Sabtu, 26 Oktober 2013

UPAYA PRAKSIS PEMBEBASAN DIFABEL DARI DISKRIMINASI

BAB IV
UPAYA PRAKSIS PEMBEBASAN DIFABEL
DARI DISKRIMINASI
Realitanya, semangat pembebasan terhadap para difabel telah didengungkan dan dimiliki oleh beberapa kelompok, baik pemerintah, organisasi social, komunitas-komunitas atau aktivis peduli difabel. Pemerintah bertindak dalam mengelurakan kebijakan-kebijakannya yang ramah akan kepentingan difabel, begitu juga telah berdiri beberapa organisasi social seperti Pertuni (Persatuan Tuna Netra Indonesia), PPCI (Persatuan Penyandang Cacat Indonesia), CIQAL (Center for Improving Qualified Activity in Live of People with Disabilities), ITMI (Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia),Women Difabel, HWPCI (Himpunan Wanita Penyandang Cacat), KPJDA (Komisi Pembentukan Jaringan Difabel Aceh), bahkan organisasi setingkat PBB pun juga berperan dan telah bergerak mengatasi persoalan ini. Uraian di bawah ini lebih lanjut membahas upaya-upaya praksis yang yang bertujuan untuk membebaskan para difabel dari tindak diskriminasi. Upaya yang dilakukan meliputi upaya advokasi, sosialisasi, dan implementasi, antara lain:
A.    Advokasi
Advokasi adalah aksi yang strategis dan terpadu, oleh perorangan atau kelompok masyarakat untuk memasukkan suatu masalah ke dalam agenda kebijakan, dan mengontrol para pengambil keputusan untuk mengupayakan solusi bagi masalah tersebut sekaligus membangun basis dukungan bagi penegakan dan penerapan kebijakan publik yang di buat untuk mengatasi masalah tersebut. (Manual Advokasi Kebijakan Strategis, IDEA, Juli 2003)[1]
Dari definisi di atas dapat  kita simpulkan bahwa advokasi adalah sebuah gerakan yang berusaha membela hak dan kepentingan suatu kelompok melalui kebijakan-kebijakan pemerintah yang berwenang.
 
A.    Advokasi difabel
Sebelum melakukan advokasi, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa saja kebijakan yang telah pemerintah lakukan terhadap difabel. Berikut beberapa upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah terhadap difabel di berbagai bidang di antaranya yaitu:
1.      Hak pendidikan
Dalam membela dan menjamin hak pendidikan bagi difabel, berbagai kebijakan telah dilakukan oleh pemerintah, di antaranya membuat undang-undang tentang hak pendidikan bagi difabel yaitu undang-undang no. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia yang berbunyi bahwa “setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara.” Undang-undang ini menyatakan sacara jelas tentang hak-hak difabel, termasuk hak pendidikan. 
Selanjutnya undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mewajibkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Dengan demikian, difabel juga termasuk dalam undang-undang ini. Untuk mewujudkan hak tersebut, pemerintah juga membuatkan sekolah khusus bagi difabel. Maka dibuatlah Keputusan Mendikbud No. 0491/U19992 tentang Pendidikan Luar Biasa, dari tingkat Taman Kanak-Kanak sampai tingkat Menengah.
Pada tahap selanjutnya, Sekolah Luar Biasa ini justru menjadi pemisah  antara anak difabel dengan  anak normal. Dengan mengkhususkan mereka pada satu tempat membuat mereka merasa berbeda dengan yang lainnya dan mereka tidak bisa mengenal dunia luar serta merasakan hidup normal. Anak normal pun tidak akan bisa memahami para difabel tanpa mengenal kehidupan mereka. Sehingga di antara mereka susah untuk  berinteraksi dengan baik.
Oleh karena itu, kemudian muncul konsep pendidikan inklusi[2]. Salah satu kesepakatan Internasional yang mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi adalah Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007. Pada pasal 24 dalam Konvensi ini disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan inklusi di setiap tingkatan pendidikan. Adapun salah satu tujuannya adalah untuk mendorong terwujudnya partisipasi penuh difabel dalam kehidupan masyarakat.[3]
Di Indonesia, konsep pendidikan seperti ini juga telah dilaksanakan oleh pemerintah, namun dengan sebutan pendidikan terpadu seperti yang termuat pada Surat Keputusan (SK) Mendikbud Nomor: 002/U/1986 Pasal 1 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan terpadu ialah model penyelenggaraan program pendidikan bagi anak difabel yang diselenggarakan bersama-sama anak normal di lembaga pendidikan umum dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga pendidikan yang bersangkutan. Sekolah ini meliputi Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tiangkat Pertama(SLTP), Sekolah Menengah Umum (SMU), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).[4]
Berbagai kebijakan tersebut telah dilakukan oleh pemerintah. Namun, pada kenyataannya masih banyak difabel yang belum merasakannya. Sebagai contoh, berdasarkan data yang dihimpun dari Forum Sukarelawan Pendidikan Luar Biasa Jawa Barat pada 2010 terungkap dari 120 ribu penyandang cacat di Jabar, terdapat 51 ribu penyandang cacat usia sekolah. Namun dari 51 ribu, hanya 13 ribu orang yang mengenyam pendidikan. Minimnya jumlah sekolah inklusi  menjadi kendala[5]. Padahal berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Naional RI nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusi  menyebutkan bahwa pemerintah daerah Kabupaten /Kota wajib menunjuk minimal satu sekolah per level pendidikan yang harus menyelenggarakan pendidikan inklusi di setiap kecamatan. Dengan demikian, seharusnya tidak ada permasalahan lagi bagi anak difabel untuk bisa bersekolah.
Kurangnya fasilitas sekolah untuk difabel juga menghambat jalannya sekolah inklusi ini. seperti kurang tenaga pengajar yang ahli dalam menangani para difabel. Padahal pemerintah melalui PP.No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 41(1) telah mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi dengan menyatakan bahwa setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusi harus memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus.
Namun, sampai saat ini, pendidikan inklusi hanya sampai jenjang sekolah Menengah Atas saja, belum ada kebijakan pemerintah untuk menyelenggarakan perguruan tinggi inklusi. Padahal, hak pendidikan itu tidak terbatas pada jenjang tertentu saja. Oleh karena itu,  PR bagi pemerintah selanjutnya adalah membuat kebijakan tersebut di seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Tidak hanya membuat kebijakan, tetapi juga memberikan dana yang lebih untuk penyediaan fasilitas.  Sebab, banyak difabel yang tidak bisa diterima oleh perguruan tinggi karena keterbatasan fasilitas.
Terhambatnya  perkembangan sekolah dan perguruan tinggi inklusi juag disebabkan karena keterbatasan tenaga pengajar yang ahli dalam menghadapi difabel. Untuk itu, pemerintah bisa membuat peraturan pada setiap jurusan pendidikan di semua perguruan tinggi untuk memasukkan mata kuliah yang khusus mempelajari bagaimana cara menghadapi dan mengajar difabel, atau mengadakan pelatihan gratis untuk para guru terkait pengajaran difabel, minimal diadakan di setiap kecamatan, dan memberikan penghargaan yang khusus terhadap  guru difabel yang sudah terseleksi. Contohnya dengan memberikan honor yang lebih dari guru biasa. Selain itu, pemerintah juga harus memberikan apresiasi terhadap sekolah-sekolah inklusi dengan memberikan dana bantuan untuk lebih melengkapi sagala fasilitas yang diperlukan oleh difabel.
2.      Hak Pekerjaan
Difabel, sebagaimana manusia biasanya, mereka juga memiliki kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, mereka juga butuh pekerjaan agar tidak hanya bergantung kepada orang lain. Karena sejatinya, mereka juga dapat melakukan sesuatu yang menghasilkan uang. Oleh karena itu, pemerintah dan DPR sudah menerbitkan UU tentang difabel No. 4 Tahun 1997. Khusus mengenai aksebilitas kerja, UU ini bahkan menentukan bahwa perusahaan negara dan swasta memberi kesempatan kepada difabel untuk bekerja. Hal ini juga tertuang dalam Pasal 14 UU difabel bahwa sebuah perusahaan harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 orang difabel untuk tiap 100 karyawan.
Namun, sangat disayangkan,undang-undang tersebut tidak terealisasikan dengan baik. Misalnya, salah satu persyaratan CPNS harus sehat jasmani dan rohani berdasarkan keterangan dokter Rumah Sakit Pemerintah atau Swasta. Tidak hanya CPNS, banyak perusahaan juga mencantumkan persyaratan tersebut dalam perekrutan mereka. Persyaratan ini jelas mendiskriminasikan para difabel. Hal yang menghebohkan terjadi, ketika Abdurrahman Wahid, yang notabene seorang difabel maju dalam pemilihan presiden tahun 1999. Ia berhasil melenggang ke kursi kepresidenan, meskipun sempat terganjal oleh peraturan.
Untuk itu, pemerintah seharusnya mengontrol secara langsung atas pelaksanaan undang-undang tersebut agar tidak hanya berhenti pada selembar kertas saja, tetapi terwujud pada kehidupan nyata. Selain itu, pemerintah juga harus memberikan sangsi yang tegas terhadap pelanggaran undang-undang tersebut.
3.      Fasilitas Bangunan Publik
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang difabel yang dilanjutkan dengan Keputusan Menteri (Kepmen) Pekerjaan Umum (PU) Nomor 468 Tahun 1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan serta Kepmen Perhubungan Nomor 71 Tahun 1999 tentang Aksesibilitas difabel dan Orang Sakit pada Sarana dan Prasarana Perhubungan. Dalam Kepmen PU dan Kepmen Perhubungan disebutkan secara rinci bagaimana supaya bangunan, seperti pedestrian, jembatan penyeberangan, telepon umum, dan sektor transportasi, dapat diakses secara aman oleh para difabel.
Namun, undang-undang tersebut lagi-lagi tidak terlihat realisasinya bahkan nyaris tidak ada. Ditempat-tempat umum, seperti mall, hotel, tempat rekreasi, bahkan jalanan umum banyak yang tidak menyediakan fasilitas khusus bagi para difabel, seperti jalanan raya, tidak banyak yang menyediakan trotoar. Sehingga menyusahkan para difabel untuk berjalan di jalan raya. Fasilitas toilet umum demikian juga, banyak pengusaha mall atau hotel bahkan rumah sakit tidak memperhatikan kebutuhan khusus para penyandang difabel. Sehingga seringkali difabel harus digotong-gotong ke toilet hanya karena ukuran toilet yang terlalu sempit, sehingga akses roda tidak mungkin dilakukan. Padahal kalau toilet dibuat khusus seperti di luar negeri, mereka bisa sendiri melakukannya. Demikian juga fasilitas tempat parkir, di Jakarta sebagai kota metropolitan hanya sedikit mall yang menyediakan tempat parkir khusus bagi difabel yang ditandai dengan lambang kursi roda. Untuk parkir mereka masih harus bersusah payah berebut dengan orang-orang berfisik normal.[6] Oleh karena itu, pemerintah lebih harus lebih mempertegas lagi undang-undang tersebut.
Sedangkan dalam hak transpontasi, kini difabel telah bisa mendapatkan Surat Ijin Mengemudi (SIM). Di wilayah Surabaya, contohnya, para difabel telah bisa memiliki SIM yang disebut dengan SIM D. proses pembuatannya pun sama seperti pembuatan SIM C pada umumnya. Yang berbeda hanyalah difabel mesti menyiapkan surat keterangan dokter yang menyatakan tidak buta, tidak tuli dan syarafnya masih normal. Mereka yang terkena stroke yang sebagian syarafnya tidak berfungsi tidak diperbolehkan membikin SIM D. Syarat lainnya adalah menggunakan motor yang sudah dimodifikasi jadi roda tiga.  Persyaratan ini tentunya juga untuk keamanan difabel sendiri. Maka, seluruh wilayah di Indonesia hendaknya juga melakukan kebijakan seperti ini, tidak hanya di Surabaya saja.
Dari beberapa kebijakan di atas menunjukkan betapa pemerintah juga sudah memberikan perhatian yang penuh terhadap difabel, tinggal pelaksanaannya yang masih perlu ditingkatkan. Indonesia masih harus mencontoh negera-negera lain yang lebih peduli terhadap difabel. Salah satunya Hong Kong, Pemerintah menjamin pendidikan anak-anak difabel dengan memberi tunjangan dan rekomendasi tempat belajar dan sekolah yang sesuai dengan kebutuhan difabel. tidak hanya untuk anak-anak, tetapi juga orang dewasa yang mempunyai cacat berat. Mereka dapat mengajukan permohonan baik secara online maupun lewat surat kepada instansi terkait. Tunjangan diserahkan tiap bulan setelah permohonan disetujui pemerintah.[7]
Fasilitas umum yang mereka sediakan juga sangat ramah terhadap setiap jenis difabel. Seperti pembuatan uang yang dilengkapi dengan huruf Braille, setiap bus disediakan tempat khusus untuk pengguna kursi roda di deck bawah dekat pintu keluar. Ketika masuk ke dalam bus, penumpang yang membutuhkan layanan khusus dapat meminta sopir untuk merendahkan lantai pintu masuk bus sehingga sejajar dengan lantai trotoar halte untuk memudahkan mobilisasi penumpang. Jika penumpang tersebut bepergian sendirian, supir harus membantu sampai penumpang masuk serta memastikan kursi roda terpancang pada sandaran khusus dengan benar. Demikian pula ketika penumpang khusus tersebut turun dari bus, supir biasanya akan dengan senang hati membantu.[8]
Untuk pengguna layanan jasa kereta api bawah tanah atau MTR (Mass Transit Railway), setiap stasiun menyediakan lift bagi kaum difabel dan atau penumpang yang membawa barang seperti koper dsb yang tidak memungkinkan mereka turun ke platform menaiki eskalator. Pada setiap lift ada panduan suara otomatis untuk memudahkan penumpang yang  difabel netra untuk menggunakan lift. Tombol-tombol dalam lift pun dilengkapi dengan huruf Braille.[9] Meskipun di Indonesia tidak ada MTR, tetapi semangat kepedulian mereka yang perlu diteladani.
Selain itu, mereka juga menyediakan toilet khusus yang luas untuk para difabel serta menyediakan tombol emergenci bila mereka membutuhkan bantuan. Fasilitas itu disediakan gratis baik di toilet umum yang dikelola pemerintah ataupun yang berada di pusat-pusat perbelanjaan serta daerah tujuan wisata. Bahkan pemerintah juga menyediakan kamar mandi khusus di pusat olahraga milik pemerintah yang dikelola Leisure Department.[10]
Pemerintah Hong Kong juga memberi kesempatan para difabel untuk berkarya nyata secara mandiri dengan magang kerja di tempat-tempat yang bekerja sama dengan pemerintah, seperti restoran, café, tempat pijat, salon dan spa. Bahkan, tempat yang menerima peserta magang mendapat subsidi dari pemerintah sebesar hampir 2/3 jumlah gaji yang diterima peserta magang. Tak hanya tempat magang yang mendapat subsidi, karyawan yang mau menjadi mentor pemagang juga akan diberi hadiah sebesar HKD 500 bila berhasil mendampingi peserta didiknya.[11]
Di luar program itu, pemerintah juga membuat UU yang melindungi kaum pekerja difabel dari diskriminasi. Employer tidak diperbolehkan memecat pekerja dengan alasan kecacatannya. Bila pemecatan terjadi, pekerja bersangkutan dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan dan pemerintah akan memberi fasilitas legal aid untuk mendampingi pekerja tersebut sampai proses perkara selesai.[12]
Di Indonesia, meskipun pemerintah telah membuat banyak undang-undang yang peduli difabel, namun pada aplikasinya masih belum terwujud secara nyata. Oleh karena itu,  pemerintah harus memperbaiki kembali undang-undang tersebut dan lebih bersikap lebih tegas lagi dengan memberikan sangsi yang nyata terhadap pelanggarnya. Indonesia juga perlu melakukan kebijakan baru tentang hal-hal yang belum tersentuh terkait dafabel, seperti jaminan kesehatan dan keamanan, dll.
Yang perlu diperhatikan juga adalah memberikan hak yang sama kepada setiap difabel juga, tidak ada pembedaan antara yang difabel netra dan rungu atau yang lainnya. Semua diberikan hak pendidikan yang sesuai dengan kondisinya, setiap fasilitas juga tidak dipermudah hanya untuk kalangan difabel tertentu saja, tetapi kepada seluruh jenis difabel. Tidak harus sama, karena masing-masing memiliki kondisi dan cara yang berbeda-beda. 
B. SOSIALISASI[13]
Sebagaimana yang kita lihat di sekitar kita, banyak para difabel dengan keterbatasan fisiknya mempunyai prestasi yang cukup membanggakan, bahkan bisa menembus kancah internasional. Sehingga mereka bisa berpartisipasi mengharumkan nama Indonesia di berbagai bidangnya.  Akan tetapi, apresiasi yang diberikan oleh Pemerintah maupun masyarakat sampai saat ini dirasa sangatlah kurang. Keadaan seperti ini terjadi karena kurangnya informasi terkait kehidupan difabel. Berbeda halnya jika kehidupan penuh semangat dari para difabel tersebut secara intens dikabarkan dalam berbagai Media. Oleh karenanya, peran sosialisasi atau publikasi sangatlah membantu meretas dikriminasi difabel. Sosialisasi bisa dilakukan baik di wilayah lokal, daerah, nasional maupun  internasional. Disini, penulis akan mengkategorikan aspek-aspek apa saja yang bisa gunakan untuk memperkenalkan dunia difabel kepada masyarakat. Yang dapat membantu menghilangkan diskriminasi terhadap mereka.
1.      Media Massa
Selain sebagai cermin mayarakat, Media Massa bisa dijadikan sebagai sarana yang paling efektif untuk memperkenalkan dunia difabel kepada masyarakat.  William L. Rivers dan kawan-skawannya mengatakan bahwa pada dasarnya, keberadaan media massa ternyata dapat mempengaruhi kondisi nyata dunia. Dengan kata lain, Media massa mempunyai peranan dan kekuatan yang begitu besar terhadap dunia ini, terlebih dalam segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia dengan segala aspek yang melingkupinya.[14] Kehidupan difabel yang penuh dengan semangat dan prestasi bisa diberitakan di media massa baik cetak maupun elektronik, yang dalam konteks ini meliputi surat kabar, majalah, jurnal, radio, televisi, dan websites akan memberikan image yang baik terhadap pembaca, pendengar ataupun penonton. Image yang ditangkap akan merubah pandangan awal masyarakat terhadap difabel bahwa mereka layaknya manusia biasa yang bisa berprestasi dan berkarya luar biasa bahkan bisa melebihi prestasi orang normal.
Seperti halnya kejuaraan olah raga multievent bagi atlet difabel se-Asia Tenggara yang diwadahi oleh Asean Para Games (APG) ke-enam yang diadakan pada bulan Desember 2011 di Solo. Event ini diberitakan di berbagai media massa baik media cetak ataupun elektronik. Pemberitaan yang baik dengan dihiasi gambar-gambar menarik yang mengggugah jiwa setiap orang yang melihatnya akan memberikan bekas di hati bahwa semangat juang para difabel yang berkebutuhan khusus karena tubuh yang tidak sempurna, namun masih mampu menunjukkan semangat juang pantang menyerah melawan keterbatasan mereka, sehingga mereka mampu melakukan aktivitas selayaknya orang normal.
Pemberdayaan dunia maya juga sangat baik untuk dioptimalkan,supaya menjadi wadah tulisan dari para pemerhati difabel. Beberapa kelompok terlihat sudah memanfaatkan media ini, diantara organisasi tersebut:
-          Pertuni dengan alamat www.pertuni.idp-europe.org
-          Women Difabel dengan alamat www.difabelperempuan.blogspot.
-          PPCI dengan alamat www.inklusi.com.
-          HWPCI dengan alamat www.hawpcipusat.wordpress.com.
-          KPJDA dengan alamat www.forumdifable.blogspot.
-          Persatuan Orang Tua Penyandang Cacat Indonesia dengan alamat www.portupencanak.tripod.com
Dan masih banyak gerak para aktivis peduli difabel yang telah mengerahkan upaya kampanye atau sosialisasi mengenai segala hal yang berhubungan dengan difabel.
2.      Media Film
Film merupakan salah satu alat komunikasi massa yang selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan kemudian diproyeksikannya ke atas layar. Kekuatan dan Kemampuan film yang unik memiliki potensi untuk mempengaruhi masyarakat sehingga mampu menjangkau banyak segmen social. Oleh karenanya, Konstruk budaya selama ini yang mengaggap difabel sebelah mata hanya karena keterbatasan fisiknya mampu diubah dengan menyajikan film yang memuat kisah inspiratif seorang difabel. 
Pembuatan film dengan tema difabel akan menambah pengetahuan penonton tentang kehidupan mereka. Para difabel yang memiliki kekurangan fisik seperti tidak mempuyai kaki, dan tangan seperti orang yang normal, tetapi  ada kelebihan yang mereka miliki yang mungkin orang normal biasa belum tentu bisa seperti mereka. Mereka memiliki jiwa yang tidak pernah putus asa dan bisa menutupi kekurangan dengan kelebihan-kelebihan mereka. Mereka memiliki motivasi yang sangat tinggi, Sehingga mampu membuat penonton tersentuh akan perjuangan hidup mereka.
Sebenarnya, film Indonesia dengan tema difabel sebelumnya sudah banyak buat. Akan tetapi film ini hanya disajikan untuk wilayah lokal saja bahkan hanya untuk komunitas difabel saja. Seperti halnya film yang diluncurkan oleh Pusat Kajian Disabilitas Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Film tersebut adalah film dokumenter dengan judul menembus batas yang dibuat dengan tujuan mampu menggugah kepedulian masyarakat terhadap para difabel.
Film menembus batas terdiri dari tigabelas episode. Dimana setiap episodenya berdurasi 24 menit. Tema yang diangkat adalah perjuangan hidup para difabel di tengah penolakan masyarakat. Antara lain kisah hidup Habibie Afsyah, penderita Mascular Dhystrophy Progressiva yang menyebabkan tidak berfungsinya seluruh bagian tubuh. Berkat dorongan ibunya, Habibie tidak patah semangat dan kini sukses menjadi internet marketing. Ada juga kisah pasangan tunanetra Harry Pattirajawane dan istrinya. Harry kini menjadi pengajar program studi etnomusikologi di Fakultas Pertunjukan, Institut Kesenian Jakarta.[15]
Sayangnya, film menembus batas tersebut tidak bisa diluncurkan di stasiun televisi swasta,  karena mereka menilai tidak akan menaikkan rating. Film ini baru dapat direalisasikan setelah DAAI TV[16] mengajukan diri membantu produksi. Menurut Irwanto[17], film dokumenter ini dibuat dengan dana terbatas, karena sejumlah perusahaan besar enggan memberikan donasi.
            Banyak film bertema difabel lain yang mungkin bernasib sama sehingga hanya bisa ditayangkan di stasiun televisi lokal. Bayangkan jika film-film terebut mampu menembus stasiun televisi swasta atau diputar di bioskop-bioskop Indonesia. Tentunya akan mampu mempengaruhi pandangan negative masyarakat terhadap difabel.
3.      Media Dakwah[18]
Media dakwah disini dimaksudkan untuk mempropagandakan agenda kesetaraan terhadap difabel ini kepada khalayak luas. Propaganda  dimaksudkan sebagai usaha mempengaruhi atau meyakinkan public agar bertindak sesuai dengan yang diharapkan. Dakwah yang berlangsung di masyarakat sendiri banyak dilakukan oleh para da’i , juga oleh para ulama’. Keduanya harus mampu melakukan gerakan dakwah yang terapeutis (bersifat menyembuhkan). Sehingga tidak hanya terpaku pada wawasan keislaman yang lebih luas (bersifat kognitif), atau memberikan hiburan untuk melupakan persoalan dan meredakan tekanan psikologis, tetapi para da’I dan ulama harus bisa mampu membimbing umat untuk memahami realitas.[19]
 Khususnya para ulama yang menduduki posisi penting dalam masyarakat Islam. Ia tidak hanya menjadi figure ilmuwan yang menguasai keilmuwan agama, tetapi berperan sebagai penggerak, motivator, dan dinamisator masyarakat kearah pengembangan dan pembangunan umat. Peran para ulama sangat luas, tidak hanya terbatas pada aspek ibadah mahdlah, tetapi juga meliputi berbagai bidang termasuk politik, ekonomi, social, budaya, pendidikan dan sebagainya. Para ulama yang kebanyakan berposisi sebagai kiai dari lembaga pendidikan pondok pesantren, kiranya sangat efektif melakukan dakwah minimal dalam lingkup pengajian yang diperuntukkan masyarakat sekitar pondok pesantren. Terutama juga bagi santri-santri sendiri dengan adanya pengajian rutin dari kiai.
            Selanjutnya, peran dai dan ulama dalam sosialisasi melalui dakwah ini bisa ditekankan dalam menyegarkan pemahaman masyarakat dan kaum difabel dalam memahami konsep agama yang sering disalahpahami oleh masyarakat, diantaranya :
a.       Menjelaskan kepada masyarakat bahwa ajaran Islam menganut egalitarianism atau kesetaraan terhadap manusia dihadapan Alla>h swt.
b.      Meluruskan adanya kesalahpahaman mengenai konsep takdir atau qad}a>’ dan qadar Alla>h swt kepada manusia. Selama ini takdir dipahami menjadi sesuatu yang hanya “diterima begitu saja”, dan berakibat pada kepasrahan total atas segala yang diberikan. Sehingga menjadi tugas para dai dan ulama untuk merubah pikiran seperti itu.
c.       Mengembalikan masyarakat pada pemahaman kolektif bahwa pada hakekatnya, manusia secara umum dan umat Islam secara khusus adalah bersaudara.
d.      Memberi motivasi kepada para difabel agar mereka mempunyai etos kerja yang tinggi, bekerja keras dan bersifat ikhlas dalam menerima kenyataan hidup sebagai seorang difabel.
e.       Mengajak para stakeholders dan para pengusaha muslim agar mau mendukung dan berempati dengan para difabel.
Usaha-usaha ini akan berjalan efektif jika dilakukan dengan pendekatan-pendekatan kultural, tanpa secara terang-terangan menyebutkan misi dari pemerintah. Rekomendasi selanjutnya terkait dengan minimnya tingkat pemahaman para dai dan ulama tersebut tentang kehidupan para difabel, sehingga perlu kiranya mengadakan kegiatan workshop tentang difabilitas bagi mereka. [20]
4.      Dialog dan Seminar
Dialog dan  seminar ini sebenarnya masih bersinggungan dengan dakwah yang dilakukan oleh para dai dan juga ulama. Tetapi sasaran yang diharapkan dari kegiatan seperti ini bisa lebih luas, tidak hanya terbatas pada kalangan umat Islam, tetapi juga non-Muslim, tidak hanya masyarakat agamis tetapi juga masyarakat akademis maupun awam. Selama ini kajian mengenai difabilitas sudah banyak diselenggarakan, baik oleh para akademisi maupun organisasi atau aktivis peduli difabel di berbagai daerah. Forum seperti ini dianggap lebih efektif, sebagai bentuk komunikasi dua arah, sehingga masyarakat akan lebih memahami seluk beluk terkait kehidupan difabel.
C.  Implementasi [21]
Implementasi pada dasarnya merupakan tahap tidak lanjut yang berupa aksi dan tindakan yang didasarkan pada adanya kebijakan peraturan dari pemerintah. Menurut hemat penulis, beberapa aspek yang perlu di beri perhatian khusus dalam rangka menerapkan berbagai kebijakan pemerintah tersebut yaitu:
1.      Pendidikan Inklusi[22]
Pendidikan inklusi yang didasarkan pada Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007, seharusnya perlu dipotimalkan dan benar-benar direalisasikan. Tiga hal yang selama ini menjadi kendala terkait fasilitas, kompetensi tenaga pengajar, begitu pula dana yang disediakan bagi pemerintah. Ketetapan mengenai pendidikan inklusi di atas mengharuskan, setidaknya ada minimal satu sekolah inklusi di tingkat kecamatan atau kabupaten, mulai dari tingkat TK hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Untuk memotivasi sekolah agar mampu memberikan fasilitas ini, tentunya perlu dukungan penuh dari pemerintah, apalagi terkait dengan pendanaan.
Bahkan kalau perlu di Indonesia sendiri sekiranya perlu membuka jurusan tertentu di beberapa perguruan tinggi, yang khusus mengkaji persoalan difabel. Terutama untuk mencetak tenaga pengajar yang sepenuhnya memahami seluk beluk terkait difabel. Sehingga motivasi pemerintah bagi pengajar pendidikan inklusif seharusnya mendapat porsi lebih. Misalnya, pemerintah secara berkala memberikan bantuan beasiswa kepada lulusan SLTA untuk memasuki perguruan tinggi dengan konsentrasi pendidikan inklusi atau mengenai difabilitas. Apresiasi berupa penghargaan bagi tenaga pengajar yang berdedikasi penuh terhadap difabel juga menjadi salah alternatifnya. Semua hal ini pada dasarnya bertujuan untuk merealisasikan kebijakan pemerintah terkait pendidikan inklusi.
Hak-hak pendidikan para difabel juga semestinya perlu untuk diperhatikan dan diberi kesempatan seluas-luasnya sama dengan manusia yang lain. Selama ini beberapa Universitas telah menerima para difabel sebagai mahasiswanya, tetapi masih terbatas pada beberapa jurusan. Beberapa universitas di Yogyakarta yang telah membuka pendidikan inklusi diantaranya Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), serta Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka). UNY telah membuka prodi Pendidikan Luar Biasa, sedangkan  UIN Suka telah membuka  berbagai pelayanan-pelayanan bagi difabel, semisal dibentuknya Pusat Studi dan Layanan Difabel (PSLD)[23]
meskipun belum sepenuhnya bisa menjamin terpenuhinya fasilitas sebagai penyelenggara pendidikan inklusi, setidaknya sudah ada usaha untuk mewujudkannya. Tinggal menunggu tahap selanjutnya, untuk terus berbenah menyiapkan berbagai fasilitas dan keperluan bagi terlaksananya pendidikan inklusi ini. 
2.      Pekerjaan
Bekerja menjadi salah satu usaha dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi semua manusia, terutama para difabel. Peraturan yang telah ditetapkan pada Pasal 14 UU difabel mengenai kapasitas yang diberikan perusahaan untuk mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 orang difabel untuk tiap 100 karyawan, harus benar-benar di sosialisasikan kepada masyarakat, terutama difabel. Bisa saja kebijakan tersebut dikeluarkan oleh pemerintah, tetapi suatu perusahaan tetap enggan untuk mempekerjakan mereka, karena adanya pandangan bahwa seorang difabel dianggap kurang produktif. Hal ini disebabkan oleh cara pandang yang menganggap difabel berbeda dengan orang normal, sehingga mereka sebagai orang yang lemah membutuhkan bantuan dari orang normal. Untuk menghindari kejadian ini, setidaknya kampanye difabel memang tidak hanya terbatas dalam lingkungan masyarakat, tetapi juga harus menembus lingkup wilayah perkantoran maupun perusahaan.
Peraturan yang ditetapkan CPNS yang terkesan membatasi gerak difabel, juga perlu untuk direvisi ulang. Selama ini, terdapat beberapa persyaratan yang dimasukkan terkait adanya terbatasinya gerak seseorang yang mengalami difabel (baik netra, wicara, rungu, maupun daksa). memang egalitarianism di sini tidak bermaksud menyetarakan semua difabel dalam semua aspek kehidupan, kita menyadari adanya perbedaan kemampuan dengan manusia normal. Bukan berarti pasrah menerima peraturan itu, melainkan beberapa bidang pekerjaan yang mungkin dan masih mampu untuk dimasuki oleh difabel, jangan sekali-kali untuk dihalang-halangi. Katakanlah seorang difabel daksa dengan satu kaki, dia masih punya kemapuan untuk menjadi seorang guru bahasa Inggris ataupun matematika. Seorang difabel rungu bolehlah menjadi pegawai pemerintahan, karena kita ketahui bahwa difabel ini telah terbantukan dengan adanya alat bantu pendengaran. Sehingga, selagi ada solusi dari kekurangan mereka, harus dicarikan solusinya terlebih dulu, tidak harus langsung menolaknya secara mutlak.
3.      Aksesbilitas[24]
Penjelasan Undang-undang[25] terkait aksesbilitas bagi difabel harus segera direalisasikan dalam setipa pembangunan infrastruktur bangunan umum. Upaya yang dilakukan harus juga memperhatikan kebutuhan difabel sesuai dengan jenis dan derajat difabilitas serta standar yang ditentukan. Pemenuhan terhadap fasilitas umum ini, secara tidak langsung juga akan mempermudah mereka untuk mendapatkan kesempatan berkiprah dalam masyarakat umum, terutama dalam aspek pekerjaan dan pendidikan. Selama ini kekurangan fasilitas menjadi factor utama untuk membatasi gerak difabel.
4.      Penyegaran pemahaman masyarakat serta dorongan motivasi bagi para difabel.
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, peran sosialisasi perlu terus digalakkan melalui berbagai media massa, baik media cetak, elektronik, dan dunia maya. Antara para aktivis peduli difabel dengan pemerintah saling bahu membahu menghilangkan perspektif negative yang muncul dalam masyrakat terkait kehidupan difabel. Evalusi terhadap kurang terimplementasikannya kebijakan yang dibuat pemerintah, seharusnya menjadi agenda penting yang tidak hanya menjadi agenda pemerintah, tetapi masyarakat dan segenap pihak yang ingin menyuarakan egalitarianism terhadap difabel harus dengan telaten menyurakan hal ini ke public. Kealpaan di pihak pemerintah, perlu untuk disadarkan kembali, begitu juga semangat bagi difabel perlu kiranya dipupuk kembali. dalam artian, semangat difabel untuk mendapatkan hak-haknya.
















Anda memberi ini +1 secara publik. Urungkan

[2] Pendidikan Inklusif adalah system layangan pendidikan yang menampung semua murid di kelas yang sama Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukugan yang dapat diberikan oleh para guru,agar anak-anak berhasil (Stainback,1980 ).dikutip dalam www.batam.org diakses pada 7 Januari 2012
[3] Pendidkan Inklusi terhadap Anak Berkebutuhan Khusus, dalam www.samnj.sch.id,  diakses pada 7 Januari 2012
[4] Dikutip dalam www.unikom.ac.id  diakses pada 6 Januari 2012
[5] Diskriminas Penyandang Cacat Sulit Sekolah  dalam www.vivanews.com Diakses pada 7 Januari 2012
[6] Kaum Defabel Kaum  Yang Terpinggirkan, dalam www.kompasiana.com, diakses pada 7 Januari 2012.
[7]  Fasilitas Untuk Kaum Difabel di Hongkong, dalam www.sosbud.kompasiana.com, diakses pada 8 Januari 2012
[8] Fasilitas Untuk Kaum Difabel di Hongkong , dalam www.sosbud.kompasiana.com,...
[9]  Fasilitas Untuk Kaum Difabel di Hongkong , dalam www.sosbud.kompasiana.com,...
[10] Fasilitas Untuk Kaum Difabel di Hongkong , dalam www.sosbud.kompasiana.com,...
[11]  Fasilitas Untuk Kaum Difabel di Hongkong , dalam www.sosbud.kompasiana.com,...
[12] Fasilitas Untuk Kaum Difabel di Hongkong , dalam www.sosbud.kompasiana.com,...
[13] Beberapa definisi yang terkait dengan sosialisasi antara lain: menurut  Robert M.Z Lawang, sosialisasi adalah proses mempelajari nilai, norma, peran, dan persyaratan lainnya yang diperlukan untuk memungkinkan seseorang dapat berpartisipasi secara efektif dalam kehidupan social. setidaknya ada dua fungsi sosialisasi ini, yaitu bagi individu: agar dapat hidup secara wajar dalam kelompok/ masyarakatnya, sehingga tidak aneh dan diterima oleh warga masyarakat lain serta dapat berpartisipasi aktif
sebagai anggota masyarakat,dan bagi masyarakat untuk  menciptakan keteraturan sosial melalui pemungsian sosialisasi sebagai sarana pewarisan nilai dan norma serta pengendalian sosial.
[14] Rivers, William L, Jay W. Jensen, Theodore Peterson, Media Massa dan Masyarakat Modern, Edisi Kedua, (Jakarta: Kencana, 2003),hlm. ix


[15] Kisah Para Penembus Batas,dalam www.vhrmedia.com, diakses tanggal 10 Januari 2012.
[16]  DAAI TV Indonesia  merupakan stasiun televisi local yang didirikan pada Oktober tahun 2006.
[17] kepala Pusat Kajian Disabilitas Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI)
[18]  Dakwah secara bahasa artinya mengajak. Adapun menurut istilah adalah mengajak manusia untuk berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran. Secara luas, dakwah dimaknai sebagai upaya mengubah suatu keadaan menjadi keadaan yang lain yang lebih baik. Dakwah sendiri sudah muncul sejak munculnya Islam pertama kali, karena Nabi saw mendapatkan wahyu bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk disampaikan kepada umatnya. Dikutip dalam Bachrul Ilmy, Pendidikan Agama Islami (Bandung: Grafindo Media Pratama, 2008), hlm. 133.
[19] Dikutip dalam Teknologi Sebuah Media Dakwah Global  dalam www. yana.staf.upi.edu, diakses tanggal 18 Januari 2012.
[20] Rohidin, Peran Ulama dalam Sosialisasi Kebijakan Integrasi Sosial Kaum Difabel ke dalam Mainstream Masyarakat, hlm. 152-153.  
[21] Secara etimologi berarti keterlibatan atau keadaan terlibat, lihat di www.artikata.com diakses tanggal 18 Januari 2012. Lebih lanjut kata implementasi bermuara pada aktivitas, adanya aksi, tindakan, atau mekanisme suatu system atau  implementasi adalah proses untuk memastikan terlaksananya suatu kebijakan dan tercapainya kebijakan tersebut.
[22] Sejak tahun 2001, pemerintah mulai uji coba perintisan sekolah inklusi seperti di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan 12 sekolah didaerah Gunung Kidul dan di Provinsi daerah Khusus Ibukota Jogyakarta dengan 35 sekolah. Pada sekolah sekolah reguler yang dijadikan perintis itu memang diuntukkan anak-anak lambat belajar dan anak-anak sulit belajar sehingga perlu mendapat pelayanan khusus. Karena masih dalam tahap rintisan sampai sekarang belum ada informasi yang berarti dari sekolah-sekolah tersebut.
[23] PSLD merupakan pusat belajar dan juga layanan bagi difabel dalam mengatasi segala bentuk diskriminasi di lingkungan kampus, terutama dalam bidang aksesibilitas. PSLD menyediakan berbagai sarana adaptif bagi difabel seperti komputer bicara, scanner, pembuatan elektronik book (ebook), pengadaan reading service, dan sebagainya. Namun sangat disayangkan, fasilitas-fasilitas yang selama ini telah disediakan hanya mengacu pada kebutuhan tunanetra saja. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya jenis difabel lain seperti tunarungu, tunadaksa, dan sebagainya. Dikutip dari Hendro, UIN Sebagai Universitas Inklusi, dalam www.hendro-sw.blogspot.diakses tanggal 18 Januari 2012.
[24] Aksesibilitas adalah kemudahan yang diberikan kepada para difabel, berupa pengadaan atau modifikasi sarana dan prasarana kehidupan sehari-hari, termasuk lingkungan fisik, yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan penyandang ketunaan, agar mereka dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri. 
[25] UU  No. 4 Tahun 1997, Keputusan Menteri (Kepmen) Pekerjaan Umum (PU) Nomor 468 Tahun 1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan,  serta Kepmen Perhubungan Nomor 71 Tahun 1999 tentang Aksesibilitas difabel dan Orang Sakit pada Sarana dan Prasarana Perhubungan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar