BAB IV
UPAYA PRAKSIS PEMBEBASAN DIFABEL
DARI DISKRIMINASI
Realitanya,
semangat pembebasan terhadap para difabel telah didengungkan dan dimiliki oleh
beberapa kelompok, baik pemerintah, organisasi social, komunitas-komunitas atau
aktivis peduli difabel. Pemerintah bertindak dalam mengelurakan
kebijakan-kebijakannya yang ramah akan kepentingan difabel, begitu juga telah
berdiri beberapa organisasi social seperti Pertuni (Persatuan Tuna Netra
Indonesia), PPCI (Persatuan Penyandang Cacat Indonesia), CIQAL (Center for
Improving Qualified Activity in Live of People with Disabilities), ITMI
(Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia),Women Difabel, HWPCI (Himpunan
Wanita Penyandang Cacat), KPJDA (Komisi Pembentukan Jaringan Difabel Aceh),
bahkan organisasi setingkat PBB pun juga berperan dan telah bergerak
mengatasi persoalan ini. Uraian di bawah ini lebih lanjut membahas upaya-upaya
praksis yang yang bertujuan untuk membebaskan para difabel dari tindak
diskriminasi. Upaya yang dilakukan meliputi upaya advokasi, sosialisasi, dan
implementasi, antara lain:
A.
Advokasi
Advokasi
adalah aksi yang strategis dan terpadu, oleh perorangan atau kelompok
masyarakat untuk memasukkan suatu masalah ke dalam agenda kebijakan, dan
mengontrol para pengambil keputusan untuk mengupayakan solusi bagi masalah
tersebut sekaligus membangun basis dukungan bagi penegakan dan penerapan
kebijakan publik yang di buat untuk mengatasi masalah tersebut. (Manual
Advokasi Kebijakan Strategis, IDEA, Juli 2003)[1]
Dari
definisi di atas dapat kita simpulkan
bahwa advokasi adalah sebuah gerakan yang berusaha membela hak dan kepentingan
suatu kelompok melalui kebijakan-kebijakan pemerintah yang berwenang.
A.
Advokasi difabel
Sebelum
melakukan advokasi, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa saja kebijakan
yang telah pemerintah lakukan terhadap difabel. Berikut beberapa upaya yang
telah dilakukan oleh pemerintah terhadap difabel di berbagai bidang di
antaranya yaitu:
1.
Hak pendidikan
Dalam
membela dan menjamin hak pendidikan bagi difabel, berbagai kebijakan telah
dilakukan oleh pemerintah, di antaranya membuat undang-undang tentang hak
pendidikan bagi difabel yaitu undang-undang no. 39 tahun 1999 tentang hak asasi
manusia yang berbunyi bahwa “setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat
fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan
bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai
dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan
berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
Undang-undang ini menyatakan sacara jelas tentang hak-hak difabel, termasuk hak
pendidikan.
Selanjutnya
undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mewajibkan
Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk memberikan layanan dan kemudahan, serta
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara
tanpa diskriminasi. Dengan demikian, difabel juga termasuk dalam undang-undang
ini. Untuk mewujudkan hak tersebut, pemerintah juga membuatkan sekolah khusus
bagi difabel. Maka dibuatlah Keputusan Mendikbud No. 0491/U19992 tentang
Pendidikan Luar Biasa, dari tingkat Taman Kanak-Kanak sampai tingkat Menengah.
Pada
tahap selanjutnya, Sekolah Luar Biasa ini justru menjadi pemisah antara anak difabel dengan anak normal. Dengan mengkhususkan mereka pada
satu tempat membuat mereka merasa berbeda dengan yang lainnya dan mereka tidak
bisa mengenal dunia luar serta merasakan hidup normal. Anak normal pun tidak
akan bisa memahami para difabel tanpa mengenal kehidupan mereka. Sehingga di
antara mereka susah untuk berinteraksi
dengan baik.
Oleh
karena itu, kemudian muncul konsep pendidikan inklusi[2].
Salah satu kesepakatan Internasional yang mendorong terwujudnya sistem
pendidikan inklusi adalah Convention on the Rights of Person with Disabilities
and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007. Pada pasal 24 dalam
Konvensi ini disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan
sistem pendidikan inklusi di setiap tingkatan pendidikan. Adapun salah satu
tujuannya adalah untuk mendorong terwujudnya partisipasi penuh difabel dalam
kehidupan masyarakat.[3]
Di
Indonesia, konsep pendidikan seperti ini juga telah dilaksanakan oleh
pemerintah, namun dengan sebutan pendidikan terpadu seperti yang termuat pada
Surat Keputusan (SK) Mendikbud Nomor: 002/U/1986 Pasal 1 ayat 1 yang menyatakan
bahwa pendidikan terpadu ialah model penyelenggaraan program pendidikan bagi
anak difabel yang diselenggarakan bersama-sama anak normal di lembaga
pendidikan umum dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga pendidikan
yang bersangkutan. Sekolah ini meliputi Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar
(SD), Sekolah Lanjutan Tiangkat Pertama(SLTP), Sekolah Menengah Umum (SMU), dan
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).[4]
Berbagai
kebijakan tersebut telah dilakukan oleh pemerintah. Namun, pada kenyataannya
masih banyak difabel yang belum merasakannya. Sebagai contoh, berdasarkan data
yang dihimpun dari Forum Sukarelawan Pendidikan Luar Biasa Jawa Barat pada 2010
terungkap dari 120 ribu penyandang cacat di Jabar, terdapat 51 ribu penyandang
cacat usia sekolah. Namun dari 51 ribu, hanya 13 ribu orang yang mengenyam
pendidikan. Minimnya jumlah sekolah inklusi
menjadi kendala[5].
Padahal berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Naional RI nomor 70 tahun 2009
tentang pendidikan inklusi menyebutkan
bahwa pemerintah daerah Kabupaten /Kota wajib menunjuk minimal satu sekolah per
level pendidikan yang harus menyelenggarakan pendidikan inklusi di setiap
kecamatan. Dengan demikian, seharusnya tidak ada permasalahan lagi bagi anak
difabel untuk bisa bersekolah.
Kurangnya fasilitas
sekolah untuk difabel juga menghambat jalannya sekolah inklusi ini. seperti
kurang tenaga pengajar yang ahli dalam menangani para difabel. Padahal
pemerintah melalui PP.No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
pasal 41(1) telah mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi dengan
menyatakan bahwa setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusi
harus memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan
pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus.
Namun,
sampai saat ini, pendidikan inklusi hanya sampai jenjang sekolah Menengah Atas
saja, belum ada kebijakan pemerintah untuk menyelenggarakan perguruan tinggi
inklusi. Padahal, hak pendidikan itu tidak terbatas pada jenjang tertentu saja.
Oleh karena itu, PR bagi pemerintah
selanjutnya adalah membuat kebijakan tersebut di seluruh perguruan tinggi di
Indonesia. Tidak hanya membuat kebijakan, tetapi juga memberikan dana yang
lebih untuk penyediaan fasilitas. Sebab,
banyak difabel yang tidak bisa diterima oleh perguruan tinggi karena
keterbatasan fasilitas.
Terhambatnya perkembangan sekolah dan perguruan tinggi
inklusi juag disebabkan karena keterbatasan tenaga pengajar yang ahli dalam
menghadapi difabel. Untuk itu, pemerintah bisa membuat peraturan pada setiap
jurusan pendidikan di semua perguruan tinggi untuk memasukkan mata kuliah yang
khusus mempelajari bagaimana cara menghadapi dan mengajar difabel, atau
mengadakan pelatihan gratis untuk para guru terkait pengajaran difabel, minimal
diadakan di setiap kecamatan, dan memberikan penghargaan yang khusus
terhadap guru difabel yang sudah
terseleksi. Contohnya dengan memberikan honor yang lebih dari guru biasa.
Selain itu, pemerintah juga harus memberikan apresiasi terhadap sekolah-sekolah
inklusi dengan memberikan dana bantuan untuk lebih melengkapi sagala fasilitas
yang diperlukan oleh difabel.
2.
Hak Pekerjaan
Difabel,
sebagaimana manusia biasanya, mereka juga memiliki kebutuhan hidup yang harus
dipenuhi. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, mereka juga butuh pekerjaan agar
tidak hanya bergantung kepada orang lain. Karena sejatinya, mereka juga dapat
melakukan sesuatu yang menghasilkan uang. Oleh karena itu, pemerintah dan DPR
sudah menerbitkan UU tentang difabel No. 4 Tahun 1997. Khusus mengenai aksebilitas
kerja, UU ini bahkan menentukan bahwa perusahaan negara dan swasta memberi
kesempatan kepada difabel untuk bekerja. Hal ini juga tertuang dalam Pasal 14
UU difabel bahwa sebuah perusahaan harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1
orang difabel untuk tiap 100 karyawan.
Namun,
sangat disayangkan,undang-undang tersebut tidak terealisasikan dengan baik.
Misalnya, salah satu persyaratan CPNS harus sehat jasmani dan rohani
berdasarkan keterangan dokter Rumah Sakit Pemerintah atau Swasta. Tidak hanya
CPNS, banyak perusahaan juga mencantumkan persyaratan tersebut dalam perekrutan
mereka. Persyaratan ini jelas mendiskriminasikan para difabel. Hal yang
menghebohkan terjadi, ketika Abdurrahman Wahid, yang notabene seorang difabel
maju dalam pemilihan presiden tahun 1999. Ia berhasil melenggang ke kursi
kepresidenan, meskipun sempat terganjal oleh peraturan.
Untuk itu,
pemerintah seharusnya mengontrol secara langsung atas pelaksanaan undang-undang
tersebut agar tidak hanya berhenti pada selembar kertas saja, tetapi terwujud
pada kehidupan nyata. Selain itu, pemerintah juga harus memberikan sangsi yang
tegas terhadap pelanggaran undang-undang tersebut.
3.
Fasilitas Bangunan Publik
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1997 tentang difabel yang dilanjutkan dengan Keputusan Menteri
(Kepmen) Pekerjaan Umum (PU) Nomor 468 Tahun 1998 tentang Persyaratan Teknis
Aksesibilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan serta Kepmen Perhubungan Nomor
71 Tahun 1999 tentang Aksesibilitas difabel dan Orang Sakit pada Sarana dan
Prasarana Perhubungan. Dalam Kepmen PU dan Kepmen Perhubungan disebutkan secara
rinci bagaimana supaya bangunan, seperti pedestrian, jembatan penyeberangan,
telepon umum, dan sektor transportasi, dapat diakses secara aman oleh para
difabel.
