mengingat hal ini, dinamailah ahli hadis dengan atsary. Fuqaha memakai perkataan atsar untuk perkataan-perkataan Ulama’ Salaf, Sahabat, Tabi’in dan lain-lain. Ada yang mengatakan atsar lebih ‘am dari khabar. Atsar diitlaqkan kepada yang datang dari Nabi dan yang selainnya, sedangkan Khabar diitlaqkan kepada yang datang dari Nabi saja.
Ta’rif Hadis Qudsi : ialah perkataan-perkataan yang di sabdakan Nabi saw dengan mengatakan “Allah berfirman......” Nabi menyandarkan perkataan itu kepada Allah, beliau meriwayatkan dari Allah swt.[25]
3.      Ilmu Dirayah Hadis
Ilmu hadis dirayah adalah sekumpulan kaidah dan masalah yang dengan kaidah dan masalah itu dapat diketahui keadaan marwi dan keadaan perawi dari segi dapat tidaknya diterima riwayat tersebut. Penukil hadis dinamakan rawi jama’nya ruwah, hadis yang disandarkan kepada Nabi saw ataupun kepada Sahabat atau orang lain dinamakan marwi. Faedah Ilmu Hadis Dirayah adalah untuk mengetahui mana hadis yang disandarkan kepada Rasul saw yang harus kita terima dan mana yang harus ditolak. Ilmu ini juag aling melengkapi satu sama lainnya, yang mana tiadalah berfaedah Ilmu Hadis Riwayah apabila tidak di sertai dengan Ilmu Hadis Dirayah, karena dengan ilmu yang kedua ini, kita dapat mengetahui mana yang maqbul dan mana yang mardud.[26]
Ilmu hadis Dirayah terhadap matan hadis, sama dengan kedudukan tafsir terhadap al-Qur’an atau kedudukan hukum terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi. Ilmu ini melengkapi Qaidah dan menerangkan keadaan-keadaan perawi dan marwi sebagaimana dia mengandung pengertian pemahaman hadis dan mengungkapkan makna dan hukum dari padanya. Salah satu kepentingan ilmu ini adalah melakukan pengistinbatan hukum.[27] Ilmu ini hanya dimiliki oleh umat Islam, dia benar-benar suatu ilmu bernilai tinggi yang disumbangkan ulama’-ulama’ Islam kepada kebudayaan manusia.
4.      Memahami Hadis Nabi
Menurut Hasbi hadis Shahih adalah dalil nash yang tidak boleh di tinggalkan, akan tetapi dalam pengamalannya harus di perhatikan dengan hati-hati.disamping karena keberagaman kualitas juga karena ada beberapa hadis yang tidak berlaku atau tidak diterima dikarenakan tempat dan waktu dengan mengingat peran Muhammad yang terkadang sebagai Rasul utusan Allah yang harus di taati dan terkadang sebagai manusia biasa yang tidak menjadi syari’at yang tidak harus ditaati.[28] Dengan mencontohkan perilaku-perilaku Nabi yang berposesi sebagai manusia biasa, seperti cara makan, bepakaian, berjalan atau berkendaraan dan sebagainya.
Dengan mengutip pendapat Syah Waliyullah al-Dahlawi beliau menandaskan bahwa dalam memahami hadis Nabi harus memperhatikan fungsi Nabi yaitu : 1) fungsi Nabi sebagai Rasul. Semua ajaran Nabi ada yang berdasarkan wahyu dan dan sebagian berdasarkan ijtihad, namun ijtihad Nabi bisa dijadikan juga harus dipandang sebagai wayhu, karena Allah tidak mungkin membiarkan Rasulnya melakukan ijtihad yang salah. 2) fungsi Nabi bukan sebagai penyampai risalah, diantaranya perbuatan Nabi yang dikerjakan sebagai adat kebiasaan bukan sebagai Ibadah.[29] Dia mengemukakan bahwa dalam memahami hadis Nabi juga harus memperhatikan aspek dhahirnya dan aspek dalalahnya.
Pemikiran Hasbi diatas sangat mungkin dipengaruhi pemikiran al-Qarafi yang dianggap sebagai orang pertama yang memilah-milih ucapan dan sikap Nabi saw dikaitkan dengan posisi beliau.[30] yang terkadang menjadi Rasul, mufti, hakim dan sebagainya dan terkadang juga sebagai pribadi dengan kekhususan dan keistimewaan. Pada masa awal Islam, pemilihan fungsi dan kedudukan Nabi dalam memahami hadis telah ada secara implisit. Sebagai contoh adalah kasus Jabir bin Abdillah yang memohon kepada Nabi agar bersedia berbicara kepada sekian banyak pedagang dengan tujuan untuk membebaskan ayah Jabir dari utang-utangnya. Demikian halnya juga dengan kasus penentuan lokasi markas pasukan perang badar.






[1] Teungku adalah sebutan untuk orang alim (Ulama’) dalam tatanan masyrakat aceh. Pada masa kerajaan aceh, teungku mempunyai fungsi dan pengaruh yang sangat besar. Teungku merupakan orang kedua dalam suatu kolektifitas masyarakat aceh. Lihat : Snouck Hurgronje, Nasehat-Nasehat Snouck Hourgronje, (Jakarta : INIS, 1996), hlm. 147  
[2] Nourouzzaman Shiddiqi, Prof. Dr. T. M. Hasbi ash-Shiddiqy dalam Lima Tokoh Pengembangan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Editor Drs. Moh Damami, M. Ag. Dkk, (Yogyakarta : Pusat Penelitian IAIN Sunan Kalijaga, 1998), hlm. 114
[3] Syaiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insani Madani, 2008), hlm. 202.
[4]Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 10.
[5] Ensiklopedi Hukum Islam, diedit oleh Abdul Aziz Dahlan, dkk, Vol. II : 130, artikel “ Hasbi ash-Shiddieqy”.
[6] Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia…., hlm. 14
[7] syekh muhammad ibn salim al-kalali, seorang pembaharu berkebangsaan arab yang menerbitkan majalah al-imam di singapura pada tahun 1907-1917, kemudian ia bermukim di lhoksumawe aceh sampai akhir hayatnya. lihat… nourouzzaman shiddiqi, fiqh indonesia…., hlm. 246.
[8] Zamahsari Junaidi, T. M. Hasbi ash-Shiddieqy : Mujtahid Muqarin yang Produktif, dalam pesantren. No. 2/Vol II/ 1985, hlm. 63
[9] Di Aceh besar gelar teungku di berikan kepada pemangku jabatan yang berhubungan dengan agama atau berpengetahuan luas atau lebih taat beribadah. Baik teungku maupun teuku merupakan singkatan dari tuanku. Lihat : Dr. Snouck Hurgronje, Aceh, Rakyat, dan Adat Istiadatnya, (Jakarta : INIS, 1996), hlm. 54. 
[10] Zamahsari Junaidi, T. M. Hasbi ash-Shiddieqy : Mujtahid Muqarin yang Produktif, dalam pesantren. No. 2/Vol II/ 1985, hlm. 63.
[11] Nourouzzaman Shiddiqi, fiqh, hlm. 3-16
[12] Syaiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir…, (Yogyakarta: Pustaka Insani Madani, 2008), hlm. 205.

[13] Kurningsih dalam Penafsiran Ayat-ayat Mutasyabihat, Studi Komparatif Antara Hasbi Ash-Shidieqy dan Hamka. Skripsi Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2000, hlm. 19.
[15] T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980) hlm. 25.
[16] T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980) hlm. 25.
[17] Yusuf al Qardawi, Kaifa Nata’amalu al Sunnah al Nabawiyah terj. Muhammad al Baqir (Bandung: Karisma, 1999), hlm. 28.

[18] http://media bilhikmah.multiply.com/journal/item/20. Diakses tanggal 15 November 2009
[19] T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980) hlm. 20-24
[20] T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Kriteria Sunnah dan Bid’ah, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 21-25
[21] T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Kriteria Sunnah dan Bid’ah, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 24
T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Kriteria Sunnah dan Bid’ah, (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), hlm. 24
[22] T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980) hlm. 24-25.
[23] T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980) hlm. 32.
[24] T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980) hlm. 33.
[25] T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980) hlm. 32-40
[26] T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1958) hlm. 23
[27] T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1958) hlm. 24-26
[28] Nourouzzaman Shiddiq, Jeram-Jeram, hlm 226. T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis jilid I (Jakarta : Bulan Bintang, 1958) hlm. 109-150
[29] T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis jilid I I (Jakarta : Bulan Bintang, 1958) hlm. 348-350
[30] M. Quraish Shihab, Hubungan Hadis dan Al-Qur’an (Tinjaun Dari Segi Fungsi dan Makna), dalam Yunahar Ilyas dan M. Mas’udi (ed) . Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis (Yogyakarta : LPPI UMY, 1996) hlm. 58 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar