Laporan Penelitian
Dalam Kompetisi Mahasiswa
yang
diselenggarakan oleh BEM-J TH
Oleh :Kholila Mukaromah (09532019) KhoirunNisa’(09532050) Munirah (09532034)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Diskriminasi terhadap kaum difabel
menjadi salah satu isu penting yang harus diangkat, terkait dengan adanya “pembatasan” terhadap gerak mereka untuk berpartisipasi
dalam berbagai dimensi kehidupan, baik
aspek ekonomi, pendidikan, keagamaan, akses publik, akses pekerjaan,
akses politik, dan lainnya.[1]
Diskriminasi tersebut terjadi karena perbedaan fisik difabel yang dianggap
berbeda dengan manusia pada umumnya. Perbedaan fisik tersebut seharusnya
tidaklah menjadi alasan untuk membedakan mereka dari segi kemampuan, karena
yang berbeda hanyalah mode of production (cara-cara berproduksi)[2].
Cara pandang masyarakat yang cenderung mendiskriminasikan difabel ini berimplikasi
besar terhadap kesulitan mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak demi
keberlangsungan hidup mereka. Hal ini juga diperparah dengan respon pemerintah
yang dianggap kurang memperhatikan eksistensi difabel, terbukti dengan minimnya
peraturan yang dibuat terkait difabel.[3] Seharusnya, difabel diperlakukan sama
seperti manusia biasa, mereka mempunyai hak-hak selayaknya manusia yang harus
dipenuhi dan tidak dipersulit.
Sebenarnya
berbagai upaya sudah banyak dilakukan demi kesejahteraan para difabel, baik
yang dilakukan oleh pemerintah[4],
institusi, LSM, bahkan organisasi dunia seperti KTT juga ikut andil dalam memberikan persamaan
hak difabel, seperti yang tersirat dalam jargon "Persamaan kesempatan dan
partisipasi penuh difabel dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan".
Akan tetapi,
sasaran yang ingin dicapai sejak lebih dari dua dasawarsa hingga kini belum
banyak mencapai kemajuan.[5]
Begitu juga dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mencetuskan Program
Aksi Dunia mengenai Para Difabel sebagaimana yang ditetapkan oleh Sidang Umum
PBB dalam resolusinya No.37/52. Pertemuan itu merekomendasikan agar Sidang Umum
menyelenggarakan suatu konferensi khusus untuk merancang konvensi Internasional
tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap para difabel, yang
harus diratifikasi oleh negara-negara ( Resolusi PBB No. 48/96 Tahun 1993). Tetapi
dalam realitasnya, usaha tersebut belum mencapai hasil yang sempurna mengingat
berbagai hambatan, termasuk
keidakserampakkan negara-negara
dunia dalam mengaplikasikan peraturan tersebut di negara masing-masing[6].
Dalam
aspek keagamaan menurut Eva Kasim, pemahaman ajaran agama dan nilai-nilai
kepercayaan di kalangan masyarakat juga memegang peranan penting dalam
perbaikan kualitas hidup difabel. Hal ini mengingat bahwa perilaku masyarakat (mode
of conduct) tidak bisa dipisahkan dengan pola pikir (mode of thought).
Sementara pola pikir juga dipengaruhi oleh teks-teks keagamaan[7].
Sehingga agama sebenarnya juga menjadi titik tolak penting dalam menciptakan
persamaan perlakuan atau meminimalisir adanya diskriminasi dalam masyarakat.
Sebagaimana uraian di atas, bahwa sebenarnya sudah ada usaha konkrit untuk
mengatasi diskriminasi ini, meskipun belum terlihat maksimal. Maka, sudah
seharusnya-lah agama juga turut andil dalam memperjuangkan egalitarianism
terhadap kaum difabel,
Al-Qur’an
sebagi teks agama yang dijadikan pedoman utama dalam Islam sebenarnya sangat
mengapresiasi adanya egalitarianism (persamaan atau musa>wah) terhadap difabel, sebagaimana yang tersirat
dalam Q.S‘Abasa [80]: 1-2), yang menceritakan sebuah teguran Alla>h swt terhadap
Nabi Muhammmad saw, dimana pada saat itu Rasulullah saw kurang responsif dan
santun ketika dimintai sebuah petunjuk oleh sahabat Ibnu Ummi Makt>um yang
mengalami kebutaan (tunanetra). Ayat
diatas dengan jelas menegaskan bahwa Islam sebagai agama sangat peduli terhadap
kaum difabel. Bahkan jika kita menengok sejarah kenabian banyak para
Nabi/utusan Alla>h yang berstatus difabel seperti Nabi Ya’qub as yang pernah
mengalami kebutaan ketika putranya (Yu>suf as) dikabarkan meninggal; Nabi Mu>sa
as yang kesulitan dalam berbicara dikarenakan lidah beliau terbakar oleh bara
api ketika masih kecil. Tetapi walaupun demikian, kedua nabi tersebut masih
bisa melaksanakan risalah Alla>h dengan baik.