Namun,
undang-undang tersebut lagi-lagi tidak terlihat realisasinya bahkan nyaris
tidak ada. Ditempat-tempat umum, seperti mall, hotel, tempat rekreasi, bahkan
jalanan umum banyak yang tidak menyediakan fasilitas khusus bagi para difabel, seperti
jalanan raya, tidak banyak yang menyediakan trotoar. Sehingga menyusahkan para
difabel untuk berjalan di jalan raya. Fasilitas toilet umum demikian juga,
banyak pengusaha mall atau hotel bahkan rumah sakit tidak memperhatikan
kebutuhan khusus para penyandang difabel. Sehingga seringkali difabel harus
digotong-gotong ke toilet hanya karena ukuran toilet yang terlalu sempit,
sehingga akses roda tidak mungkin dilakukan. Padahal kalau toilet dibuat khusus
seperti di luar negeri, mereka bisa sendiri melakukannya. Demikian juga
fasilitas tempat parkir, di Jakarta sebagai kota metropolitan hanya sedikit
mall yang menyediakan tempat parkir khusus bagi difabel yang ditandai dengan
lambang kursi roda. Untuk parkir mereka masih harus bersusah payah berebut
dengan orang-orang berfisik normal.[6]
Oleh karena itu, pemerintah lebih harus lebih mempertegas lagi undang-undang
tersebut.
Sedangkan
dalam hak transpontasi, kini difabel telah bisa mendapatkan Surat Ijin
Mengemudi (SIM). Di wilayah Surabaya, contohnya, para difabel telah bisa
memiliki SIM yang disebut dengan SIM D. proses pembuatannya pun sama seperti
pembuatan SIM C pada umumnya. Yang berbeda hanyalah difabel mesti menyiapkan
surat keterangan dokter yang menyatakan tidak buta, tidak tuli dan syarafnya
masih normal. Mereka yang terkena stroke yang sebagian syarafnya tidak
berfungsi tidak diperbolehkan membikin SIM D. Syarat lainnya adalah menggunakan
motor yang sudah dimodifikasi jadi roda tiga.
Persyaratan ini tentunya juga untuk keamanan difabel sendiri. Maka,
seluruh wilayah di Indonesia hendaknya juga melakukan kebijakan seperti ini, tidak
hanya di Surabaya saja.
Dari beberapa
kebijakan di atas menunjukkan betapa pemerintah juga sudah memberikan perhatian
yang penuh terhadap difabel, tinggal pelaksanaannya yang masih perlu
ditingkatkan. Indonesia masih harus mencontoh negera-negera lain yang lebih
peduli terhadap difabel. Salah satunya Hong Kong, Pemerintah menjamin
pendidikan anak-anak difabel dengan memberi tunjangan dan rekomendasi
tempat belajar dan sekolah yang sesuai dengan kebutuhan difabel. tidak hanya
untuk anak-anak, tetapi juga orang dewasa yang mempunyai cacat berat. Mereka
dapat mengajukan permohonan baik secara online maupun lewat surat kepada
instansi terkait. Tunjangan diserahkan tiap bulan setelah permohonan disetujui
pemerintah.[7]
Fasilitas umum yang mereka sediakan
juga sangat ramah terhadap setiap jenis difabel. Seperti pembuatan uang yang
dilengkapi dengan huruf Braille, setiap bus disediakan tempat khusus untuk
pengguna kursi roda di deck bawah dekat pintu keluar. Ketika masuk ke dalam
bus, penumpang yang membutuhkan layanan khusus dapat meminta sopir untuk
merendahkan lantai pintu masuk bus sehingga sejajar dengan lantai trotoar halte
untuk memudahkan mobilisasi penumpang. Jika penumpang tersebut bepergian
sendirian, supir harus membantu sampai penumpang masuk serta memastikan kursi
roda terpancang pada sandaran khusus dengan benar. Demikian pula ketika
penumpang khusus tersebut turun dari bus, supir biasanya akan dengan senang
hati membantu.[8]
Untuk pengguna layanan jasa kereta api
bawah tanah atau MTR (Mass Transit Railway), setiap stasiun menyediakan lift
bagi kaum difabel dan atau penumpang yang membawa barang seperti koper dsb yang
tidak memungkinkan mereka turun ke platform menaiki eskalator. Pada setiap lift
ada panduan suara otomatis untuk memudahkan penumpang yang difabel netra untuk menggunakan lift.
Tombol-tombol dalam lift pun dilengkapi dengan huruf Braille.[9]
Meskipun di Indonesia tidak ada MTR, tetapi semangat kepedulian mereka yang
perlu diteladani.
Selain itu, mereka juga menyediakan
toilet khusus yang luas untuk para difabel serta menyediakan tombol emergenci bila
mereka membutuhkan bantuan. Fasilitas itu disediakan gratis baik di toilet umum
yang dikelola pemerintah ataupun yang berada di pusat-pusat perbelanjaan serta
daerah tujuan wisata. Bahkan pemerintah juga menyediakan kamar mandi khusus di
pusat olahraga milik pemerintah yang dikelola Leisure Department.[10]
Pemerintah Hong Kong juga memberi kesempatan
para difabel untuk berkarya nyata secara mandiri dengan magang kerja di
tempat-tempat yang bekerja sama dengan pemerintah, seperti restoran, café,
tempat pijat, salon dan spa. Bahkan, tempat yang menerima peserta magang
mendapat subsidi dari pemerintah sebesar hampir 2/3 jumlah gaji yang diterima
peserta magang. Tak hanya tempat magang yang mendapat subsidi, karyawan yang
mau menjadi mentor pemagang juga akan diberi hadiah sebesar HKD 500 bila
berhasil mendampingi peserta didiknya.[11]
Di luar program itu, pemerintah juga
membuat UU yang melindungi kaum pekerja difabel dari diskriminasi. Employer
tidak diperbolehkan memecat pekerja dengan alasan kecacatannya. Bila pemecatan
terjadi, pekerja bersangkutan dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan dan
pemerintah akan memberi fasilitas legal aid untuk mendampingi pekerja
tersebut sampai proses perkara selesai.[12]
Di
Indonesia, meskipun pemerintah telah membuat banyak undang-undang yang peduli
difabel, namun pada aplikasinya masih belum terwujud secara nyata. Oleh karena
itu, pemerintah harus memperbaiki
kembali undang-undang tersebut dan lebih bersikap lebih tegas lagi dengan
memberikan sangsi yang nyata terhadap pelanggarnya. Indonesia juga perlu melakukan
kebijakan baru tentang hal-hal yang belum tersentuh terkait dafabel, seperti
jaminan kesehatan dan keamanan, dll.
Yang perlu
diperhatikan juga adalah memberikan hak yang sama kepada setiap difabel juga,
tidak ada pembedaan antara yang difabel netra dan rungu atau yang lainnya.
Semua diberikan hak pendidikan yang sesuai dengan kondisinya, setiap fasilitas
juga tidak dipermudah hanya untuk kalangan difabel tertentu saja, tetapi kepada
seluruh jenis difabel. Tidak harus sama, karena masing-masing memiliki kondisi
dan cara yang berbeda-beda.
B. SOSIALISASI[13]
Sebagaimana
yang kita lihat di sekitar kita, banyak para difabel dengan keterbatasan
fisiknya mempunyai prestasi yang cukup membanggakan, bahkan bisa menembus
kancah internasional. Sehingga mereka bisa berpartisipasi mengharumkan nama
Indonesia di berbagai bidangnya. Akan
tetapi, apresiasi yang diberikan oleh Pemerintah maupun masyarakat sampai saat
ini dirasa sangatlah kurang. Keadaan seperti ini terjadi karena kurangnya
informasi terkait kehidupan difabel. Berbeda halnya jika kehidupan penuh
semangat dari para difabel tersebut secara intens dikabarkan dalam berbagai Media.
Oleh karenanya, peran sosialisasi atau publikasi sangatlah membantu meretas
dikriminasi difabel. Sosialisasi bisa dilakukan baik di wilayah lokal, daerah,
nasional maupun internasional. Disini, penulis
akan mengkategorikan aspek-aspek apa saja yang
bisa gunakan untuk memperkenalkan dunia difabel kepada masyarakat. Yang dapat
membantu menghilangkan diskriminasi terhadap mereka.
1.
Media Massa
Selain
sebagai cermin mayarakat, Media Massa bisa dijadikan sebagai sarana yang paling
efektif untuk memperkenalkan dunia difabel kepada masyarakat. William L. Rivers dan kawan-skawannya
mengatakan bahwa pada dasarnya, keberadaan media massa ternyata dapat
mempengaruhi kondisi nyata dunia. Dengan kata lain, Media massa mempunyai
peranan dan kekuatan yang begitu besar terhadap dunia ini, terlebih dalam
segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia dengan segala aspek yang
melingkupinya.[14]
Kehidupan difabel yang penuh dengan semangat dan prestasi bisa diberitakan di
media massa baik cetak maupun elektronik, yang dalam konteks ini meliputi surat
kabar, majalah, jurnal, radio, televisi, dan websites akan memberikan image
yang baik terhadap pembaca, pendengar ataupun penonton. Image yang ditangkap
akan merubah pandangan awal masyarakat terhadap difabel bahwa mereka layaknya
manusia biasa yang bisa berprestasi dan berkarya luar biasa bahkan bisa
melebihi prestasi orang normal.
Seperti
halnya kejuaraan olah raga multievent bagi atlet difabel se-Asia Tenggara yang
diwadahi oleh Asean Para Games (APG) ke-enam yang diadakan pada bulan Desember
2011 di Solo. Event ini diberitakan di berbagai media massa baik media cetak
ataupun elektronik. Pemberitaan yang baik dengan dihiasi gambar-gambar menarik
yang mengggugah jiwa setiap orang yang melihatnya akan memberikan bekas di hati
bahwa semangat juang para difabel yang berkebutuhan khusus karena tubuh yang
tidak sempurna, namun masih mampu menunjukkan semangat juang pantang menyerah
melawan keterbatasan mereka, sehingga mereka mampu melakukan aktivitas
selayaknya orang normal.
Pemberdayaan
dunia maya juga sangat baik untuk dioptimalkan,supaya menjadi wadah tulisan
dari para pemerhati difabel. Beberapa kelompok terlihat sudah memanfaatkan
media ini, diantara organisasi tersebut:
-
Pertuni dengan alamat www.pertuni.idp-europe.org
-
Women Difabel dengan alamat www.difabelperempuan.blogspot.
-
PPCI dengan alamat www.inklusi.com.
-
HWPCI dengan alamat www.hawpcipusat.wordpress.com.
Dan masih banyak gerak para aktivis
peduli difabel yang telah mengerahkan upaya kampanye atau sosialisasi mengenai
segala hal yang berhubungan dengan difabel.
2.
Media Film
Film
merupakan salah satu alat komunikasi massa yang selalu merekam realitas yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan kemudian diproyeksikannya ke atas
layar. Kekuatan dan Kemampuan film yang unik memiliki potensi untuk
mempengaruhi masyarakat sehingga mampu menjangkau banyak segmen social. Oleh
karenanya, Konstruk budaya selama ini yang mengaggap difabel sebelah mata hanya
karena keterbatasan fisiknya mampu diubah dengan menyajikan film yang memuat
kisah inspiratif seorang difabel.
Pembuatan
film dengan tema difabel akan menambah pengetahuan penonton tentang kehidupan
mereka. Para difabel yang memiliki kekurangan fisik seperti tidak mempuyai
kaki, dan tangan seperti orang yang normal, tetapi ada kelebihan yang mereka miliki yang mungkin
orang normal biasa belum tentu bisa seperti mereka. Mereka memiliki jiwa yang
tidak pernah putus asa dan bisa menutupi kekurangan dengan kelebihan-kelebihan
mereka. Mereka memiliki motivasi yang sangat tinggi, Sehingga mampu membuat
penonton tersentuh akan perjuangan hidup mereka.
Sebenarnya,
film Indonesia dengan tema difabel sebelumnya sudah banyak buat. Akan tetapi
film ini hanya disajikan untuk wilayah lokal saja bahkan hanya untuk komunitas
difabel saja. Seperti halnya film yang diluncurkan oleh Pusat Kajian
Disabilitas Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Film
tersebut adalah film dokumenter dengan judul menembus batas yang dibuat
dengan tujuan mampu menggugah kepedulian masyarakat terhadap para
difabel.
Film menembus
batas terdiri dari tigabelas episode. Dimana setiap episodenya berdurasi 24
menit. Tema yang diangkat adalah perjuangan hidup para difabel di tengah
penolakan masyarakat. Antara lain kisah hidup Habibie Afsyah, penderita
Mascular Dhystrophy Progressiva yang menyebabkan tidak berfungsinya seluruh
bagian tubuh. Berkat dorongan ibunya, Habibie tidak patah semangat dan kini
sukses menjadi internet marketing. Ada juga kisah pasangan tunanetra Harry
Pattirajawane dan istrinya. Harry kini menjadi pengajar program studi
etnomusikologi di Fakultas Pertunjukan, Institut Kesenian Jakarta.[15]
Sayangnya,
film menembus batas tersebut tidak bisa diluncurkan di stasiun televisi
swasta, karena mereka menilai tidak akan
menaikkan rating. Film ini baru dapat direalisasikan setelah DAAI TV[16]
mengajukan diri membantu produksi. Menurut Irwanto[17],
film dokumenter ini dibuat dengan dana terbatas, karena sejumlah perusahaan
besar enggan memberikan donasi.
Banyak
film bertema difabel lain yang mungkin bernasib sama sehingga hanya bisa
ditayangkan di stasiun televisi lokal. Bayangkan jika film-film terebut mampu
menembus stasiun televisi swasta atau diputar di bioskop-bioskop Indonesia.
Tentunya akan mampu mempengaruhi pandangan negative masyarakat terhadap
difabel.
3.
Media Dakwah[18]
Media dakwah
disini dimaksudkan untuk mempropagandakan agenda kesetaraan terhadap difabel
ini kepada khalayak luas. Propaganda dimaksudkan sebagai usaha mempengaruhi atau
meyakinkan public agar bertindak sesuai dengan yang diharapkan. Dakwah yang
berlangsung di masyarakat sendiri banyak dilakukan oleh para da’i , juga oleh
para ulama’. Keduanya harus mampu melakukan gerakan dakwah yang terapeutis
(bersifat menyembuhkan). Sehingga tidak hanya terpaku pada wawasan keislaman
yang lebih luas (bersifat kognitif), atau memberikan hiburan untuk melupakan
persoalan dan meredakan tekanan psikologis, tetapi para da’I dan ulama harus
bisa mampu membimbing umat untuk memahami realitas.[19]
Khususnya para ulama yang menduduki posisi
penting dalam masyarakat Islam. Ia tidak hanya menjadi figure ilmuwan yang
menguasai keilmuwan agama, tetapi berperan sebagai penggerak, motivator, dan
dinamisator masyarakat kearah pengembangan dan pembangunan umat. Peran para
ulama sangat luas, tidak hanya terbatas pada aspek ibadah mahdlah, tetapi juga
meliputi berbagai bidang termasuk politik, ekonomi, social, budaya, pendidikan
dan sebagainya. Para ulama yang kebanyakan berposisi sebagai kiai dari lembaga
pendidikan pondok pesantren, kiranya sangat efektif melakukan dakwah minimal
dalam lingkup pengajian yang diperuntukkan masyarakat sekitar pondok pesantren.
Terutama juga bagi santri-santri sendiri dengan adanya pengajian rutin dari
kiai.
Selanjutnya,
peran dai dan ulama dalam sosialisasi melalui dakwah ini bisa ditekankan dalam
menyegarkan pemahaman masyarakat dan kaum difabel dalam memahami konsep agama
yang sering disalahpahami oleh masyarakat, diantaranya :
a.
Menjelaskan kepada masyarakat bahwa
ajaran Islam menganut egalitarianism atau kesetaraan terhadap manusia dihadapan
Alla>h swt.
b.
Meluruskan adanya kesalahpahaman
mengenai konsep takdir atau qad}a>’ dan qadar Alla>h swt
kepada manusia. Selama ini takdir dipahami menjadi sesuatu yang hanya “diterima
begitu saja”, dan berakibat pada kepasrahan total atas segala yang diberikan.
Sehingga menjadi tugas para dai dan ulama untuk merubah pikiran seperti itu.
c.
Mengembalikan masyarakat pada pemahaman
kolektif bahwa pada hakekatnya, manusia secara umum dan umat Islam secara
khusus adalah bersaudara.
d.
Memberi motivasi kepada para difabel
agar mereka mempunyai etos kerja yang tinggi, bekerja keras dan bersifat ikhlas
dalam menerima kenyataan hidup sebagai seorang difabel.
e.
Mengajak para stakeholders dan para
pengusaha muslim agar mau mendukung dan berempati dengan para difabel.
Usaha-usaha
ini akan berjalan efektif jika dilakukan dengan pendekatan-pendekatan kultural,
tanpa secara terang-terangan menyebutkan misi dari pemerintah. Rekomendasi
selanjutnya terkait dengan minimnya tingkat pemahaman para dai dan ulama
tersebut tentang kehidupan para difabel, sehingga perlu kiranya mengadakan
kegiatan workshop tentang difabilitas bagi mereka. [20]
4.
Dialog dan Seminar
Dialog
dan seminar ini sebenarnya masih
bersinggungan dengan dakwah yang dilakukan oleh para dai dan juga ulama. Tetapi
sasaran yang diharapkan dari kegiatan seperti ini bisa lebih luas, tidak hanya
terbatas pada kalangan umat Islam, tetapi juga non-Muslim, tidak hanya
masyarakat agamis tetapi juga masyarakat akademis maupun awam. Selama ini
kajian mengenai difabilitas sudah banyak diselenggarakan, baik oleh para
akademisi maupun organisasi atau aktivis peduli difabel di berbagai daerah.
Forum seperti ini dianggap lebih efektif, sebagai bentuk komunikasi dua arah,
sehingga masyarakat akan lebih memahami seluk beluk terkait kehidupan difabel.
C. Implementasi [21]
Implementasi
pada dasarnya merupakan tahap tidak lanjut yang berupa aksi dan tindakan yang
didasarkan pada adanya kebijakan peraturan dari pemerintah. Menurut hemat
penulis, beberapa aspek yang perlu di beri perhatian khusus dalam rangka
menerapkan berbagai kebijakan pemerintah tersebut yaitu:
1.
Pendidikan Inklusi[22]
Pendidikan
inklusi yang didasarkan pada Convention on the Rights of Person with
Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007, seharusnya
perlu dipotimalkan dan benar-benar direalisasikan. Tiga hal yang selama ini
menjadi kendala terkait fasilitas, kompetensi tenaga pengajar, begitu pula dana
yang disediakan bagi pemerintah. Ketetapan mengenai pendidikan inklusi di atas
mengharuskan, setidaknya ada minimal satu sekolah inklusi di tingkat kecamatan
atau kabupaten, mulai dari tingkat TK hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Untuk
memotivasi sekolah agar mampu memberikan fasilitas ini, tentunya perlu dukungan
penuh dari pemerintah, apalagi terkait dengan pendanaan.
Bahkan kalau
perlu di Indonesia sendiri sekiranya perlu membuka jurusan tertentu di beberapa
perguruan tinggi, yang khusus mengkaji persoalan difabel. Terutama untuk
mencetak tenaga pengajar yang sepenuhnya memahami seluk beluk terkait difabel. Sehingga
motivasi pemerintah bagi pengajar pendidikan inklusif seharusnya mendapat porsi
lebih. Misalnya, pemerintah secara berkala memberikan bantuan beasiswa kepada
lulusan SLTA untuk memasuki perguruan tinggi dengan konsentrasi pendidikan
inklusi atau mengenai difabilitas. Apresiasi berupa penghargaan bagi tenaga
pengajar yang berdedikasi penuh terhadap difabel juga menjadi salah
alternatifnya. Semua hal ini pada dasarnya bertujuan untuk merealisasikan
kebijakan pemerintah terkait pendidikan inklusi.
Hak-hak
pendidikan para difabel juga semestinya perlu untuk diperhatikan dan diberi
kesempatan seluas-luasnya sama dengan manusia yang lain. Selama ini beberapa
Universitas telah menerima para difabel sebagai mahasiswanya, tetapi masih
terbatas pada beberapa jurusan. Beberapa universitas di Yogyakarta yang telah
membuka pendidikan inklusi diantaranya Universitas Negeri Yogyakarta (UNY),
serta Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka). UNY telah membuka
prodi Pendidikan Luar Biasa, sedangkan UIN Suka telah membuka berbagai pelayanan-pelayanan bagi difabel,
semisal dibentuknya Pusat Studi dan Layanan Difabel (PSLD)[23].
meskipun belum sepenuhnya bisa menjamin terpenuhinya fasilitas sebagai penyelenggara pendidikan inklusi, setidaknya sudah ada usaha untuk mewujudkannya. Tinggal menunggu tahap selanjutnya, untuk terus berbenah menyiapkan berbagai fasilitas dan keperluan bagi terlaksananya pendidikan inklusi ini.
meskipun belum sepenuhnya bisa menjamin terpenuhinya fasilitas sebagai penyelenggara pendidikan inklusi, setidaknya sudah ada usaha untuk mewujudkannya. Tinggal menunggu tahap selanjutnya, untuk terus berbenah menyiapkan berbagai fasilitas dan keperluan bagi terlaksananya pendidikan inklusi ini.
2.
Pekerjaan
Bekerja
menjadi salah satu usaha dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi semua
manusia, terutama para difabel. Peraturan yang telah ditetapkan pada Pasal 14
UU difabel mengenai kapasitas yang diberikan perusahaan untuk mempekerjakan
sekurang-kurangnya 1 orang difabel untuk tiap 100 karyawan, harus benar-benar
di sosialisasikan kepada masyarakat, terutama difabel. Bisa saja kebijakan
tersebut dikeluarkan oleh pemerintah, tetapi suatu perusahaan tetap enggan
untuk mempekerjakan mereka, karena adanya pandangan bahwa seorang difabel
dianggap kurang produktif. Hal ini disebabkan oleh cara pandang yang menganggap
difabel berbeda dengan orang normal, sehingga mereka sebagai orang yang lemah
membutuhkan bantuan dari orang normal. Untuk menghindari kejadian ini,
setidaknya kampanye difabel memang tidak hanya terbatas dalam lingkungan
masyarakat, tetapi juga harus menembus lingkup wilayah perkantoran maupun
perusahaan.
Peraturan
yang ditetapkan CPNS yang terkesan membatasi gerak difabel, juga perlu untuk
direvisi ulang. Selama ini, terdapat beberapa persyaratan yang dimasukkan
terkait adanya terbatasinya gerak seseorang yang mengalami difabel (baik netra,
wicara, rungu, maupun daksa). memang egalitarianism di sini tidak bermaksud
menyetarakan semua difabel dalam semua aspek kehidupan, kita menyadari adanya
perbedaan kemampuan dengan manusia normal. Bukan berarti pasrah menerima
peraturan itu, melainkan beberapa bidang pekerjaan yang mungkin dan masih mampu
untuk dimasuki oleh difabel, jangan sekali-kali untuk dihalang-halangi.
Katakanlah seorang difabel daksa dengan satu kaki, dia masih punya kemapuan
untuk menjadi seorang guru bahasa Inggris ataupun matematika. Seorang difabel
rungu bolehlah menjadi pegawai pemerintahan, karena kita ketahui bahwa difabel
ini telah terbantukan dengan adanya alat bantu pendengaran. Sehingga, selagi
ada solusi dari kekurangan mereka, harus dicarikan solusinya terlebih dulu,
tidak harus langsung menolaknya secara mutlak.
3.
Aksesbilitas[24]
Penjelasan
Undang-undang[25]
terkait aksesbilitas bagi difabel harus segera direalisasikan dalam setipa
pembangunan infrastruktur bangunan umum. Upaya yang dilakukan harus juga
memperhatikan kebutuhan difabel sesuai dengan jenis dan derajat
difabilitas serta standar yang ditentukan. Pemenuhan terhadap fasilitas umum
ini, secara tidak langsung juga akan mempermudah mereka untuk mendapatkan
kesempatan berkiprah dalam masyarakat umum, terutama dalam aspek pekerjaan dan
pendidikan. Selama ini kekurangan fasilitas menjadi factor utama untuk
membatasi gerak difabel.
4.
Penyegaran pemahaman masyarakat serta
dorongan motivasi bagi para difabel.
Sebagaimana
yang telah dipaparkan di atas, peran sosialisasi perlu terus digalakkan melalui
berbagai media massa, baik media cetak, elektronik, dan dunia maya. Antara para
aktivis peduli difabel dengan pemerintah saling bahu membahu menghilangkan
perspektif negative yang muncul dalam masyrakat terkait kehidupan difabel.
Evalusi terhadap kurang terimplementasikannya kebijakan yang dibuat pemerintah,
seharusnya menjadi agenda penting yang tidak hanya menjadi agenda pemerintah,
tetapi masyarakat dan segenap pihak yang ingin menyuarakan egalitarianism
terhadap difabel harus dengan telaten menyurakan hal ini ke public. Kealpaan di
pihak pemerintah, perlu untuk disadarkan kembali, begitu juga semangat bagi
difabel perlu kiranya dipupuk kembali. dalam artian, semangat difabel untuk
mendapatkan hak-haknya.
[2] Pendidikan Inklusif adalah system
layangan pendidikan yang menampung semua murid di kelas yang sama Sekolah ini
menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan
kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukugan yang dapat
diberikan oleh para guru,agar anak-anak berhasil (Stainback,1980 ).dikutip
dalam www.batam.org diakses pada 7 Januari 2012
[3] Pendidkan Inklusi terhadap Anak Berkebutuhan Khusus, dalam
www.samnj.sch.id, diakses pada 7 Januari 2012
[4] Dikutip dalam www.unikom.ac.id diakses pada 6 Januari 2012
[6] Kaum Defabel Kaum
Yang Terpinggirkan, dalam www.kompasiana.com,
diakses pada 7 Januari 2012.
[7] Fasilitas Untuk
Kaum Difabel di Hongkong, dalam www.sosbud.kompasiana.com, diakses
pada 8 Januari 2012
[8] Fasilitas Untuk Kaum Difabel di Hongkong ,
dalam www.sosbud.kompasiana.com,...
[9] Fasilitas Untuk
Kaum Difabel di Hongkong , dalam www.sosbud.kompasiana.com,...
[10] Fasilitas Untuk Kaum Difabel di Hongkong ,
dalam www.sosbud.kompasiana.com,...
[11] Fasilitas Untuk Kaum
Difabel di Hongkong , dalam www.sosbud.kompasiana.com,...
[12] Fasilitas Untuk Kaum Difabel di Hongkong ,
dalam www.sosbud.kompasiana.com,...
[13] Beberapa definisi yang terkait dengan
sosialisasi antara lain: menurut Robert
M.Z Lawang, sosialisasi adalah proses mempelajari nilai, norma, peran, dan
persyaratan lainnya yang diperlukan untuk memungkinkan seseorang dapat
berpartisipasi secara efektif dalam kehidupan social. setidaknya ada dua fungsi
sosialisasi ini, yaitu bagi individu: agar dapat hidup secara wajar dalam
kelompok/ masyarakatnya, sehingga tidak aneh dan diterima oleh warga masyarakat
lain serta dapat berpartisipasi aktif
sebagai anggota masyarakat,dan bagi
masyarakat untuk menciptakan keteraturan
sosial melalui pemungsian sosialisasi sebagai sarana pewarisan nilai dan norma
serta pengendalian sosial.
[14] Rivers, William L, Jay W. Jensen,
Theodore Peterson, Media Massa dan Masyarakat Modern, Edisi Kedua, (Jakarta:
Kencana, 2003),hlm. ix
[15] Kisah Para Penembus Batas,dalam www.vhrmedia.com, diakses tanggal 10 Januari
2012.
[16] DAAI TV
Indonesia merupakan stasiun televisi
local yang didirikan pada Oktober tahun 2006.
[17] kepala Pusat Kajian Disabilitas Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI)
[18] Dakwah secara bahasa
artinya mengajak. Adapun menurut istilah adalah mengajak manusia untuk berbuat
kebaikan dan mencegah kemungkaran. Secara luas, dakwah dimaknai sebagai upaya
mengubah suatu keadaan menjadi keadaan yang lain yang lebih baik. Dakwah sendiri
sudah muncul sejak munculnya Islam pertama kali, karena Nabi saw mendapatkan
wahyu bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk disampaikan kepada umatnya.
Dikutip dalam Bachrul Ilmy, Pendidikan Agama Islami (Bandung: Grafindo
Media Pratama, 2008), hlm. 133.
[19] Dikutip dalam Teknologi Sebuah Media Dakwah Global dalam www. yana.staf.upi.edu, diakses tanggal
18 Januari 2012.
[20] Rohidin, Peran Ulama dalam Sosialisasi Kebijakan
Integrasi Sosial Kaum Difabel ke dalam Mainstream Masyarakat, hlm.
152-153.
[21] Secara etimologi berarti keterlibatan atau keadaan
terlibat, lihat di www.artikata.com
diakses tanggal 18 Januari 2012. Lebih lanjut kata implementasi bermuara pada
aktivitas, adanya aksi, tindakan, atau mekanisme suatu system atau implementasi adalah
proses untuk memastikan terlaksananya suatu kebijakan dan tercapainya kebijakan
tersebut.
[22] Sejak tahun 2001,
pemerintah mulai uji coba perintisan sekolah inklusi seperti di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta dengan 12 sekolah didaerah Gunung Kidul dan di Provinsi
daerah Khusus Ibukota Jogyakarta dengan 35 sekolah. Pada sekolah sekolah reguler
yang dijadikan perintis itu memang diuntukkan anak-anak lambat belajar dan
anak-anak sulit belajar sehingga perlu mendapat pelayanan khusus. Karena masih
dalam tahap rintisan sampai sekarang belum ada informasi yang berarti dari
sekolah-sekolah tersebut.
[23] PSLD merupakan pusat belajar
dan juga layanan bagi difabel dalam mengatasi segala bentuk diskriminasi di
lingkungan kampus, terutama dalam bidang aksesibilitas. PSLD menyediakan
berbagai sarana adaptif bagi difabel seperti komputer bicara, scanner,
pembuatan elektronik book (ebook), pengadaan reading service, dan sebagainya.
Namun sangat disayangkan, fasilitas-fasilitas yang selama ini telah disediakan
hanya mengacu pada kebutuhan tunanetra saja. Hal ini disebabkan oleh tidak
adanya jenis difabel lain seperti tunarungu, tunadaksa, dan sebagainya. Dikutip dari Hendro,
UIN Sebagai Universitas Inklusi, dalam www.hendro-sw.blogspot.diakses
tanggal 18 Januari 2012.
[24] Aksesibilitas adalah
kemudahan yang diberikan kepada para difabel, berupa pengadaan atau modifikasi
sarana dan prasarana kehidupan sehari-hari, termasuk lingkungan fisik, yang
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan penyandang ketunaan, agar mereka dapat
melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.
[25] UU No. 4 Tahun 1997,
Keputusan Menteri (Kepmen) Pekerjaan Umum (PU) Nomor 468 Tahun 1998 tentang
Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan, serta Kepmen Perhubungan Nomor 71 Tahun 1999
tentang Aksesibilitas difabel dan Orang Sakit pada Sarana dan Prasarana
Perhubungan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar