Sabtu, 26 Oktober 2013

STUDI PENAFSIRAN AYAT-AYAT DIFABEL

KONSEP EGALITARIANISM TERHADAP DIFABEL DALAM AL-QUR’AN
Laporan Penelitian Dalam Kompetisi Mahasiswa
yang diselenggarakan oleh BEM-J TH
Oleh :Kholila Mukaromah (09532019) KhoirunNisa’(09532050) Munirah (09532034)


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Diskriminasi terhadap kaum difabel menjadi salah satu isu penting yang harus diangkat, terkait dengan adanya “pembatasan”  terhadap gerak mereka untuk berpartisipasi dalam berbagai dimensi kehidupan, baik  aspek ekonomi, pendidikan, keagamaan, akses publik, akses pekerjaan, akses politik, dan lainnya.[1] Diskriminasi tersebut terjadi karena perbedaan fisik difabel yang dianggap berbeda dengan manusia pada umumnya. Perbedaan fisik tersebut seharusnya tidaklah menjadi alasan untuk membedakan mereka dari segi kemampuan, karena yang berbeda hanyalah mode of production (cara-cara berproduksi)[2]. Cara pandang masyarakat yang cenderung mendiskriminasikan difabel ini berimplikasi besar terhadap kesulitan mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak demi keberlangsungan hidup mereka. Hal ini juga diperparah dengan respon pemerintah yang dianggap kurang memperhatikan eksistensi difabel, terbukti dengan minimnya peraturan yang dibuat terkait difabel.[3] Seharusnya, difabel diperlakukan sama seperti manusia biasa, mereka mempunyai hak-hak selayaknya manusia yang harus dipenuhi dan tidak dipersulit.
Sebenarnya berbagai upaya sudah banyak dilakukan demi kesejahteraan para difabel, baik yang dilakukan oleh pemerintah[4], institusi, LSM, bahkan organisasi dunia seperti KTT  juga ikut andil dalam memberikan persamaan hak difabel, seperti yang tersirat dalam jargon "Persamaan kesempatan dan partisipasi penuh difabel dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan". Akan tetapi, sasaran yang ingin dicapai sejak lebih dari dua dasawarsa hingga kini belum banyak mencapai kemajuan.[5] Begitu juga dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mencetuskan Program Aksi Dunia mengenai Para Difabel sebagaimana yang ditetapkan oleh Sidang Umum PBB dalam resolusinya No.37/52. Pertemuan itu merekomendasikan agar Sidang Umum menyelenggarakan suatu konferensi khusus untuk merancang konvensi Internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap para difabel, yang harus diratifikasi oleh negara-negara ( Resolusi PBB No. 48/96 Tahun 1993). Tetapi dalam realitasnya, usaha tersebut belum mencapai hasil yang sempurna mengingat berbagai hambatan, termasuk  keidakserampakkan  negara-negara dunia dalam mengaplikasikan peraturan tersebut di negara masing-masing[6].
Dalam aspek keagamaan menurut Eva Kasim, pemahaman ajaran agama dan nilai-nilai kepercayaan di kalangan masyarakat juga memegang peranan penting dalam perbaikan kualitas hidup difabel. Hal ini mengingat bahwa perilaku masyarakat (mode of conduct) tidak bisa dipisahkan dengan pola pikir (mode of thought). Sementara pola pikir juga dipengaruhi oleh teks-teks keagamaan[7]. Sehingga agama sebenarnya juga menjadi titik tolak penting dalam menciptakan persamaan perlakuan atau meminimalisir adanya diskriminasi dalam masyarakat. Sebagaimana uraian di atas, bahwa sebenarnya sudah ada usaha konkrit untuk mengatasi diskriminasi ini, meskipun belum terlihat maksimal. Maka, sudah seharusnya-lah agama juga turut andil dalam memperjuangkan egalitarianism terhadap kaum difabel,
Al-Qur’an sebagi teks agama yang dijadikan pedoman utama dalam Islam sebenarnya sangat mengapresiasi adanya egalitarianism (persamaan atau musa>wah)  terhadap difabel, sebagaimana yang tersirat dalam Q.S‘Abasa [80]: 1-2), yang menceritakan sebuah teguran Alla>h swt terhadap Nabi Muhammmad saw, dimana pada saat itu Rasulullah saw kurang responsif dan santun ketika dimintai sebuah petunjuk oleh sahabat Ibnu Ummi Makt>um yang mengalami kebutaan (tunanetra).  Ayat diatas dengan jelas menegaskan bahwa Islam sebagai agama sangat peduli terhadap kaum difabel. Bahkan jika kita menengok sejarah kenabian banyak para Nabi/utusan Alla>h yang berstatus difabel seperti Nabi Ya’qub as yang pernah mengalami kebutaan ketika putranya (Yu>suf as) dikabarkan meninggal; Nabi Mu>sa as yang kesulitan dalam berbicara dikarenakan lidah beliau terbakar oleh bara api ketika masih kecil. Tetapi walaupun demikian, kedua nabi tersebut masih bisa melaksanakan risalah Alla>h dengan baik.
Dengan demikian, al-Qur’an sebagai sumber moral umat Islam tidak pernah melegalkan adanya pendiskriminasian terhadap setiap manusia. Melainkan mempunyai tujuan dasar , yaitu mengusung persaudaraan yang universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality atau egalitarianism), dan keadilan social (social justice).[8] Hal ini salah satunya terlihat dari beberapa ayat dan kisah, sebagaiman yang telah dipaparkan sebelumnya. Namun realitas dan teks ternyata belum sepenuhnya bisa berdialektika. Adanya diskriminasi, yang berusaha diselesaikan dengan berbagai upaya memperjuangkan egalitarianism terhadap difabel, sungguh sangat baik. Namun, sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwa upaya tersebut belum sepenuhnya berhasil, mengingat pola pikir masyarakat yang susah untuk berubah. Agama yang mengusung konsep egalitarianism-pun belum sepenuhnya optimal dalam mengatasi diskriminasi terhadap difabel pada tataran praksisnya,
Oleh karena itu, sekiranya penting sekali upaya peruMu>sa asn tafsir berbasis difabel, yang tidak hanya memperjuangkan dalam tataran teori (kognitif), tetapi juga berlanjut pada tataran praksis. Sebagaimana Farid Esack yang mengusung hermeneutika praksis liberatif-humanistik dalam memperjuangkan adanya persamaan hak masyarakat Afrika Selatan dari penindasan kekuasaan Aphartheid. Bahwa penafsiran berawal dari realita (konteks) , lalu barulah merujuk pada teks untuk mencari legitimasinya. Usaha penafsiran selanjutnya tidak hanya berusaha memperoleh pesan moral atau relevansi ayat saja, melainkan juga mengupayakan bagaimana makna baru tersebut bisa merubah ketimpangan yang ada dalam realitas tersebut.
Meskipun, realitas diskriminasi terhadap difabel di Indonesia sendiri tidak seburuk seperti apa yang terjadi di Afrika Selatan. Namun, yang perlu ditekankan disini adalah bagaimana membuat pondasi yang kuat untuk membebaskan kaum difabel dari segala pendiskriminasian  oleh berbagai pihak. Usaha yang dilakukan bisa menjadi upaya praksis, yang harus terus digalakkan pelaksanaannya, sehingga peraturan per-undang-undangan tidak hanya menjadi peratuturan tertulis, tetapi terealisasi dengan bantuan berbagai pihak.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, muncullah beberapa pertanyaan fundamental yang membutuhkan penelitian mendalam untuk menemukan jawabannya, yaitu:
1.    Bagaimana konsep mengenai difabel, egalitarianism, serta hermenenutika praksis liberatif-humanistik dalam penelitian ini?
2.    Bagaimana penafsiran ayat-ayat yang terkait dengan difabel , serta relevansi makna dan pesan moralnya,  yang mengantarkan pada konsep egalitarianism dalam mamandang difabel ?
3.      Apa saja usaha yang harus dioptimalisasikan untuk mengentaskan para difabel dari diskriminasi, sebagai bentuk praksis dari hasil penafsiran?
C.  Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1.      Mengetahui dan memahami konsep mengenai difabel, egalitarianism, serta hermenenutika praksis liberatif-humanistis  dalam usaha membebaskan kaum difabel dari berbagai bentuk diskriminasi.
2.      Mengetahui penafsiran ayat-ayat yang terkait dengan difabel , serta relevansi makna dan pesan moralnya,  yang mengantarkan pada konsep egalitarianism dalam mamandang difabel.
3.      Merumuskan berbagai usaha yang harus dioptimalisasikan untuk mengentaskan para difabel dari diskriminasi, sebagai bentuk praksis dari hasil penafsiran.
Adapun kegunaan penelitian ini adalah untuk meminialisir adanya diskriminasi terhadap para difabel. karena pemahaman yang dihasilkan dari penafsiran ini diharapkan bisa mengubah cara pandang masyarakat dalam memperlakukan difabel, khususnya bagi semua civitas akademika di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
D.  Tinjauan Pustaka
Selama ini kami belum menemukan literatur khusus yang membahas tafsir al-Qur’an secara khusus mengenai difabel. Sedangkan penafsiran yang dipaparkan oleh para mufassir baik klasik maupun kontemporer hanya menjelaskannya secara umum, dan belum sampai pada penjelasan khusus mengenai persamaan pandangan al-Qur’an terhadap difabel. Penelitian terhadap difabel sendiri sebenarnya telah banyak dilakukan oleh para akademisi, melalui penelitian langsung terhadap fenomena maupun persoalan yang terjadi saat ini (penelitian lapangan). Atau penjelasan secara literer yang mengulas mengenai persoalan ini dalam bentuk artikel.
Beberapa penelitian tersebut seperti skiripsi yang berjudul Problematika Pembelajaran dan Upaya Pemberian Layanan Mahasiswa Difabel di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta oleh Yuni Setyawati. Di dalam penelitian ini dia ingin mengungkap problematika yang dihadapi oleh mahasiswa difabel di UIN Sunan Kalijaga dalam menjalankan aktifitas pembelajaran di kampus, baik yang berkaitan dengan dirinya sendiri, dosen, dan fasilitas yang ada[9]. Adapun  Marfu’ah Nahawi dalam skripsinya Pendidikan Difabel Di Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) Kota Yogyakarta mengungkap implementasi “tugas-tugas kekhalifahan” dalam Surat Al-Baqarah[2]: 30 mengupayakan pengembangan potensi khalifah pelajar difabel di Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) Kota Yogyakarta, beserta faktor pendukung dan penghambatnya[10].
Sementara Sumaryanto dalam skripsinya Upaya Pusat Studi Layanan Difabel dalam Membantu Keberhasilan Belajar Mahasiswa Tunanetra di UIN Sunan Kalijaga mencermati apa saja yang telah dilakukan UIN Sunan Kalijaga dalam proses pengajaran terhadap difabel[11]. Adapun Rohidin, SH., M.Hum. dalam jurnalnya  Peran Ulama dalam Sosialisasi Kebijakan Integrasi Sosial Kaum Difabel ke dalam Mainstream Masyarakat menulis tentang pengaruh ulama dalam mensosialisasikan kebijakan integrasi social terkait kaum difabel dalam mainstream masyarakat[12].
 Poin penting dari penelitian ini adalah bahwa konsep egalitarianism (Musa>wah) yang diajarkan al-Qur’an sangat berperan penting dalam menciptakan kedamaian kesejahteraan hidup sesama manusia. Berdasarkan  studi pustaka di atas, belum ada yang membahas penelitian ini secara sistematis dan komprehensif dengan metode hermeneutik praksis liberatif, sehingga penelitian ini layak dilakukan.
E.  Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif, karena data-data yang dikumpulkan berdasar pada telaah kepustakaan (library research). Data-data yang akan digunakan dalam penelitian ini terbagi kepada data primer dan data sekunder. Untuk data primernya adalah al-Qur’an, lebih khususnya ayat-ayat yang berhubungan dengan difabel. Sedangkan data sekundernya berupa penafsiran dan penjelasan dari kitab-kitab tafsir dan hadis, buku, serta  artikel yang berhubungan dengan tema tersebut. 
Untuk mengumpulan data-data tersebut, kami akan menggunakan metode hermeneutik praksis liberatif . Secara rinci metode yang digunakan meliputi : pertama, melihat realita yang mengandung persoalan, dalam hal ini realita yang menjadi titik tolak penelitian ini adalah realita diskriminasi terhadap difabel di Indonesia. Kedua, mencari legitimasi ayat-ayat yang berhubungan dengan difabel dan mengumpulkannya. Ketiga, menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan pendekatan linguistik, historis, dan hermeneutik. Hasil penafsiran diharapkan juga memperhatikan aspek humanitas, karena penafsiran ini sebenarnya bertujuan untuk menciptakan keadilan dan persamaan bagi sesama manusia. Keempat, mencermati kembali penafsiran ayat-ayat difabel tersebut secara komprehensif untuk mencari relevansi makna dan juga pesan moral dari kandungan ayat tersebut yang terkait dengan konsep egalitarianism al-Qur’an terhadap difabel. Kelima, merumuskan usaha-usaha yang telah dilakukan ataupun belum terealisasi agar bisa dioptimalisasikan oleh berbagai pihak.

F.     Sistematika Pembahasan
Agar dapat dipahami secara mudah dan tersistematisasi, maka bahasan-bahasan dalam penelitian ini akan dibagi menjadi satu bab pendahulun, dua bab pembahasan, dan satu bab penutup. Adapun gambaran dari masing-masing bab dan bahasan tersebut adalah sebagai berikut:
 Bab pertama merupakan pendahuluan, memberikan gambaran umum mengenai persoalan yang akan diteliti. Gambaran umum ini meliputi latar belakang masalah, ruMu>sa asn masalah yang akan diteliti, tujuan dan manfaat penelitian, telaah kepustakaan yang sudah ada, metode dan pendekatan yang akan dipakai, serta sistematika pembahasan dalam penelitian.
Kemudian pada bab kedua akan menjelaskan pengertian tentang difabel, konsep egalitarianism yang diusung al-Qur’an, serta metode tafsir hermeneutik praksis liberatif-humanistik. Hal ini dianggap penting, karena pemahaman terhadap terma-terma ini akan memudahkan untuk memahami penjelasan selanjutnya.
Bab ketiga  akan menjelaskan gambaran umum mengenai penafsiran ayat-ayat yang terkait dengan difabel. Ayat – ayat yang akan dibahas diantaranya ayat yang bercerita mengenai kisah nabi Yaʻqub as yang menderita kebutaan, begitu juga dengan kisah nabi Mu>sa as yang mengalami kekurangan dalam fungsi lisannya, serta Q.S ‘Abasa [80]: 1-5 yang mengutarakan peneguran Alla>h swt terhadap Nabi Muhammad saw, karena beliau bermuka masam terhadap tunanetra. Serta mengkaji relevansi makna ayat dan pesan moral  dari ayat-ayat tersebut. Hal inilah yang kemudian mengantarkan pada kesimpulan-kesimpulan bahwa sebenarnya al-Qur’an mengakomodir egalitarianism terhadap difabel.
Selanjutnya, pada bab ke-empat akan memaparkan pengoptimalisasian upaya-upaya pembebasan difabel dari segala pendiskriminasian. Upaya yang dirumuskan terkait dengan usaha advokasi, sosialisasi, dan juga implementasi. RuMu>sa asn inilah yang diharapkan menjadi bagian praksis dari penafsiran yang juga menjadi langkah penting bagi perubahan itu sendiri.
 Akhirnya, penelitian ini akan ditutup dengan bab akhir yang meliputi kesimpulan dan saran-saran yang direkomendasikan penulis untuk penelitian-penelitian selanjutnya.












[1] Diskriminasi ini terlihat dari beberapa berita yang termuat dalam surat kabar,media elektronik, seperti :dalam aspek pekerjaan, bisa diperkirakan hanya 15% kaum difabel yang memperoleh pekerjaan yang mapan. Kebanyakan bekerja di sektor swasta, serta pegawai negeri sipil (PNS).(dikutip dari artikel Abdul Ghaffar dalam harian “Analisa” edisi 23 november 2011) Kenyataan lain mengatakan bahwa hampir tidak ada instansi atau perusahaan yang mau merekrut kaum difabel. Karena cacat fisik masih dianggap sebagai penghalang kerja seseorang. Hal ini juga terlihat dari persyaratan dalam iklan lowongan kerja, kebanyakan masih mencantumkan syarat “tidak cacat”. Dari akses publik, masih dijumpai minimnya akses jaminan kesehatan yang diberikan pemerintah di DIY, sehingga diantara  41.219 difabel, hanya sekitar 1000 orang yang dapat mengakses jaminan kesehatan. (disampaikan oleh organisasi “women difabel”). Dari aspek pendidikan, Di Jambi diketahui bahwa hampir setengah dari kaum difabel yang mengenyam bangku sekolah,baik di sekolah umum maupun sekolah luar biasa (SLB).(Tribun 1 Desember 2011), sekitar 300 difabel di Indonesia merupakan lulusan sarjana. Dari jumlah tersebut, 70% berprofesi sebagai guru, baik SLB maupun di sekolah umum. Sedangkan di tingkat Perguruan Tinggi, tampaknya masih ada pembatasan bagi difabel untuk memasuki bangku perkuliahan untuk jurusan tertentu. Pada aspek politik, diketahui bahwa partisipasi kaum difabel dalam pemilu masih sangat rendah. Salah satu penyebabnya karena akses yang masih terbatas. Sehingga, pada pemilu 2009 di Bandung, ada sekitar 80 kaum difabel di Bandung yang tidak bisa menggunakan hak pilihnya(Inilah Jabar.com, portal berita Jawa Barat,edisi 10 Agustus 2011). Pemahaman orang terhadap agama sendiri juga dianggap kurang dalam memberi apresiasi terhadap difabel, baik dalam kajian fiqih, tafsir, dan hadis. 
[2] Rohidin, Peran Ulama dalam Sosialisasi Kebijakan Integrasi Sosial Kaum Difabel ke dalam Mainstream Masyarakat ( Fenomena: Vol. 5 No. 2, September 2007 ) hlm.1
[3] Protes Nuning Suraytiningsih dari Center for Improving Qualified Activity in Live of People with Disabilities (CIQAL) Yogyakarta, pada saat melakukan aksi di DPRD DIY (Kurniawan, 2005).Menurut Nuning, kaum difabel masih merasakan adanya diskriminasi oleh pemerintah. Dia mengatakan, "penyebab utama perlakuan diskriminatif selama ini adalah minimnya peraturan yang mengatur kaum difabel. Saat ini,menurutnya semua peraturan atau undang-undang yang dibuat hampir semuanya tidak berperspektif difabel, sehingga kaum difabel seolah bukan bagian dari masyarakat.
[4] Undang-Undang Republik Indonesia no 4 Tahin 1997, menyatakan bahwa difabel merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang mempunyai kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama dengan masyarakat Indonesia lainnya di segala aspek kehidupan.tetapi hal ini belum terimplementasikan dengan baik  di masyarakat. Jadi hak-hak difabel berupa hak memperoleh pendidikan, kesempatan kerja, pengembangan ekonomi, penggunaan fasilitas umum, berkomunikasi dan mendapatkan informasi,perlindungan hukum, peran politik, jaminan social, dan kesehatan serta pengembangan budaya belum sepenuhnya terpenuhi. Factor belum terimplementasinya UU tersebut di Indonesia, karena anggapan pemerintah bahwa difabel kurang bisa produktif, sebagaimana pendapat Mansour Fakih, bahwa pemerintah dalam proses pembangunan, selama ini terlampau memberikan perhatian lebih pada pemilik modal, aparat, pengusaha, konsultan, kelangsungan proses industry, buruh, sumber daya alam, dan konsumen. Lihat di Argyo Demartoto,Menyibak Sensitivitas Gender dalam Keluarga Difabel ed. Hari Sudarto dkk (Surakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan Universitas Negeri Solo dan UNS Press, 2007), hlm.2.
[5] Eva Kasim, Masalah Difabel dan Aspek Budaya. 2002.  Disarikan dari makalah yang disampaikan pada Konggress Dunia ke-6 Organisasi Difabel Dunia (DPI) di Saporo, Jepang ,Oktober. Hiroko Horikoshi, 1976. A Tradisional Leader in a Time of Change: The Kyai and Ulama in West Java, Disertasi Dokoto, University of Illionois.
[6] Didi Tarsidi, (Penerjemah), Resolusi PBB No. 48/96 Tahun 1993, Peraturan Standar Tentang Persamaan Kesempatan Bagi Para Difabel. 1998.
[7]  Machasin, Islam Teologi Aplikatif ( Yogyakarta: Pustaka Alif, 2003), hlm.170
[8] Ashgar Ali Angineer,Islam dan Teologi Pembebasan, terj.Agung Prihantoro ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.33.
[9] Yuni Setyawati, Problematika Pembelajaran dan Upaya Pemberian Layanan Mahasiswa Difabel di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, skripsi Fakultas Adab tahun 2008
[10] Marfu’ah Nahawi, Pendidikan Difabel Di Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) Kota Yogyakarta skripsi Fakultas Adab:2008
[11] Sumaryanto, Upaya Pusat Studi Layanan Difabel dalam Membantu Keberhasilan Belajar Mahasiswa Tunanetra di UIN Sunan Kalijaga. Skripsi Fakultas Adab : 2010
[12] Rohidin,, Peran Ulama dalam ...hlm. 17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar