ISNAD CUM MATAN
(Studi atas Pemikiran Hadis Harald
Motzki)
Presented by: Khoirun
Nisa, THK UIN SUKA
Abstract
Harald Motzki is orientalist who focussed in hadith study. Motzki
used Isnad Cum matan as method and historical traditional- historical as
approach to support his
research in Mushannaf
‘Abd al-Razza>q al-Shan’a>ni> until six years. And the
result, he maked some conclusion that Islamic jurisprudency have done and have existed
in early development. Exactly, this argument against Schacht and friends who
doubted that hadith not existed in Islam
early development. Because his result study, some orientalist included him into
midlle ground group. Motzki recognized that Hadith was original from
Muhammad prophet, but just in Mushannaf ‘Abd al-Razza>q
al-Shan’a>ni>.
Keyword: Harald Motzki, Mushannaf ‘Abd al-Razza>q
al-Shan’a>ni> , Isnad Cum matan.
A.
PENDAHULUAN
Harald Motzki adalah seorang orientalis yang berkonsentrasi pada
kajian hadis khususnya terkait dengan otentisitas hadis sebagai hukum Islam
dengan kesimpulan bahwa jurisprudensi telah ada semenjak masa awal
penyebaran Islam dikategorikan sebagai Orientalis bermadzhab middle ground[1]
bersama beberapa orientalis lainnya seperti G. H. A. Juynboll, Gregor Schoeler,
Johann Fu>ck, James Robson dan yang lainnya.[2]
Bahkan menurut Komarudin Amin, Juynboll dan Motzki, di mata orientalis mereka
berdua dianggap (kurang lebih) seperti Muhammad Shakir, al-Albani dan al-Saqqaf
atau al-Gumari dalam dunia Islam.[3]
Dalam makalah ini penulis akan mencoba mengulas sedikit tentang
Harald Motzki, berupa Biografi dan karya-karya beliau, pandangan Harald Motzki
serta sarjana Barat lainnya tentang otentisitas hadis sebagai sumber hukum
(Jurisprudensi Islam), metode dan pendekatan yang beliau gunakan dalam
analisisnya terhadap Mushannaf ‘Abd al-Razza>q al-Shan’a>ni>.
B.
Sketsa
Biografi Harald Motzki
Harald Motzki tergolong sarjana Barat yang
relatif baru dalam dunia kajian Islam di Barat. Hingga makalah ini selesai
disusun, tidak penulis temukan biografi serta latar belakang kehidupannya
secara terperinci. Informasi mengenai dirinya yang penulis dapatkan hanya bahwa
Motzki adalah seorang sarjana dalam kajian Islam (fokus pada bidang hadis) yang
menjadi Guru Besar di Universitas Nijmegen, Belanda. Buah karya monumental yang
lahir dari goresan penanya adalah:
1.
Harald Motzki, Die Anfange der islamischen
Jurisprudenz. Ihre Entwicklung in Mekka bis zur Mitte des 2./8. Jahrhunderts,
Stuttgart 1991. Engl. Trans. The Origins of
Islamic Jurisprudence. Mekahn Fiqh before the Classical schools, trnasl. Marion H. Katz, Leiden 2002.
2.
Harald Motzki, “Der Fiqh des—zuhri: die
Quellenproblematik,“ Der Islam 68, 1991, 1-44. edisi Iggris, “The
Jurisprudence of Ibn Sihab Al-Zuhri. A Source-critical Study,“
dalam http:/webdok.ubn.kun.nl/mono/m/motzki_h/juriofibs.pdf
3.
Harald
Motzki, “The Musannaf of Abd. Al-Razzaq Al-San’ani as a Source of
Authentic ahadith of the First Century A.H.,” Journal of Near Eastern
Studies 50, 1991, h. 1-21.
4.
Harald
Motzki, “Quo vadis Hadit Forschung? Eine kritische Untersuchung
von G.H.A. Juynboll, Nafi’, the mawla of Ibn Umar, and his position in
Muslim Hadith Literature,“ Der Islam 73, 1996, h. 40-80, 193-229.
5.
Harald
Motzki, “The Prophet and the Cat: on Dating Malik’s Muwatta’ and Legal
Traditions,“ Jurusalem Studies in Arabic and Islam, 21, 1998, h. 18-83.
6.
Harald
Motzki, “The Role Of Non-Arab Converts in The Development of Early Islamic Law,” dalam Islamic Law
Society, Leiden, Vol. 6, No. 3, 1999.
7.
Harald
Motzki, “The Murder of Ibn Abi l-Huqayq: on the Reliability of Some maghaji Reports,”
dalam H. Motzki, ed., The Biography of Muhammad: the Issue of the Sources,
Leiden, 2000, h. 170-239.
8.
Harald Motzki, “Der Prophet und die Schuldner. Eine hadit-Untersuchung
auf dem Prufstand,“ Der Islam, 77, 2000, h. 1083.
9.
Harald
Motzki, “The Collection of the Qur’an. A Reconsideration of Western Views in Light of Recent Methodological Developments, Der
Islam 78, 2001, h. 1-34.
10.
Harald Motzki, “Ar-radd ‘ala r-radd – Zur Methodik
der hadit-Analyse,“ Der Islam 78, 2001, h. 147-163.
11. Harald Motzki, ed., Hadith. Origins
and the Developments, Aldershot: Ashgate/Variorum, 2004.
12. Harald Motzki, “Dating Muslim Traditions . A
Survey,” Arabica, 52, 2005.[4]
Dari beberapa karyanya tersebut, The Origins
of Islamic Jurisprudence(Meccan Fiqh before the Classical Schools) yang
merupakan terjemahan dari bahasa Jerman “Die Anfange der islamischen Jurisprudenz. Ihre
Entwicklung in Mekka bis zur Mitte des 2./8. Jahrhunderts”
merupak karyanya yang paling fenomenal karena berhasil mematahkan teori Ignaz
Goldziher dan Joseph Schacht. Buku ini merupakan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Harald Motzki selama kurang lebih 6 tahun. Karya ini kemudian
dipersembahkan sebagai sebuah karya Habilitation oleh penulisnya untuk
mencapai gelar Habil, gelar yang membutuhkan waktu sekitar 4 sampai 6
tahun yang dilakukan setelah Doktor.[5]
C.
Otentisitas
Hadis Menurut Harald Motzki
Permasalahan yang muncul di kalangan orientalis
saat membahas hadis tertuju pada otentisitas hadis itu sendiri. Sikap skeptis
ditunjukkan oleh beberapa orientalis semisal
Schacht terhadap keorisinalitasan hadis. Berangkat dari penelitiannya,
ia berpendapat bahwa hadis tidak lebih dari produk ulama abad II H. Hal ini
berpengaruh pada perjalanan akademik Motzki. Dengan melakukan penelitian
terhadap Mushannaf Abdul Razzaq, Motzki menelusuri beberapa riwayat yang
terdapat dalam kitab tersebut. Sehingga, peranan Mushannaf Abdul Razzaq ini
sangat erat kaitannya dengan pemikiran Harald Motzki. Beradasarkan
penelitiannya, Motzki menolak klaim Schacht dan berpendapat bahwa hukum islam
sudah ada sejak abad pertama hijriah bahkan jurispundensi islam sudah ada sejak
zaman nabi. Dalam penelitiannya terhadap hadis, Motzki seperti yang diungkapkan
oleh Komaruddin Amin mendasarkan epistemoliginya pada dating terhadap
riwayat dalam Mushannaf Abdul Razzaq.[6]
Sebelum masuk pada pembahasan usaha Motzki
tentang otentisitas hadis, pengetahuan atas Mushannaf Abdul Razzaq dirasa
penting. Hal ini dikarenakan jika riwayat yang terdapat dalam kitab ini
otentik, maka hadis memang telah ada sejak abad pertama hijriah. Ditinjau dari
segi jenis kitab-kitab hadis, kitab ini termasuk kitab hadis yang disusun
berdasarkan bab fiqh. Hal ini dapat dilihat dari tehnik penyusunannya yang
khas, yakni mengumpulkan hadis-hadis yang memiliki tema serupa. Penulis kitab
ini adalah Abdul Razzaq yang memiliki nama lengkap al-Hafiz al-Kabir Abi Bakar ‘Abd al-Razzaq Ibn Hamman
al-San’ani (w. 211H.). Ia dilahirkan pada tahun 126 H/744 M. Ia dibesarkan di
Yaman dan pernah mengenyam pendidikan di Yaman. Kitab Musannaf ‘Abd
al-Razzaq sudah dipublikasikan sejak tahun 1972 sebanyak 11 volume, yang
disajikan oleh Habib al-Rahman al-A’zami, dan diterbitkan oleh al-Majelis
al-Ilmi, Beirut.[7] Kitab Musannaf ‘Abd al-Razzaq ini
memuat hadis sebanyak 21033 buah.
Beberapa alasan yang mendasari Harald Motzki mengambil Kitab Musannaf Abd
al-Razzaq ini sebagai objek penelitiannya adalah sebagai berikut:
(1) Musannaf
Abd al-Razzaq ini merupakan salah satu kitab yang mewakili dari banyak
kitab-kitab hadis tertua pada abad kedua hijriah;
(2) Musannaf
Abd al-Razzaq tidak terpengaruh oleh mazhab as-Syafi’i, karena di dalamnya
masih murni mengandung materi-materi dari qaul Nabi, qaul Shahabat dan qaul
Tabi’in;
(3) Musannaf Abd al-Razzaq adalah kitab
yang memuat informasi yang cukup mewakili perkembangan hukum Islam di Makkah;
(4) Musannaf
Abd al-Razzaq adalah kitab yang lebih tua dan lebih tebal dibandingkan
dengan musannaf-musannaf yang lain.
Maka wajarlah Motzki mengambil kitab ini sebagi objek
kajiannya, karena kitab ini dianggap representatif, sekaligus membuktikan tesa
yang dibangun bahwa otentisitas hadis dapat dipertanggung jawabkan. Dengan
alasan tersebut di atas, Harald Motzki menjadikan Musannaf ‘Abd
al-Razzaq sebagai sumber penelitiannya yang utama.[8]
Dalam penelitiannya tersebut, Motzki berusaha
membuktikan otentisitas hadis pada abad pertama hijriah dengan asumsi ketika
data sejarah dalam Mushannaf Abdul Razzaq terbukti sebagai dokumen abad pertama
yang otentik, maka apa yang berada di dalamnya merupakan rekaman berbagai
persolah hukum islam abad pertama. tentunya hal ini berarti hadis juga
merupakan sesuatu yang otentik, karena hukum islam mengacu pada hadis juga.
D.
Isnad
Cum Matn Analysis
Teori isnad cum matn dipakai oleh Motzki dalam menganalisa Mushannaf
‘Abd al-Razza>q dengan pendekatan tradition-historical. Metode isnad cum matan analysis adalah menganalisis,
menelaah baik jalur-jalur periwayatan maupun teks hadis. Di antara karakteristik pendekatan isnad cum matn
analysis adalah kualitas seorang perawi tidak hanya didasarkan pada
komentar ulama tentang perawi tersebut. Komentar ulama tentangnya menjadi
sekunder. Sedangkan Kualitas perawi utama ditentukan
terutama oleh matn atau teks dari perawi tersebut.
Adapun pendekatan yang
digunakan Motzki adalah Traditional-Historical yaitu menganalisis sekaligus
menguji materi-materi dari perawi tertentu.[9] Atau dengan kata lain, pendekatan ini sering didefinisikan
dengan metode yang bekerja dengan cara menarik sumber-sumber awal dari
kompilasi yang ada, yang tidak terpelihara sebagai karya-karya terpisah dan lebih
difokuskan kepada materi-materi para perawi tertentu dari pada hadis-hadis yang
terkumpul pada topik tertentu.[10] Dalam hal ini Motzki memfokuskan pada beberapa materi para
rawi tertentu yang terdapat dalam Musannaf ‘Abd al-Razaq.
Motzki memakai analisis untuk menemukan
unsur-unsur yang menjadi dasar bagi penemuan apakah sumber dan materi yang
dilaporkan adalah otentik atau palsu. Strategi/metode yang dilalui:[11]
(1) semua variasi riwayat beserta sanad-sanadnya dikumpulkan, (2) dari
sanad-sanad tersebut dibuatlah “diagram pohon sanad” (Isnad Baum Diagram),
(3) variasi teks secara sinoptik disusun dan teks-teks yang memiliki kemiripan
dimasukkan dalam kelompok-kelompok
tertentu, (4) “kelompok-kelompok teks” (teks yang sekeluarga: Texfamilien)
diperbandingkan dengan “kelompok-kelompok sanad” (isnad familien), dan
(5) ketika telah ditemukan iterdepedensi, dapat ditarik kesimpulan tentang
bentuk teks yang asli, yang disampaikan oleh common link utama. Dari sini juga dapat diketahui perawi
siapa yang bertanggung jawab atas perubahan teks hadis. Dengan metode ini dapat
dihindari resiko ketidak-ditemukannya seorang common link yang
dipalsukan. Semakin banyak dan panjang variasi teks hadis, maka hasil
penelitian metode ini semakin meyakinkan. Menurut Komarudin Amin, teori ini
bukanlah sesuatu yang baru, namun dalam prakteknya metode ini hampir tidak
diterapkan dalam kajian hadis.[12]
E.
Pembuktian
Otentisitas Hadis dalam Mushannaf Abdul Razzaq
Langkah untuk membuktikan bahwa Mushannaf Abdul Razzaq adalah
sumber otentik abad pertama hjriah, oleh
Motzki adalah melakukan penelitian terhadap 3810 hadis. Kemudian untuk membuktikan hal ini, Motzki meneliti
empat tokoh yang menjadi sumber otoritas utama dari ‘Abd al-Razzaq, yakni
Ma’mar, Ibnu Jurayj, al-Sawri, Ibnu Uyaynah.[13]
Dari Ma’mar, ‘Abd al-Razzaq meriwayatkan materinya sekitar 32 %, dari Ibnu
Jurayj 29 %, dari al-Sawri 22 %, dan dari Ibnu Uyainah 4 %. Sisanya sekitar 13
% berasal dari 90 rawi lain dari tokoh-tokoh yang berbeda. Lebih
jauh, Motzki meneliti sumber dari keempat rawi yang menjadi sumber utama.
Pertama adalah materi Ma’mar yang
berjumlah 32 % tersebut bersal dari:[14]
a) Ibn Syihab al-Zuhri (w.
124/742) sebanyak 28 %.
b) Qatadah bin Diamah (w.
117/735) sebanyak 25 %.
c) Ayyub bin Abi Tamimah
(w. 131/749) sebanyak 11 %
d)
Ibn Tawus (w. 132/750) 5 %
e) Sumber anonim 6 %
f) 77 sumber lainnya 24 %
dan
g) Pendapat Ma’mar sendiri
sekitar 1 %.
Kemudian
struktur materi yang berasal dari Ibn Jurayj adalah sebagai berikut:[15]
a) ‘Ata’ ibn Abi Rabah (w.
115/733) sebanyak 39 %
b) Amr Ibn Dinar (w.
126/743) sebanyak 7 %
c) Ibnu Syihab al-Zuhri
(w. 124/742) 6 %
d) Ibn Tawus (w. 132/750)
5 %
e) Sumber anonim 3 %
f) 103 sumber laiannya 37
% dan
g) Pendapat as-Sauri
sendiri sekitar 1 %
Profil teks yang berasal dari al-Sawri mencakup
pendapat hukum al-Sawri sendiri lebih Dominan , yakni sebagai berikut: [16]
a)
Mansur bin al-Mu’tamir
(w. 132/750) sebanyak 7 %
b) Jabir bin Yazid (w.
128/745) sebanyak 6%
c) Orang tanpa nama (anunamous)
3 %
d) 161 sumber lainnya 65
%, dan
e) Pendapat as-Sauri
sendiri sekitar 1 %
a)
Amr bin Dinar (w. 126/743) sebanyak 23 %
b)
In Abi
Najih (w. 132/749) sebanyak 9 %
c)
Yahya
bin Said al-Ansari (w. 143/760) 8%
d)
Ismail bin Abi Khalid (w. 145/762) 6 %
e)
Orang tanpa nama (anunamous) 3-4 %
f)
37 sumber lainnya 50 %, dan
g)
Pendapat Ibn Uyainah sendiri 0 % (tidak ada pendapat
sendiri)
Keempat koleksi teks tersebut menunjukkan
adanya kekhasan masing-masing. Dalam hal ini, Motzki berpendapat bahwa kekhasan
tersebut menjadi indikator keotentikan riwayat hadis. Tidak mungkin pemalsu
menyusun materi dalam susunan yang spesifik dengan perbedaan yang begitu
signifikan. Jika memang ia seorang pemalsu, bukankah lebih mudah untuk
menyandarkan pada ulama-ulama terkemuka tanpa struktur periwayatan yang
bervariasi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa informasi dalam mushannaf
Abdul Razzaq adalah otentik, bukan sebuah hasil pemalsuan. Dengan demikian, hal
ini berarti hadis juga merupakan sesuatu yang otentik.
Lebih lanjut, Motzki juga meneliti jalur
periwayatan Ibnu Juraij ke generasi sebelumnya yang mencakup 1/3 keseluruhan
mushannaf. Hadis-hadis tersebut ketika dianalisis secara statistik
menunjukkan adanya rujukan kepada otoritas lebih awal yang tidak seimbang dan
sporadis. Tidak berhenti pada Ibnu Juraij, Motzki melanjutkan analisisnya
terhadap level berikutnya, yaitu memfokuskan pada sumber yang sering diikuti
oleh Ibnu Juraij, ‘Ata ibn Abi Rabbah (w. 115). ‘Ata adalah satu-satunya tokoh
yang diakui Schacht yang berasal dari Makkah dan sejarah mengenainya dapat ditelusuri.
Dengan kata lain, informasi mengenai dirinya dan ajarannya adalah sesuatu yang
otentik. Namun, Schacht menyatakan bahwa otentisitas tersebut ditutupi oleh
atribusi fiktif pada abad kedua hujriah. Namun hal ini berbeda dengan pendapat
Motzki. ia menyatakan bahwa Ibnu Juraij mempunyai hubungan historis yang
panjang dengan riwayat ‘Ata, baik itu langsung darinya ataupun dari ulama
Makkah. Berdasarkan penelitian Motzki, dari keseluruhan materi Ibn Juraij
terlihat sangat bervariasi. Dalam hitungan persen, materi yang disandarkan pada
‘Ata hanya 40%, selebihnya kepada beberapa rowi lain, termasuk materi yang
didasarkan pada pendapatnya sendiri. Dari hal ini, mustahil seorang Ibnu Juraij
melakukan pemalsuan. Kalau Ibn Juraij pemalsu, tentunya ia tidak akan menyandarkan
riwayat dengan sangat complicated.[18]
Pada dasarnya guna meneliti Ibn Juraij ini, Motzki menggunakan dua analisa,
yaitu External Criteria (kajian
sanad) dan Internal Formal
Criteria Authenticity (kajian
matan; seberapa besar profil Ibn Juraij terefleksi dalam materi ‘Ata).
Dalam External criteria of authenticity, Motzki membaginya
menjadi dua bagian. Pertama, magnitude (dari segi sanad) yaitu
penelitian atas banyaknya sanad dan penyebarnya. Kedua, genre (dari segi
matan) yaitu penelitian atas gaya atau style penyampaian. Dari
penelitian magnitude nya terlihat bahwa sumber yang disebutkan
Ibnu Juraij sangatlah beragam, 40% kepada ‘Athta’, 25% kepada Amr bin Dina,
Ibnu Syihab, Ibn Tawus, Abu az-Zubair dan ‘Abdl Karim, 8,1 % kepada Hisyam bin
‘Urwah, Yahya bin Sa’id, Ibn Abi Mulayka, Musa bin ‘Uqbah dan Amr bin Syu’ab,
dst. Sedangkan dari segi genre nya, Motzki membaginya menjadi dua
kategori, (1) responsa (jawaban atas pertanyaan, baik dari Ibnu Juraij
atau orang lain), seperti ungkapan “saya bertanya kepada ‘Atha’ tentang....”
dan (2) dicta, yaitu pernyataan yang tidak didahului pertanyaan, bisa
mengndung pendapat sendiri atau orang lain.
Baik analisa magnitude ataupun genre dalam
permasalahan otentisitas teks menurut Motzki menunjukan asumsi bahwa Ibnu Juraij telah melakukan
pemalsuan. Hal ini karena dalam analisis genre menunjukkan: (1) baik responsa ataupun dicta yang
muncul dalam proporsi yang memiliki perbedaan begitu signifikan dalam kasus
sejumlah sumber Ibnu Juraij dan (2) perbedaan frekuensi gaya pertanyaan (direct,
indirect, anonimous, non-anonimous) bertentangan dengan asumsi bahwa Ibnu
Juraij telah melakukan projecting back. Bahkan sebaliknya, baik kualitas
maupun kuantitas responsa ‘Atha’ atas pertanyaan Ibnu Juraij menunjukkan
hubungan historis yang panjang antara keduanya.[19]
Adapun untuk Internal formal criteria of authenticity penelitian
difokuskan untuk mengetahui sejauh mana profil Ibnu Juraij terefleksi dalam
materi ‘Atha’, berikut ini disebutkan enam hal yang terkategorikan
sebagai Internal formal criteria of authenticity:[20]
1.
Ibnu
Juraij tidak hanya menyajikan pendapat hukum dari generasi sebelumnya, tapi
juga menyampaikan pendapat hukumnya sendiri.
2.
Ibnu
Juraij tidak hanya menyajikan materi ‘Atha’, tetapi juga memberikan tafsir,
komentar, bahkan kritik terhadap materi tersebut.
3.
Ibnu
Juraij juga terkadang mengekspresikan ketidakyakinannya atas maksud dan
perkataan ‘Atha’ atas sebuah masalah.
4.
Ibnu
Juraij kadang-kadang juga meriwayatkan materi ‘Atha’ dari orang lain.
5.
Adanya
upaya Ibnu Juraij untuk menyajikan materinya secara tepat dan verbatim.
Hal ini dapat dilihat dalam kasus Ibnu Juraij yang merekam perbedaan ‘Atha’
dari sumber selain ‘Atha’.
6.
Ibnu
Juraij juga sewaktu-waktu menunjukan kelemahan sumber insewaktu-waktu
menunjukan kelemahan sumber informasinya (‘Atha’).
Dengan demikian, dari dua analisis tersebut, terlihat adanya
rujukan kepada otoritas lebih awal yang tidak seimbang dan sporadis, yang mana
hal ini jelas menunjukkan bahwa Ibnu Juraij bukanlah pemalsu. Karena bukankah
jika ia melakukan pemalsuan ia hanya akan menyandarkan kepada satu atau
beberapa fuqaha atau perawi yang terkenal saja. Maka dengan ini, Motzki
menyatakan dengan tegas bahwa materi yang disampaikan oleh Ibnu Juraij adalah
otentik adanya, ia tidak mungkin melakukan pemalsuan atau projecting back. Di
samping itu juga mengingat bahwa keempat koleksi teks dari informan
utamanya memiliki kekhasan masing-masing, juga gaya penyajian materi ‘Abd
al-Razzaq yang sering mengekspresikan keraguannya atas suatu riwayat. Keraguan
ini diakui secara jujur dan terbuka. di mana kekhasan dan keraguan tersebut
tidak akan ditemukan pada seseorang yang memang berniat melakukan pemalsuan.[21]
F.
Analisa
Terhadap Pemikiran Harald Motzki
Dalam
permasalahan common link, Gregor
Schoeler sebagai orang yang berada di kubu pendukung Motkzi, ia berpendapat
sama dengan Motkzi, bahwa common link tidak
harus dipahami sebagai pemalsu hadis. Lewat artikelnya yang berjudul “Musa bin
‘Uqba’s Maghazi”, ia menunjukkan
bahwa satu dari informan common link Az-Zuhri
(‘Urwah bin Zubair) benar-benar informnanya.[22] Sementara
Irene Schneider mengkritik Motzik dengan menyatakan bahwa penolakan Motzki
terhadap common link, jika dipahami
sebagai pemalsu hadis, menyiratkan bahwa seorang common link telah meriwayatkan riwayatnya secara autentik, dan hal
demikian dinilai Schneider sebagai sesuatu yang mustahil, karena menurutnya
perhatian untuk meriwayatkan kata-kata Nabi yang pasti merujuk kepada perawi
secara akurat belum dipraktekkan pada masa awal. Ia menuduh Motzki telah melakukan
kegagalan dalam masalah tersebut.[23]
Common
link bagi Schneider sangat logis untuk diasumsikan
sebagai orang yang berperan sentral pada sebuah hadis, mengingat common link adalah orang yang sadar akan
kekurangan tersebut dan mulai mengumpulkan riwayat. Dan ia menilai bahwa
perawi-perawi yang disebutkan oleh common
link bukanlah sesuatu yang dibuat-buat adanya.[24]
Di sinilah kiranya yang menjadi titik persamaan pandangan antara Schneider dan
Motzi, meskipun di beberapa permasalahan Schneider mengkritik dan meragukan
pandangan Motzki.
Schneider juga meragukan penjelasan Motkzi
tentang fenomena jalur tunggal (single
strand). Keraguan tersebut dijawab oleh Motzki, dengan pernyataan: (1)
penghimpun pertama atau perawi awal, mungkin tidak mengetahui bagaimana praktik
periwayatan di kemudian hari, dan mereka juga tidak mengetahui bahwa generasi
selanjutnya akan membedakan antara periwayatan tunggal dan periwayatan
mutawatir. (2) dapat ditunjukkan dari beberapa bundel isnad bahwa pembubuhan beberapa otoritas untuk hadis yang sama
(Juynboll mengistilahkan common link yang
terbalik (inverted common link)
terjadi pada level common link atau
lebih belakangan. Yaitu, pada level di mana jalur atau saluran-saluran
periwayatan menyebar. Akan tetapi praktek ini adalah pengecualian, dan bukan
kebiasaan atau peraturan. Hanyalah kompilasi-kompilasi abad ketiga hijriah atau
setelahnyalah yang sering, tapi tidak selamanya, yang melengkapi periwayatannya dengan
sejumlah saluran atau jalur periwayatan.[25]
Setelah memperhatikan uraian secara global
mengenai pemikiran Motzki, penulis melihat bahwa Motzki senada dengan kubu sanguine
(Sezgin, dkk) untuk membantah kubu skeptis yang diwakili Goldziher dan J.
Schacht dalam permasalahan awal pembentukan hukum Islam dan penulisan hadis.
Sehingga kualitas otentik dapat diterapkan pada hadis-hadis Nabi, hanya saja
ketika Sezgin mengusung kitab Jami’
karya Ma’mar oleh Motzki dinilai sebagai kitab (manuscrip) yang tidak
terjamin keotentikan dari Ma’mar-nya. Lain dengan dirinya yang mengusung Mushannaf
‘Abd al-Razzaq yang dianggap asli tulisan ‘Abd al-Razzaq.
Berbeda dengan Sezgin, dalam rangka membantah
Goldziher ataupun Schacht, Motzki meneliti kitab Mushannaf dengan metode
Isnad cum Matan, hal ini terlihat jelas cara kerjanya dan dapat diukur kebenaran
ilmiahnya. Keoptimisan akan otentisitas hadispun hanya berani ia berikan kepada
hadis-hadis dalam kitab Mushannaf saja, kitab yang sudah ia kaji.
Sedangkan Sezgin memberikan cap otentik pada semua hadis yang termaktub dalam
kitab-kitab hadis kanonis. Di samping
itu, Motzki juga terlihat tidak sepenuhnya membantah pendapat aliran skeptis,
tentang common link misalnya, meski ia tidak menerima jika dikatakan
common link adalah seorang pemalsu mutlak, namun di sisi lain ia tidak
membantah jika adanya kemungkinnan pemalsuan yang dilakukan oleh seorang
common link.
Setelah melakukan kajian ini, penulis menilai bahwa penelitian yang
dilakukan Motzki memiliki nilai akademis tinggi
dan lebih hati-hati, jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan
oleh para orientalis sebelumnya.
G. Kesimpulan
Pemikiran Harald Motzki tentang keotentikan hadis di
kalangan orientalis berujung pada kontroversi eksistensi hukum Islam. Hal ini
tampak ketika Motzki mencoba mengcounter pendapat Goldziher dan J. Schacht
dengan asumsi bahwa hukum Islam telah eksis sejak abad pertama Hijriyah
sehingga jurisprudensi Islam yang didasarkan atas al-Qur'an dan hadis adalah
sumber yang otentik. Namun ia juga belum sampai pada kategori sanguine
seperti Sezgin yang meyakini keotentisitasan hadis yang termaktub dalam kitab
hadis kanonis.
Dalam
penelitiannya terhadap kitab Mushannaf ‘Abd al-Razza>q al-Shan’ani, (selama kurang lebih) enam tahun,
Motzki tidak melakukan secara keseluruhan terhadap hadis-hadis di dalamnya,
melainkan hanya meneliti 21 % hadis dalam kitab tersebut menggunakan metode isnad
cum matan dan pendekatan traditional-historical,
Motzki dapat membantah adanya projecting back dalam sanad hadis dan
menyatakan bahwa seorang common link hanyalah penyebar koleksi hadis
secara sistematis. Lebih lanjut lagi dengan dua pisau analisis, External
criteria of authenticity dan Internal formal criteria of
authenticity, Motzki dapat membuktikan historisitas penyandaran hukum yang
dilakukan oleh Ibnu Juraij kepada ‘Atha’. Namun
hal ini masih sebatas masa sahabat, belum mencapai Rasulullah.
DAFTAR
PUSTAKA
Amin, Kamaruddin. “Book Review: The Origins of Islamic
Jurisprudence. Meccan Fiqh before the
Classical Schools” dalam Al-Jami’ah
Journal of Islamic Stadies, Vol. 41. No.1.2003/1424 H.
__________ “Problematika Ulumul Hadis, Sebuah Upaya Pencarian
Metodologi Alternatif”, Makalah UIN
Alauddin, Makassar.
__________
Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis. Jakarta Selatan: Hikmah.
2009.
Arif, Syamsuddin. “Gugatan Orientalis Terhadap Hadis
dan Gaungnya di Dunia Islam” dalam Jurnal
al-Insan. Jakarta. vol. 1. No. 2. 2005.
Berg, Herbert. The Development of Exegesis in Early
Islam. Surrey: Curzon Press. 2000.
Dutton, Yasin. The Origins of Islamic Law; the Qur’an, the
Muwatta’, and Madinan ‘Amal. London: Curzon Press. 1999.
Motzki,
Harald. The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan Fiqh before the
Classical Schools. Leiden: Brill. 2002.
Syamsuddin, Sahiron. “Pemetaan Penelitian Orientalis
Terhadap Hadis” dalam M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, dkk.. Orientalisme
Al-Qur’an dan Hadis . Yogyakarta: Nawesea Press. 2007.

Zuhdi, M.
Nurdin. “Otentisitas Hadis: Musannaf ‘Abd Al-Razzaq dalam
Perspektif Harald Motzki”, Makalah
Program Pascasarja UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarata. 2009.
[1] Middle ground Merupakan aliran tengah antara Skeptism dan non-Skeptis
yang tidak menolak secara keseluruhan teori mereka dan tidak pula menerimanya
begitu saja. Namu menurut Komarudin Amin, mereka dikategorikan bermazhab
non-Skeptis. Lihat Kamarudin Amin, “Problematika
Ulumul Hadis, Sebuah Upaya Pencarian Metodologi Alternatif”, Makalah UIN
Alauddin, Makassar, hlm. 2.
[2] Herbert Berg, The
Development of Exegesis in Early Islam (Surrey: Curzon Press, 2000), hlm.
26-41.
[4] M. Nurdin
Zuhdi, “Otentisitas Hadis...hlm. 4-6.
[5] Kamaruddin
Amin, “Book Review: The Origins of Islamic Jurisprudence. Meccan Fiqh before the Classical Schools” dalam Al-Jami’ah
Journal of Islamic Stadies, Vol. 41. No.1.2003/1424 H, hlm. 201.
[6] Komaruddin
Amin, “Book Review: The Origns of Islamic Jurispundence Meccan Fiqh Before the
Classical Schools, dalam al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, Vol.
41, 2003, hlm. 1
[7] Harald Motzki, The Origin of Islamic Jurispundence
Meccan Fiqh Before the Classical Schools (Leiden: Boston Koln, 2002), hlm. 62-63.
[8] M. Nurdin
Zuhdi, “Otentisitas..., hlm. 12
[10] Lutfi Rahmatullah, Otentisitas Hadis Dalam
Perspektif Harald Motzki . . ., Hlm:
139
[11] M.Nurdin
Zuhri, Otentisitas Hadis Musannaf ‘Abd al-Razaq dalam perspektif Harald Motzki
Hlm …,53.
[13]Lihat lebih
jelas, Harald Motzki, The Origin of Islamic…., hlm. 58- 59; Kamarudin Amin,
“Book Review: The Origin Of Islamic…, hlm. 212-213.
[14]Harald Motzki, The Origin of Islamic…., hlm.
58.
Lihat pula M. Nurdin Zuhdi, “Otentisitas..., hlm. 16-18
[19] Kamaruddin
Amin, Book Review: The Origins of ..., hlm. 217.
[20] Kamaruddin
Amin, Book Review: The Origins of ..., hlm. 218.
[21] Kamaruddin
Amin, Book Review: The Origins of ..., hlm. 213. Lihat juga Herbert
Berg, The Development of Exegesis in Early Islam (Curzonpress, 2000),
hlm. 36.
[22] Komarudin
Amin, Menguji Kembali Keakuratan ..., hlm. 171.
[23] Komarudin
Amin, Menguji Kembali Keakuratan ...,hlm, 169.
[24] Komarudin
Amin, Menguji Kembali Keakuratan ..., hlm. 169.
[25] Komarudin
Amin, Menguji Kembali Keakuratan ...,hlm. 170
Tidak ada komentar:
Posting Komentar