Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Studi Hadis
Presented by: Khoirun Nisa, THK
UIN SUKA
A.
Biografi
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy
dilahirkan di Lhokseumawe, Aceh Utara, pada tanggal 10 Maret 1904. Ayahnya
bernama Teungku[1] Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husein ibn Muhammad
Su’ud, adalah seorang ulama terkenal di kampungnya dan mempunyai sebuah
pesantren (meunasah). Sedangkan Ibunya bernama Teungku Amrah binti Teungku Chik
Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz, putri seorang Qadhi Kesultanan Aceh ketika itu.[2] Hasbi tumbuh di
tengah-tengah keluarga ulama pejabat,
pendidik dan pejuang. Jika ditelusuri lebih jauh, dalam diri beliau mengalir
campuran darah Aceh dan Arab. Bahkan menurut silsilah, beliau adalah keturunan
ke 37 yang mempunyai ketersambungan dengan Abu Bakar ash-Shiddiq (573-13 H/634 M). Oleh sebab itu, pada nama belakang beliau ditambahlkan
ash-Shiddieqy. [3]
Hasbi menikah di usia 19 tahun
dengan Siti Khadidjah, namun sang istri meninggal ketika melahirkan putri
pertama yang bernama Nur Jauharah yang kemudian menyusul ibunya kembali ke
Rahmatullah. Kemudian Hasbi menikah lagi dengan Tengku Nyak Asiyah binti Tengku
Haji Hanum dan dikarunia 4 anak.[4]
-Perjalanan Akademik
Sejak kecil, Hasbi sangatlah cerdas
dan kritis terhadap sesuatu. Dengan dukungan keluarga yang kental agama, Hasbi
dengan mudah mengukir pendidikan agama pertamanya di dayah (pesantren)
milik ayahnya.[5] Disana ia belajar
al-Qur’an, Qira’at, tajwid, dasar-dasar tafsir dan fiqih yang diajarkan langsung
oleh ayahnya sendiri.
Berbekal
semangat keilmuan dan dorongan dari ayahnya, Hasbi kemudian nyantri di berbagai
pesantren Aceh dari satu kota ke kota lain selama 8 tahun. Setelah tamat, Hasbi
belum puas karena ilmu yang ia dapatkan di dayah hanyalah sekedar sebuah
kitab, bahkan terbatas kitab-kitab bermadzab Syafi’I, dengan metode
pembelajaran hanya berkutat menyimak penjelasan guru. Menurutnya, metode ini
tidaklah mendidik karena secara tidak langsung mengajarkan murid bertalkid
dengan selalu menunggu keputusan yang telah dibuat oleh ulama-ulama terdahulu.
Sehingga Hasbi lebih memilih belajar secara otodidak.[6]
Keinginannya
untuk belajar lebih luas tentang Islam akhirnya terwujud setelah ia bertemu
dengan seorang pembaharu Islam yang bernama Syekh Muhammad ibn Salim al-Kalali.
[7] Syekh
Muhammad mengajarkan Hasbi bahasa Arab dan kitab-kitab yang ditulis oleh
pelopor-pelopor pembaharu Islam[8]. Dari sinilah benih-benih pembaharu muncul dalam diri
Hasbi. Kemudian pada tahun 1926, atas saran Syekh Muhammad, Hasbi berangkat ke
Surabaya dan melanjutkan pendidikannya di Madrasah al-Irsyad, sebuah
organisasi keagamaan yang didirikan oleh Syekh Ahmad Surkati (1874-1943), ulama
dari Sudan yang mempunyai pemikiran modern kala itu. Di Madrasah al-Irsyad
Hasbi mengambil pelajaran takhassus (jurusan) dalam bidang
pendidikan dan bahasa selama 2 tahun. Al-Irsyad dan Ahmad Surkati inilah
yang ikut berperan dalam membentuk pemikirannya yang modern sehingga, setelah
kembali ke Aceh. Teungku[9] Hasbi as-Shiddieqy langsung bergabung dalam
keanggotaan organisasi Muhammadiyah.[10]
-Karir dan karya-karya
Pada era demokrasi
liberal ia terlibat secara aktif mewakili Partai Masyumi (Majelis Syuro
Muslimin Indonesia) dalam perdebatan ideologi di Konstituante. Akan tetapi ia
lebih memilih menetap di Yogyakarta dan mengkonsentrasikan diri dalam bidang
pendidikan tahun 1951. Pada tahun 1960 ia diangkat menjadi dekan Fakultas
Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta hingga tahun 1972.[11]
Selain itu,
beliau juga memangku jabatan di berbagai Perguruan Tinggi Swasta. Pada tahun
1961 M-1971 M, beliau menjabat sebagai Rektor Universitas al-Irsyad, Surakarta.
Dan jabatan yang sama di Universitas Cokroaminoto. Beliau juga mengajar di
Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta sejak tahun 1964 M. Pada tahun
1967 M, beliau mengajar sekaligus menjadi Dekan Fakultas Syari’ah Universitas
Islam Sultan Agung (Unissula), Semarang.
Pada tanggal 9 Desember 1975,
setelah beberapa hari memasuki karantina haji, dalam rangka menunaikan ibadah
haji, beliau meninggal dalam usia 71 tahun[12].
Jasad beliau dimakamkan di pemakaman keluarga IAIN Ciputat Jakarta. Pada
upacara pelepasan jenazah almarhum, turut memberi sambutan almarhum Buya Hamka,
dan pada saat pemakaman beliau dilepas oleh almarhum Mr. Moh. Rum. Naskah
terakhir yang beliau selesaikan adalah Pedoman Haji yang kini telah banyak
beredar di masyarakat luas.
Sebagai
ulama yang produktif di zamannya, Karya tulisnya mencakup berbagai disiplin
ilmu keislaman. Menurut skripsi Kurniasih, buku yang ditulis Hasbi berjumlah 72
judul (142 jilid). Sebagian besar karyanya adalah tentang fiqh (36 judul).
Bidang-bidang lainnya adalah hadis(8 judul), tafsir (6 judul), tauhid (ilmu
kalam; 5 judul). Sedangkan selebihnya adalah tema-tema yang bersifat umum[13], diantaranya yakni:
I. Bidang Hadis
meliputi:
1.
Beberapa Rangkuman Hadis.
2.
Sejarah Pengantar Ilmu Hadis.
3.
Mutiara Hadis berjumlah 5 jilid.
4.
Pokok-pokok Ilmu Dasar Hadis.
5.
Problematika Hadis Sebagai Dasar Pembinaan Hukum.
6.
Koleksi Hadis-hadis Hukum berjumlah 9 jilid.
7.
Rijalul Hadis.
8.
Sejarah Perkembangan Hadis.
9.
Kriteria Antara Sunnah dan Bid’ah
II.
Bidang Tafsir Al-Qur’an
1.
Beberapa rangkaian ayat.
2.
Sejarah dan Perkembangan Ilmu Al-Qur’an/Tafsir.
3.
Tafsir Al-Qur’an al-Majid an-Nur.
4.
Tafsir al-Bayan.
5.
Mu’jizat Al-Qur’an.
III.
Bidang Fiqh
1.
Sejarah Peradilan Agama.
2.
Tuntunan Qur’an.
3.
Pedoman Sholat.
4.
Hukum-hukum Fiqh Islam
5.
Pedoman Hukum Islam.
6.
Pedoman Zakat.
7.
Al-Ahkam (Pedoman Muslimin).
8.
Pedoman Puasa.
9.
Kuliah Ibadah.
10.
Pengantar Ilmu Fiqh.
11.
Falsafah Hukum Islam.
12.
Pedoman
Haji
Atas jasa-jasanya terhadap dunia
pendidikan, Muhammad Hasbi as-Shiddieqy mendapatkan beberapa pengahargaan diantaranya :
1) Anugrah Doktor Honoris Causa dari
Universitas Islam Bandung (UNISBA) pada tahun 1975.
2) Anugrah Doktor Honoris Causa dari
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1975.[14]
B.
Pemikiran Hasbi dalam Bidang Hadis dan Ulum Hadis.
1.
Pemikiran Hasbi Tentang Sunnah dan Hadis
Umat Islam sepakat bahwasanya
Sunnah adalah sumber hukum kedua setelah al-Qur’an yang merupakan bentuk
perkataan, perbuatan dan ataupun taqrir yang disandarkan kepada Rasulullah Saw
baik yang bersifat aqidah, syariat, mu’amalah maupun akhlaq. Para ulama telah
memberikan perhatian yang sangat besar terhadap pengkajian, penelitian dan
penyeleksian terhadap hadis-hadis Nabi Saw yang bertujuan untuk membedakannya
dari perkataan, perbuatan dan taqrir yang disandarkan kepada selain beliau.
Kata sunnah berdasarkan definisi leksikalnya adalah thariqah dan sirah yang
berarti jalan atau metodologi. Sementara menurut terminologinya, maka akan
ditemukan perbedaan defenisi antara Muhadditsin,
Ushuliyyin dan Fuqaha. Adapun Sunnah menurut Muhadditsin[15]
adalah segala apa yang berasal dari Nabi Saw baik dalam bentuk perkataan,
perbuatan, persetujuan (taqrir),
sifat, atau sejarah hidup. Definisi Muhadditsin
ini tidak memiliki perbedaan dengan definisi mereka terhadap kata Hadits.
Sunnah menurut Hasbi adalah seperti
yang didfinisikan oleh para Ushuliyyin
(ulama ushul fiqih), yakni segala yang disandarkan kepada Nabi Saw selain
al-Qur’an, baik dari segi perkataan, perbuatan, ataupun taqrir yang dapat
dijadikan sebagai dalil atas sebuah hukum syari’at. Sunnah menurut Muhadditsin[16]
adalah segala apa yang berasal dari Nabi Saw baik dalam bentuk perkataan,
perbuatan, persetujuan (taqrir),
sifat, atau sejarah hidup. Definisi tersebut juga berlaku untuk term Hadits.
Perbedaan definisi antara Ushuliyyin
dan Muhadditsin ini disebabkan karena
perbedaan metodologis dimana Muhadditsin
di dalam penelitiannya memposisikan Rasulullah Saw sebagai Imam tertinggi,
pemberi jalan menuju kepada hidayah, pemberi nasehat sebagaimana berita yang
disampaikan Allah Swt bahwa Rasulullah Saw merupakan uswah dan qudwah
bagi kaum muslimin, sehingga para Muhadditsin
mengambil seluruh yang bersumber dari Nabi Saw baik dari masalah sirah
(perjalanan hidup), Akhlaq, kecenderungan, berita-berita, perkataan, dan
perbuatan beliau saw tanpa melihat apakah yang dinuqil tersebut memiliki
kandungan hukum syari’at atau pun tidak. Adapaun Ushuliyyin memposisikan Nabi Saw sebagai Musyarri’ yang menjelaskan kepada manusia tentang pranata sosial,
dan sebagai peletak kaidah-kaidah dasar untuk para Mujtahidin setelah beliau, oleh karena itu mereka melihat sunnah
hanya sebatas apa yang datang dari Nabi Saw.[17].
Untuk term Hadis, Hasbi secara
tegas membedakan antara istilah Sunnah[18]
dengan Hadis dimana beliau memandang bahwa hadis adalah segala peristiwa yang
disandarkan kepada Nabi Saw, walaupun peristiwa itu terjadi hanya sekali saja
disepanjang hayat beliau, adapaun Sunnah adalah perbuatan Nabi Saw yang
mutawatir, khususnya dari segi makna, namun jika dari segi penukilan
matan/lafalnya tidak mutawatir namun pelaksanaannya mutawatir, maka tetap
dinamakan sunnah.[19]
Meskipun demikian beliau memandang bahwa kaum muslimin wajib untuk mengamalkan
hadis dan sunnah dan menjadikannya pedoman pada setiap zaman dan tempat, sebab
tidak dibenarkan sama sekali menyalahi hukum dan perintah Nabi Saw selama hadis
tersebut adalah shahih dan tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an.
Menurut Hasbi Sunnah dibagi menjadi
2, yaitu Sunnah fi’liyyah dan Sunnah Takriyyah. Adapun Sunnah fi’liyyah, Hasbi
mengutip pendapat Ulama’ ushul terbagi menjadi :[20]
§ Pekerjaan Nabi yang masuk urusan tabi’at,
seperti keseharian Nabi, mis makan, minum, tidur, dan lain-lain.
§ Pekerjaan tertentu untuk Nabi, seperti
beristri lebih dari empat yang tidak boleh ditiru oleh Umatnya.
§ Pekerjaan Nabi yang digunakan sebagai bayan (penerang)buat umatnya dalam
beribadah. Seperti shalat dhuzur empat raka’at.
§ Apabila pekerjaan itu dilakukan atas
dasar taat, seperti Nabi mencukur rambut di Hudaibiyyah,
maka ada yang mengatakan hukumnya nadb
dan Sunnah bagi Umatnya.
§ Pekerjaan Nabi tidak atas dasar ibadah
dan bukan perintah Allah, seperti memakai jubah.
Adapaun pekerjaan-pekerjaan yang
tidak dijalankan Nabi dan tidak ada halangan
untuk melakukannya (Sunnah
Takriyyah), yakni apabila Nabi mengerjakan sesuatu, maka perbuatan itu
dihukumi sunnnah. Sebaliknya, Apabila Nabi meninggalkan sesuatu, maka
meninggalkan perbuatan itu lah sunnah. seperti Nabi meningglakan adzan pada hari shalat raya, shalat
nisfu Sya’ban, membaca al-Qur’an untuk orang yang meningggal maka diperintahkan
untuk meniggalkannya. Akan tetapi walaupun Nabi tidak mengerjakannya, tetapi
termasuk Maslahah Mursalah (berbeda
dengan Bid’ah) seperti kodifikasi al-Qur’an dalam mushaf , shalat tarawih dengan berjama’ah dan lainnya, maka tidak
ada masalah bagi kita untuk mengerjakannya.[21]
Memperhatikan pandangan T.M Hasbi
di atas tentang Sunnah dan hadis, maka dapat dikatan bahwa beliau menitik
beratkan Sunnah pada wilayah amaliyah
Nabi Saw baik yang mutawatir secara lafal, makna, maupun pelaksanaannya. Hal
ini sejalan dengan pandangan para Fuqaha’ yang memposisikan Nabi Saw sebagai
manusia yang menjalankan hukum Allah Swt. Namun pada wilayah pendefenisian saja
T.M Hasbi memilih untuk berada pada sisi Ushuliyyin
yaitu melihat sunnah dari segi Madlul
al-Hukmy (petunjuk hukum). Namun ketika beliau menjelaskan tentang kata
hadis, maka beliau cenderung menggunkan pendefenisian hadis menurut
peristilahan para Muhadditsin yang
secara lahir sejalan dengan pendefenisian mereka terhadap kata Sunnah.
Analisis ini menunjukkan bahwa T.M
Hasbi cenderung menggabungkan seluruh bentuk peristilahan atau defenisi
etimologi dari kedua istilah tersebut (Sunnah dan Hadis), yang membedakan
diatara keduanya adalah kalimat pengikat dari kedua kata, dimana T.M Hasbi
menyebutkan istilah Sunnah Matawatir baik dari lafal, makna maupun pengamalan,
dan menyebutkan istilah hadis dengan hadis shahih. Dimana keduanya wajib
diamalkan oleh seluruh kaum muslimin kapan pun dan dimana pun mereka berada.
Adapun dalam istilah ulumul hadis
atau ushulul hadis T.M Hasbi lebih memilih untuk menggunakan istilah Ilmu Dirayah Hadis dengan alasan bahwa
penggunaan istilah Mushthalahul hadis
untuk segenap macam Ilmu Dirayah
adalah merupakan suatu tajawuz, oleh karena itu beliau menggunakan istilah ilmu
dirayah untuk seluruh macam ilmu hadis, dengan mengasusmsikan bahwa Ilmu Dirayah sama dengan Ulumul Hadis atau Ushulul Hadis.
2.
Perbedaan antara Hadis, Sunnah, Khabar, dan Atsar,
serta pengertian Hadis Qudsi
Pengertian Hadis menurut Hasbi
sebagiamana yang di jelaskan di atas adalah segala peristiwa yang disandarkan
kepada Nabi Saw, walaupun peristiwa itu terjadi hanya sekali saja disepanjang
hayat beliau. adapaun Sunnah[22]
adalah perbuatan Nabi Saw yang mutawatir, khususnya dari segi makna, namun jika
dari segi penukilan matan/lafalnya tidak mutawatir namun pelaksanaannya
mutawatir, maka tetap dinamakan sunnah.
Ta’rif (pengertian) Khabar[23] : menurut
lughat ialah : warta berita yang disamapaikan dari seseorang kepada seseorang.
Jama’nya akhbar, muradifnya naba’ yang jama’nya anba’ orang yang banyak khabar dinamai khabir. Menurut istilah sumber ahli hadis adalah : warta baik warta
dari Nabi maupun warta dari sahabat, ataupun warta dari tabi’in. Ada juga yang
mengatakan bahwa Khabar dipakai buat segala warta yang di terima dari yang
selain Nabi mengingat hal inilah orang yang meriwayatkan hadis dinamai Muhadditsun dan orang yang meriwayatkan
sejarah dinamai akhbary atau khabary.
Ta’rif Atsar[24] dari
segi bahasa adalah bekasan sesuatu atau sisa sesuatu. Berarti nukilan (yang di
nukilkan, yaitu sesuatu yang dinukilkan dari Nabi jama’nya atsar dan utsur.
Mengingat hal ini, dinamailah ahli hadis dengan atsary. Fuqaha memakai perkataan atsar untuk perkataan-perkataan Ulama’ Salaf, Sahabat, Tabi’in dan
lain-lain. Ada yang mengatakan atsar lebih
‘am dari khabar. Atsar diitlaqkan
kepada yang datang dari Nabi dan yang selainnya, sedangkan Khabar diitlaqkan kepada yang datang dari Nabi saja.
Ta’rif Hadis Qudsi : ialah perkataan-perkataan yang di sabdakan Nabi saw
dengan mengatakan “Allah berfirman......” Nabi menyandarkan perkataan itu
kepada Allah, beliau meriwayatkan dari Allah swt.[25]
3.
Ilmu Dirayah Hadis
Ilmu hadis dirayah adalah
sekumpulan kaidah dan masalah yang dengan kaidah dan masalah itu dapat
diketahui keadaan marwi dan keadaan perawi dari segi dapat tidaknya diterima
riwayat tersebut. Penukil hadis dinamakan rawi jama’nya ruwah, hadis yang disandarkan kepada Nabi saw ataupun kepada Sahabat
atau orang lain dinamakan marwi.
Faedah Ilmu Hadis Dirayah adalah
untuk mengetahui mana hadis yang disandarkan kepada Rasul saw yang harus kita
terima dan mana yang harus ditolak. Ilmu ini juag aling melengkapi satu sama
lainnya, yang mana tiadalah berfaedah Ilmu
Hadis Riwayah apabila tidak di sertai dengan Ilmu Hadis Dirayah, karena dengan ilmu yang kedua ini, kita dapat
mengetahui mana yang maqbul dan mana yang mardud.[26]
Ilmu
hadis Dirayah terhadap matan hadis, sama dengan
kedudukan tafsir terhadap al-Qur’an atau kedudukan hukum terhadap
peristiwa-peristiwa yang terjadi. Ilmu ini melengkapi Qaidah dan menerangkan
keadaan-keadaan perawi dan marwi sebagaimana dia mengandung pengertian
pemahaman hadis dan mengungkapkan makna dan hukum dari padanya. Salah satu
kepentingan ilmu ini adalah melakukan pengistinbatan hukum.[27]
Ilmu ini hanya dimiliki oleh umat Islam, dia benar-benar suatu ilmu bernilai
tinggi yang disumbangkan ulama’-ulama’ Islam kepada kebudayaan manusia.
4.
Memahami Hadis Nabi
Menurut Hasbi hadis Shahih adalah
dalil nash yang tidak boleh di
tinggalkan, akan tetapi dalam pengamalannya harus di perhatikan dengan
hati-hati.disamping karena keberagaman kualitas juga karena ada beberapa hadis
yang tidak berlaku atau tidak diterima dikarenakan tempat dan waktu dengan
mengingat peran Muhammad yang terkadang sebagai Rasul utusan Allah yang harus
di taati dan terkadang sebagai manusia biasa yang tidak menjadi syari’at yang
tidak harus ditaati.[28]
Dengan mencontohkan perilaku-perilaku Nabi yang berposesi sebagai manusia
biasa, seperti cara makan, bepakaian, berjalan atau berkendaraan dan
sebagainya.
Dengan mengutip pendapat Syah
Waliyullah al-Dahlawi beliau menandaskan bahwa dalam memahami hadis Nabi harus
memperhatikan fungsi Nabi yaitu : 1) fungsi Nabi sebagai Rasul. Semua ajaran
Nabi ada yang berdasarkan wahyu dan dan sebagian berdasarkan ijtihad, namun
ijtihad Nabi bisa dijadikan juga harus dipandang sebagai wayhu, karena Allah
tidak mungkin membiarkan Rasulnya melakukan ijtihad yang salah. 2) fungsi Nabi
bukan sebagai penyampai risalah, diantaranya perbuatan Nabi yang dikerjakan
sebagai adat kebiasaan bukan sebagai Ibadah.[29]
Dia mengemukakan bahwa dalam memahami hadis Nabi juga harus memperhatikan aspek
dhahirnya dan aspek dalalahnya.
Pemikiran Hasbi diatas sangat
mungkin dipengaruhi pemikiran al-Qarafi yang dianggap sebagai orang pertama
yang memilah-milih ucapan dan sikap Nabi saw dikaitkan dengan posisi beliau.[30]
yang terkadang menjadi Rasul, mufti, hakim dan sebagainya dan terkadang juga
sebagai pribadi dengan kekhususan dan keistimewaan. Pada masa awal Islam,
pemilihan fungsi dan kedudukan Nabi dalam memahami hadis telah ada secara
implisit. Sebagai contoh adalah kasus Jabir bin Abdillah yang memohon kepada
Nabi agar bersedia berbicara kepada sekian banyak pedagang dengan tujuan untuk
membebaskan ayah Jabir dari utang-utangnya. Demikian halnya juga dengan kasus
penentuan lokasi markas pasukan perang badar.
[1] Teungku adalah sebutan untuk
orang alim (Ulama’) dalam tatanan masyrakat aceh. Pada masa kerajaan aceh,
teungku mempunyai fungsi dan pengaruh yang sangat besar. Teungku merupakan
orang kedua dalam suatu kolektifitas masyarakat aceh. Lihat : Snouck Hurgronje,
Nasehat-Nasehat Snouck Hourgronje, (Jakarta
: INIS, 1996), hlm. 147
[2] Nourouzzaman Shiddiqi, Prof. Dr.
T. M. Hasbi ash-Shiddiqy dalam Lima Tokoh
Pengembangan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Editor Drs. Moh Damami, M. Ag.
Dkk, (Yogyakarta : Pusat Penelitian IAIN Sunan Kalijaga, 1998), hlm. 114
[3] Syaiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an,
(Yogyakarta: Pustaka Insani Madani, 2008), hlm. 202.
[4]Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 10.
[5] Ensiklopedi Hukum Islam, diedit oleh Abdul Aziz
Dahlan, dkk, Vol. II : 130, artikel “ Hasbi ash-Shiddieqy”.
[6] Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia…., hlm. 14
[7] syekh muhammad ibn salim al-kalali, seorang pembaharu
berkebangsaan arab yang menerbitkan majalah al-imam di singapura pada tahun
1907-1917, kemudian ia bermukim di lhoksumawe aceh sampai akhir hayatnya.
lihat… nourouzzaman shiddiqi, fiqh indonesia….,
hlm. 246.
[8] Zamahsari Junaidi, T. M. Hasbi ash-Shiddieqy : Mujtahid Muqarin
yang Produktif, dalam pesantren. No. 2/Vol II/ 1985, hlm. 63
[9] Di
Aceh besar gelar teungku di berikan
kepada pemangku jabatan yang berhubungan dengan agama atau berpengetahuan luas
atau lebih taat beribadah. Baik teungku
maupun teuku merupakan singkatan dari
tuanku. Lihat : Dr. Snouck Hurgronje,
Aceh, Rakyat, dan Adat Istiadatnya, (Jakarta
: INIS, 1996), hlm. 54.
[10] Zamahsari
Junaidi, T. M. Hasbi ash-Shiddieqy :
Mujtahid Muqarin yang Produktif, dalam pesantren. No. 2/Vol II/ 1985, hlm.
63.
[12] Syaiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir…, (Yogyakarta:
Pustaka Insani Madani, 2008), hlm. 205.
[13] Kurningsih dalam Penafsiran Ayat-ayat Mutasyabihat, Studi
Komparatif Antara Hasbi Ash-Shidieqy dan Hamka. Skripsi Fakultas
Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2000, hlm. 19.
[14]http://darul-ulum.blogspot.com/2007/11/fiqh-indonesia-tema-pemikiran-hukum.html, diakses tanggal 22
Oktober 2009.
[15] T.
M. Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980) hlm. 25.
[16] T.
M. Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980) hlm. 25.
[17] Yusuf al Qardawi, Kaifa Nata’amalu
al Sunnah al Nabawiyah terj. Muhammad al Baqir (Bandung: Karisma, 1999),
hlm. 28.
[18] http://media
bilhikmah.multiply.com/journal/item/20. Diakses tanggal 15 November 2009
[19] T.
M. Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980) hlm. 20-24
[20] T.
M. Hasbi Ash-Siddieqy, Kriteria Sunnah
dan Bid’ah, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 21-25
[21] T.
M. Hasbi Ash-Siddieqy, Kriteria Sunnah
dan Bid’ah, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1999), hlm. 24
T.
M. Hasbi Ash-Siddieqy, Kriteria Sunnah
dan Bid’ah, (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), hlm. 24
[22] T.
M. Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980) hlm. 24-25.
[23] T.
M. Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980) hlm. 32.
[24] T.
M. Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980) hlm. 33.
[25] T.
M. Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980) hlm. 32-40
[26] T.
M. Hasbi Ash-Siddieqy, Pokok-pokok Ilmu
Dirayah Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1958) hlm. 23
[27] T.
M. Hasbi Ash-Siddieqy, Pokok-pokok Ilmu
Dirayah Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1958) hlm. 24-26
[28] Nourouzzaman
Shiddiq, Jeram-Jeram, hlm 226. T. M.
Hasbi Ash-Siddieqy, Pokok-pokok Ilmu
Dirayah Hadis jilid I (Jakarta : Bulan Bintang, 1958) hlm. 109-150
[29] T. M. Hasbi
Ash-Siddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah
Hadis jilid I I (Jakarta : Bulan Bintang, 1958) hlm. 348-350
[30] M. Quraish Shihab, Hubungan Hadis dan Al-Qur’an (Tinjaun Dari
Segi Fungsi dan Makna), dalam Yunahar Ilyas dan M. Mas’udi (ed) . Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis (Yogyakarta
: LPPI UMY, 1996) hlm. 58
Tidak ada komentar:
Posting Komentar