Dengan
demikian, al-Qur’an sebagai sumber moral umat Islam tidak pernah melegalkan
adanya pendiskriminasian terhadap setiap manusia. Melainkan mempunyai tujuan
dasar , yaitu mengusung persaudaraan yang universal (universal brotherhood),
kesetaraan (equality atau egalitarianism), dan keadilan social (social
justice).[8]
Hal ini salah satunya terlihat dari beberapa ayat dan kisah, sebagaiman yang
telah dipaparkan sebelumnya. Namun realitas dan teks ternyata belum sepenuhnya
bisa berdialektika. Adanya diskriminasi, yang berusaha diselesaikan dengan
berbagai upaya memperjuangkan egalitarianism terhadap difabel, sungguh sangat
baik. Namun, sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwa upaya tersebut belum
sepenuhnya berhasil, mengingat pola pikir masyarakat yang susah untuk berubah.
Agama yang mengusung konsep egalitarianism-pun belum sepenuhnya optimal dalam
mengatasi diskriminasi terhadap difabel pada tataran praksisnya,
Oleh
karena itu, sekiranya penting sekali upaya peruMu>sa asn tafsir berbasis
difabel, yang tidak hanya memperjuangkan dalam tataran teori (kognitif), tetapi
juga berlanjut pada tataran praksis. Sebagaimana Farid Esack yang mengusung hermeneutika
praksis liberatif-humanistik dalam memperjuangkan adanya persamaan hak
masyarakat Afrika Selatan dari penindasan kekuasaan Aphartheid. Bahwa
penafsiran berawal dari realita (konteks) , lalu barulah merujuk pada teks
untuk mencari legitimasinya. Usaha penafsiran selanjutnya tidak hanya berusaha
memperoleh pesan moral atau relevansi ayat saja, melainkan juga mengupayakan
bagaimana makna baru tersebut bisa merubah ketimpangan yang ada dalam realitas
tersebut.
Meskipun,
realitas diskriminasi terhadap difabel di Indonesia sendiri tidak seburuk seperti
apa yang terjadi di Afrika Selatan. Namun, yang perlu ditekankan disini adalah
bagaimana membuat pondasi yang kuat untuk membebaskan kaum difabel dari segala
pendiskriminasian oleh berbagai pihak.
Usaha yang dilakukan bisa menjadi upaya praksis, yang harus terus digalakkan
pelaksanaannya, sehingga peraturan per-undang-undangan tidak hanya menjadi
peratuturan tertulis, tetapi terealisasi dengan bantuan berbagai pihak.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian
di atas, muncullah beberapa pertanyaan fundamental yang membutuhkan penelitian
mendalam untuk menemukan jawabannya, yaitu:
1.
Bagaimana konsep mengenai difabel, egalitarianism,
serta hermenenutika praksis liberatif-humanistik dalam penelitian ini?
2.
Bagaimana penafsiran ayat-ayat yang
terkait dengan difabel , serta relevansi makna dan pesan moralnya, yang mengantarkan pada konsep egalitarianism
dalam mamandang difabel ?
3.
Apa saja usaha yang harus
dioptimalisasikan untuk mengentaskan para difabel dari diskriminasi, sebagai
bentuk praksis dari hasil penafsiran?
C. Tujuan
dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini
bertujuan untuk:
1.
Mengetahui dan memahami konsep mengenai
difabel, egalitarianism, serta hermenenutika praksis liberatif-humanistis dalam usaha membebaskan kaum difabel dari
berbagai bentuk diskriminasi.
2.
Mengetahui penafsiran ayat-ayat yang
terkait dengan difabel , serta relevansi makna dan pesan moralnya, yang mengantarkan pada konsep egalitarianism
dalam mamandang difabel.
3.
Merumuskan berbagai usaha yang harus
dioptimalisasikan untuk mengentaskan para difabel dari diskriminasi, sebagai
bentuk praksis dari hasil penafsiran.
Adapun
kegunaan penelitian ini adalah untuk meminialisir adanya diskriminasi terhadap
para difabel. karena pemahaman yang dihasilkan dari penafsiran ini diharapkan
bisa mengubah cara pandang masyarakat dalam memperlakukan difabel, khususnya
bagi semua civitas akademika di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
D. Tinjauan
Pustaka
Selama ini
kami belum menemukan literatur khusus yang membahas tafsir al-Qur’an secara
khusus mengenai difabel. Sedangkan penafsiran yang dipaparkan oleh para
mufassir baik klasik maupun kontemporer hanya menjelaskannya secara umum, dan
belum sampai pada penjelasan khusus mengenai persamaan pandangan al-Qur’an
terhadap difabel. Penelitian terhadap difabel sendiri sebenarnya telah banyak
dilakukan oleh para akademisi, melalui penelitian langsung terhadap fenomena
maupun persoalan yang terjadi saat ini (penelitian lapangan). Atau penjelasan
secara literer yang mengulas mengenai persoalan ini dalam bentuk artikel.
Beberapa
penelitian tersebut seperti skiripsi yang berjudul Problematika Pembelajaran
dan Upaya Pemberian Layanan Mahasiswa Difabel di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta oleh
Yuni Setyawati. Di dalam penelitian ini dia ingin mengungkap problematika yang dihadapi
oleh mahasiswa difabel di UIN Sunan Kalijaga dalam menjalankan aktifitas
pembelajaran di kampus, baik yang berkaitan dengan dirinya sendiri, dosen, dan
fasilitas yang ada[9].
Adapun Marfu’ah Nahawi dalam
skripsinya Pendidikan Difabel Di Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI)
Kota Yogyakarta mengungkap implementasi “tugas-tugas kekhalifahan” dalam
Surat Al-Baqarah[2]: 30 mengupayakan pengembangan potensi khalifah pelajar
difabel di Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) Kota Yogyakarta,
beserta faktor pendukung dan penghambatnya[10].
Sementara
Sumaryanto dalam skripsinya Upaya Pusat Studi Layanan Difabel dalam Membantu
Keberhasilan Belajar Mahasiswa Tunanetra di UIN Sunan Kalijaga mencermati
apa saja yang telah dilakukan UIN Sunan Kalijaga dalam proses pengajaran
terhadap difabel[11].
Adapun Rohidin, SH., M.Hum. dalam jurnalnya Peran Ulama dalam Sosialisasi Kebijakan
Integrasi Sosial Kaum Difabel ke dalam Mainstream Masyarakat menulis
tentang pengaruh ulama dalam mensosialisasikan kebijakan integrasi social
terkait kaum difabel dalam mainstream masyarakat[12].
Poin penting dari penelitian ini adalah bahwa
konsep egalitarianism (Musa>wah) yang diajarkan al-Qur’an
sangat berperan penting dalam menciptakan kedamaian kesejahteraan hidup sesama
manusia. Berdasarkan studi pustaka di
atas, belum ada yang membahas penelitian ini secara sistematis dan komprehensif
dengan metode hermeneutik praksis liberatif, sehingga penelitian ini layak
dilakukan.
E. Metode
Penelitian
Jenis
penelitian ini adalah kualitatif, karena data-data yang dikumpulkan berdasar
pada telaah kepustakaan (library research). Data-data yang akan
digunakan dalam penelitian ini terbagi kepada data primer dan data sekunder.
Untuk data primernya adalah al-Qur’an, lebih khususnya ayat-ayat yang
berhubungan dengan difabel. Sedangkan data sekundernya berupa penafsiran dan
penjelasan dari kitab-kitab tafsir dan hadis, buku, serta artikel yang berhubungan dengan tema
tersebut.
Untuk mengumpulan data-data tersebut,
kami akan menggunakan metode hermeneutik praksis liberatif . Secara rinci
metode yang digunakan meliputi : pertama, melihat realita yang
mengandung persoalan, dalam hal ini realita yang menjadi titik tolak penelitian
ini adalah realita diskriminasi terhadap difabel di Indonesia. Kedua, mencari
legitimasi ayat-ayat yang berhubungan dengan difabel dan mengumpulkannya. Ketiga,
menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan pendekatan linguistik, historis, dan hermeneutik.
Hasil penafsiran diharapkan juga memperhatikan aspek humanitas, karena
penafsiran ini sebenarnya bertujuan untuk menciptakan keadilan dan persamaan
bagi sesama manusia. Keempat, mencermati kembali penafsiran ayat-ayat
difabel tersebut secara komprehensif untuk mencari relevansi makna dan juga
pesan moral dari kandungan ayat tersebut yang terkait dengan konsep
egalitarianism al-Qur’an terhadap difabel. Kelima, merumuskan
usaha-usaha yang telah dilakukan ataupun belum terealisasi agar bisa
dioptimalisasikan oleh berbagai pihak.
F.
Sistematika Pembahasan
Agar dapat
dipahami secara mudah dan tersistematisasi, maka bahasan-bahasan dalam
penelitian ini akan dibagi menjadi satu bab pendahulun, dua bab pembahasan, dan
satu bab penutup. Adapun gambaran dari masing-masing bab dan bahasan tersebut
adalah sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan, memberikan gambaran umum mengenai persoalan yang akan diteliti.
Gambaran umum ini meliputi latar belakang masalah, ruMu>sa asn masalah yang
akan diteliti, tujuan dan manfaat penelitian, telaah kepustakaan yang sudah
ada, metode dan pendekatan yang akan dipakai, serta sistematika pembahasan
dalam penelitian.
Kemudian
pada bab kedua akan menjelaskan pengertian tentang difabel, konsep
egalitarianism yang diusung al-Qur’an, serta metode tafsir hermeneutik praksis
liberatif-humanistik. Hal ini dianggap penting, karena pemahaman terhadap
terma-terma ini akan memudahkan untuk memahami penjelasan selanjutnya.
Bab ketiga akan menjelaskan gambaran umum mengenai
penafsiran ayat-ayat yang terkait dengan difabel. Ayat – ayat yang akan dibahas
diantaranya ayat yang bercerita mengenai kisah nabi Yaʻqub as yang menderita kebutaan, begitu juga dengan kisah
nabi Mu>sa as yang mengalami kekurangan dalam fungsi lisannya, serta Q.S ‘Abasa
[80]: 1-5 yang mengutarakan peneguran Alla>h swt terhadap Nabi Muhammad saw,
karena beliau bermuka masam terhadap tunanetra. Serta mengkaji relevansi makna
ayat dan pesan moral dari ayat-ayat
tersebut. Hal inilah yang kemudian mengantarkan pada kesimpulan-kesimpulan
bahwa sebenarnya al-Qur’an mengakomodir egalitarianism terhadap difabel.
Selanjutnya,
pada bab ke-empat akan memaparkan pengoptimalisasian upaya-upaya pembebasan
difabel dari segala pendiskriminasian. Upaya yang dirumuskan terkait dengan
usaha advokasi, sosialisasi, dan juga implementasi. RuMu>sa asn inilah yang
diharapkan menjadi bagian praksis dari penafsiran yang juga menjadi langkah
penting bagi perubahan itu sendiri.
Akhirnya, penelitian ini akan ditutup dengan
bab akhir yang meliputi kesimpulan dan saran-saran yang
direkomendasikan penulis untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
[1] Diskriminasi ini terlihat dari beberapa berita yang termuat
dalam surat kabar,media elektronik, seperti :dalam aspek pekerjaan, bisa
diperkirakan hanya 15% kaum difabel yang memperoleh pekerjaan yang mapan.
Kebanyakan bekerja di sektor swasta, serta pegawai negeri sipil (PNS).(dikutip
dari artikel Abdul Ghaffar dalam harian “Analisa” edisi 23 november 2011)
Kenyataan lain mengatakan bahwa hampir tidak ada instansi atau perusahaan yang
mau merekrut kaum difabel. Karena cacat fisik masih dianggap sebagai penghalang
kerja seseorang. Hal ini juga terlihat dari persyaratan dalam iklan lowongan kerja,
kebanyakan masih mencantumkan syarat “tidak cacat”. Dari akses publik, masih
dijumpai minimnya akses jaminan kesehatan yang diberikan pemerintah di DIY,
sehingga diantara 41.219 difabel, hanya
sekitar 1000 orang yang dapat mengakses jaminan kesehatan. (disampaikan oleh
organisasi “women difabel”). Dari aspek pendidikan, Di Jambi diketahui bahwa
hampir setengah dari kaum difabel yang mengenyam bangku sekolah,baik di sekolah
umum maupun sekolah luar biasa (SLB).(Tribun 1 Desember 2011), sekitar 300 difabel
di Indonesia merupakan lulusan sarjana. Dari jumlah tersebut, 70% berprofesi
sebagai guru, baik SLB maupun di sekolah umum. Sedangkan di tingkat Perguruan
Tinggi, tampaknya masih ada pembatasan bagi difabel untuk memasuki bangku
perkuliahan untuk jurusan tertentu. Pada aspek politik, diketahui bahwa
partisipasi kaum difabel dalam pemilu masih sangat rendah. Salah satu
penyebabnya karena akses yang masih terbatas. Sehingga, pada pemilu 2009 di
Bandung, ada sekitar 80 kaum difabel di Bandung yang tidak bisa menggunakan hak
pilihnya(Inilah Jabar.com, portal berita Jawa Barat,edisi 10 Agustus 2011).
Pemahaman orang terhadap agama sendiri juga dianggap kurang dalam memberi
apresiasi terhadap difabel, baik dalam kajian fiqih, tafsir, dan hadis.
[2] Rohidin, Peran Ulama dalam Sosialisasi Kebijakan
Integrasi Sosial Kaum Difabel ke dalam Mainstream Masyarakat ( Fenomena:
Vol. 5 No. 2, September 2007 ) hlm.1
[3] Protes Nuning Suraytiningsih dari Center for Improving Qualified
Activity in Live of People with Disabilities (CIQAL) Yogyakarta, pada saat
melakukan aksi di DPRD DIY (Kurniawan, 2005).Menurut Nuning, kaum difabel masih
merasakan adanya diskriminasi oleh pemerintah. Dia mengatakan, "penyebab
utama perlakuan diskriminatif selama ini adalah minimnya peraturan yang mengatur kaum difabel. Saat
ini,menurutnya semua peraturan atau undang-undang yang dibuat hampir semuanya
tidak berperspektif difabel, sehingga kaum difabel seolah bukan bagian dari masyarakat.
[4] Undang-Undang Republik Indonesia no 4
Tahin 1997, menyatakan bahwa difabel merupakan bagian dari masyarakat Indonesia
yang mempunyai kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama dengan masyarakat
Indonesia lainnya di segala aspek kehidupan.tetapi hal ini belum
terimplementasikan dengan baik di
masyarakat. Jadi hak-hak difabel berupa hak memperoleh pendidikan, kesempatan
kerja, pengembangan ekonomi, penggunaan fasilitas umum, berkomunikasi dan
mendapatkan informasi,perlindungan hukum, peran politik, jaminan social, dan
kesehatan serta pengembangan budaya belum sepenuhnya terpenuhi. Factor belum
terimplementasinya UU tersebut di Indonesia, karena anggapan pemerintah bahwa
difabel kurang bisa produktif, sebagaimana pendapat Mansour Fakih, bahwa
pemerintah dalam proses pembangunan, selama ini terlampau memberikan perhatian
lebih pada pemilik modal, aparat, pengusaha, konsultan, kelangsungan proses
industry, buruh, sumber daya alam, dan konsumen. Lihat di Argyo Demartoto,Menyibak
Sensitivitas Gender dalam Keluarga Difabel ed. Hari Sudarto dkk (Surakarta:
Lembaga Pengembangan Pendidikan Universitas Negeri Solo dan UNS Press, 2007),
hlm.2.
[5] Eva Kasim, Masalah Difabel dan Aspek Budaya. 2002. Disarikan dari makalah yang disampaikan pada Konggress Dunia ke-6 Organisasi
Difabel Dunia (DPI) di Saporo, Jepang ,Oktober. Hiroko Horikoshi, 1976. A
Tradisional Leader in a Time of Change: The Kyai and Ulama in West Java,
Disertasi Dokoto, University of Illionois.
[6] Didi Tarsidi, (Penerjemah), Resolusi
PBB No. 48/96 Tahun 1993, Peraturan Standar Tentang Persamaan Kesempatan Bagi Para Difabel. 1998.
[8] Ashgar Ali Angineer,Islam dan Teologi Pembebasan,
terj.Agung Prihantoro ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.33.
[9] Yuni Setyawati, Problematika Pembelajaran dan Upaya
Pemberian Layanan Mahasiswa Difabel di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, skripsi
Fakultas Adab tahun 2008
[10] Marfu’ah Nahawi, Pendidikan Difabel Di Ikatan Tunanetra
Muslim Indonesia (ITMI) Kota Yogyakarta skripsi Fakultas Adab:2008
[11] Sumaryanto, Upaya Pusat Studi Layanan Difabel dalam
Membantu Keberhasilan Belajar Mahasiswa Tunanetra di UIN Sunan Kalijaga. Skripsi
Fakultas Adab : 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar