Jumat, 25 Oktober 2013

HARALD MOTZKI

           ISNAD CUM MATAN
(Studi atas Pemikiran Hadis Harald Motzki)
Presented by: Khoirun Nisa, THK UIN SUKA

Abstract
Harald Motzki is orientalist who focussed in hadith study. Motzki used Isnad Cum matan as method and historical traditional- historical as approach to support his research in  Mushannaf ‘Abd al-Razza>q al-Shan’a>ni>  until six years.  And  the result, he maked some conclusion that Islamic jurisprudency have done and have existed in early development. Exactly, this argument against Schacht and friends who doubted that hadith  not existed in Islam early development. Because his result study, some orientalist included him into midlle ground group. Motzki recognized that Hadith was original from Muhammad prophet, but just in Mushannaf ‘Abd al-Razza>q al-Shan’a>ni>.

Keyword: Harald Motzki, Mushannaf ‘Abd al-Razza>q al-Shan’a>ni> , Isnad Cum matan.

A.    PENDAHULUAN
Harald Motzki adalah seorang orientalis yang berkonsentrasi pada kajian hadis khususnya terkait dengan otentisitas hadis sebagai hukum Islam dengan kesimpulan bahwa jurisprudensi telah ada semenjak masa awal penyebaran Islam dikategorikan sebagai Orientalis bermadzhab middle ground[1] bersama beberapa orientalis lainnya seperti G. H. A. Juynboll, Gregor Schoeler, Johann Fu>ck, James Robson dan yang lainnya.[2] Bahkan menurut Komarudin Amin, Juynboll dan Motzki, di mata orientalis mereka berdua dianggap (kurang lebih) seperti Muhammad Shakir, al-Albani dan al-Saqqaf atau al-Gumari dalam dunia Islam.[3]

Dalam makalah ini penulis akan mencoba mengulas sedikit tentang Harald Motzki, berupa Biografi dan karya-karya beliau, pandangan Harald Motzki serta sarjana Barat lainnya tentang otentisitas hadis sebagai sumber hukum (Jurisprudensi Islam), metode dan pendekatan yang beliau gunakan dalam analisisnya terhadap Mushannaf ‘Abd al-Razza>q al-Shan’a>ni>.
B.     Sketsa Biografi Harald Motzki
Harald Motzki tergolong sarjana Barat yang relatif baru dalam dunia kajian Islam di Barat. Hingga makalah ini selesai disusun, tidak penulis temukan biografi serta latar belakang kehidupannya secara terperinci. Informasi mengenai dirinya yang penulis dapatkan hanya bahwa Motzki adalah seorang sarjana dalam kajian Islam (fokus pada bidang hadis) yang menjadi Guru Besar di Universitas Nijmegen, Belanda. Buah karya monumental yang lahir dari goresan penanya adalah:
1.      Harald Motzki, Die Anfange der islamischen Jurisprudenz. Ihre Entwicklung in Mekka bis zur Mitte des 2./8. Jahrhunderts, Stuttgart 1991. Engl. Trans. The Origins of Islamic Jurisprudence. Mekahn Fiqh before the Classical schools, trnasl. Marion H. Katz, Leiden 2002.
2.      Harald Motzki, “Der Fiqh des—zuhri: die Quellenproblematik,“ Der Islam 68, 1991, 1-44. edisi Iggris, “The Jurisprudence of Ibn Sihab Al-Zuhri. A Source-critical Study,“ dalam http:/webdok.ubn.kun.nl/mono/m/motzki_h/juriofibs.pdf
3.      Harald Motzki, “The Musannaf of Abd. Al-Razzaq Al-San’ani as a Source of Authentic ahadith of the First Century A.H.,” Journal of Near Eastern Studies 50, 1991, h. 1-21.
4.      Harald Motzki, “Quo vadis Hadit Forschung? Eine kritische Untersuchung von G.H.A. Juynboll, Nafi’, the mawla of Ibn Umar, and his position in Muslim Hadith Literature,“ Der Islam 73, 1996, h. 40-80, 193-229.
5.      Harald Motzki, “The Prophet and the Cat: on Dating Malik’s Muwatta’ and Legal Traditions,“ Jurusalem Studies in Arabic and Islam, 21, 1998, h. 18-83.
6.      Harald Motzki, “The Role Of Non-Arab Converts in The Development  of Early Islamic Law,” dalam Islamic Law Society, Leiden, Vol. 6, No. 3, 1999.
7.      Harald Motzki, “The Murder of Ibn Abi l-Huqayq: on the Reliability of Some maghaji Reports,” dalam H. Motzki, ed., The Biography of Muhammad: the Issue of the Sources, Leiden, 2000, h. 170-239.
8.      Harald Motzki, “Der Prophet und die Schuldner. Eine hadit-Untersuchung auf dem Prufstand,“ Der Islam, 77, 2000, h. 1083.
9.      Harald Motzki, “The Collection of the Qur’an. A Reconsideration of Western  Views in Light of  Recent Methodological Developments, Der Islam 78, 2001, h. 1-34.
10.  Harald Motzki, “Ar-radd ‘ala r-radd – Zur Methodik der hadit-Analyse,“ Der Islam 78, 2001, h. 147-163.
11.  Harald Motzki, ed., Hadith. Origins and the Developments, Aldershot: Ashgate/Variorum, 2004.
12.  Harald Motzki, “Dating Muslim Traditions . A Survey,” Arabica, 52, 2005.[4]

Dari beberapa karyanya tersebut, The Origins of Islamic Jurisprudence(Meccan Fiqh before the Classical Schools) yang merupakan terjemahan dari bahasa Jerman “Die Anfange der islamischen Jurisprudenz. Ihre Entwicklung in Mekka bis zur Mitte des 2./8. Jahrhunderts” merupak karyanya yang paling fenomenal karena berhasil mematahkan teori Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht. Buku ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Harald Motzki selama kurang lebih 6 tahun. Karya ini kemudian dipersembahkan sebagai sebuah karya Habilitation oleh penulisnya untuk mencapai gelar Habil, gelar yang membutuhkan waktu sekitar 4 sampai 6 tahun yang dilakukan setelah Doktor.[5]

C.    Otentisitas Hadis Menurut Harald Motzki
Permasalahan yang muncul di kalangan orientalis saat membahas hadis tertuju pada otentisitas hadis itu sendiri. Sikap skeptis ditunjukkan oleh beberapa orientalis semisal  Schacht terhadap keorisinalitasan hadis. Berangkat dari penelitiannya, ia berpendapat bahwa hadis tidak lebih dari produk ulama abad II H. Hal ini berpengaruh pada perjalanan akademik Motzki. Dengan melakukan penelitian terhadap Mushannaf Abdul Razzaq, Motzki menelusuri beberapa riwayat yang terdapat dalam kitab tersebut. Sehingga, peranan Mushannaf Abdul Razzaq ini sangat erat kaitannya dengan pemikiran Harald Motzki. Beradasarkan penelitiannya, Motzki menolak klaim Schacht dan berpendapat bahwa hukum islam sudah ada sejak abad pertama hijriah bahkan jurispundensi islam sudah ada sejak zaman nabi. Dalam penelitiannya terhadap hadis, Motzki seperti yang diungkapkan oleh Komaruddin Amin mendasarkan epistemoliginya pada dating terhadap riwayat dalam Mushannaf Abdul Razzaq.[6]

Sebelum masuk pada pembahasan usaha Motzki tentang otentisitas hadis, pengetahuan atas Mushannaf Abdul Razzaq dirasa penting. Hal ini dikarenakan jika riwayat yang terdapat dalam kitab ini otentik, maka hadis memang telah ada sejak abad pertama hijriah. Ditinjau dari segi jenis kitab-kitab hadis, kitab ini termasuk kitab hadis yang disusun berdasarkan bab fiqh. Hal ini dapat dilihat dari tehnik penyusunannya yang khas, yakni mengumpulkan hadis-hadis yang memiliki tema serupa. Penulis kitab ini adalah Abdul Razzaq yang memiliki nama lengkap al-Hafiz al-Kabir Abi Bakar ‘Abd al-Razzaq Ibn Hamman al-San’ani (w. 211H.). Ia dilahirkan pada tahun 126 H/744 M. Ia dibesarkan di Yaman dan pernah mengenyam pendidikan di Yaman. Kitab Musannaf ‘Abd al-Razzaq sudah dipublikasikan sejak tahun 1972 sebanyak 11 volume, yang disajikan oleh Habib al-Rahman al-A’zami, dan diterbitkan oleh al-Majelis al-Ilmi, Beirut.[7]  Kitab Musannaf ‘Abd al-Razzaq ini memuat hadis sebanyak 21033 buah.  
Beberapa alasan yang mendasari  Harald Motzki mengambil Kitab Musannaf Abd al-Razzaq ini sebagai objek penelitiannya adalah sebagai berikut:
(1) Musannaf Abd al-Razzaq ini merupakan salah satu kitab yang mewakili dari banyak kitab-kitab hadis tertua pada abad kedua hijriah;
(2) Musannaf Abd al-Razzaq tidak terpengaruh oleh mazhab as-Syafi’i, karena di dalamnya masih murni mengandung materi-materi dari qaul Nabi, qaul Shahabat dan qaul Tabi’in;
(3)  Musannaf Abd al-Razzaq adalah kitab yang memuat informasi yang cukup mewakili perkembangan hukum Islam di Makkah;
(4) Musannaf Abd al-Razzaq adalah kitab yang lebih tua dan lebih tebal dibandingkan dengan musannaf-musannaf yang lain.
Maka wajarlah Motzki mengambil kitab ini sebagi objek kajiannya, karena kitab ini dianggap representatif, sekaligus membuktikan tesa yang dibangun bahwa otentisitas hadis dapat dipertanggung jawabkan. Dengan alasan tersebut di atas, Harald Motzki menjadikan Musannaf ‘Abd al-Razzaq sebagai sumber penelitiannya yang utama.[8]
Dalam penelitiannya tersebut, Motzki berusaha membuktikan otentisitas hadis pada abad pertama hijriah dengan asumsi ketika data sejarah dalam Mushannaf Abdul Razzaq terbukti sebagai dokumen abad pertama yang otentik, maka apa yang berada di dalamnya merupakan rekaman berbagai persolah hukum islam abad pertama. tentunya hal ini berarti hadis juga merupakan sesuatu yang otentik, karena hukum islam mengacu pada hadis juga.

D.    Isnad Cum Matn Analysis
Teori isnad cum matn dipakai oleh Motzki dalam menganalisa Mushannaf ‘Abd al-Razza>q dengan pendekatan tradition-historical. Metode isnad cum matan analysis adalah menganalisis, menelaah baik jalur-jalur periwayatan maupun teks hadis. Di antara karakteristik pendekatan isnad cum matn analysis adalah kualitas seorang perawi tidak hanya didasarkan pada komentar ulama tentang perawi tersebut. Komentar ulama tentangnya menjadi sekunder. Sedangkan Kualitas perawi utama ditentukan terutama oleh matn atau teks dari perawi tersebut.
Adapun pendekatan yang digunakan Motzki adalah Traditional-Historical yaitu menganalisis sekaligus menguji materi-materi dari perawi tertentu.[9] Atau dengan kata lain, pendekatan ini sering didefinisikan dengan metode yang bekerja dengan cara menarik sumber-sumber awal dari kompilasi yang ada, yang tidak terpelihara sebagai karya-karya terpisah dan lebih difokuskan kepada materi-materi para perawi tertentu dari pada hadis-hadis yang terkumpul pada topik tertentu.[10] Dalam hal ini Motzki memfokuskan pada beberapa materi para rawi tertentu yang terdapat dalam Musannaf  ‘Abd al-Razaq.
Motzki memakai analisis untuk menemukan unsur-unsur yang menjadi dasar bagi penemuan apakah sumber dan materi yang dilaporkan adalah otentik atau palsu. Strategi/metode yang dilalui:[11] (1) semua variasi riwayat beserta sanad-sanadnya dikumpulkan, (2) dari sanad-sanad tersebut dibuatlah “diagram pohon sanad” (Isnad Baum Diagram), (3) variasi teks secara sinoptik disusun dan teks-teks yang memiliki kemiripan dimasukkan  dalam kelompok-kelompok tertentu, (4) “kelompok-kelompok teks” (teks yang sekeluarga: Texfamilien) diperbandingkan dengan “kelompok-kelompok sanad” (isnad familien), dan (5) ketika telah ditemukan iterdepedensi, dapat ditarik kesimpulan tentang bentuk teks yang asli, yang disampaikan oleh common link  utama. Dari sini juga dapat diketahui perawi siapa yang bertanggung jawab atas perubahan teks hadis. Dengan metode ini dapat dihindari resiko ketidak-ditemukannya seorang common link yang dipalsukan. Semakin banyak dan panjang variasi teks hadis, maka hasil penelitian metode ini semakin meyakinkan. Menurut Komarudin Amin, teori ini bukanlah sesuatu yang baru, namun dalam prakteknya metode ini hampir tidak diterapkan dalam kajian hadis.[12]
E.     Pembuktian Otentisitas Hadis dalam Mushannaf Abdul Razzaq
Langkah untuk  membuktikan bahwa Mushannaf Abdul Razzaq adalah sumber  otentik abad pertama hjriah, oleh Motzki adalah melakukan penelitian terhadap 3810 hadis. Kemudian untuk membuktikan hal ini, Motzki meneliti empat tokoh yang menjadi sumber otoritas utama dari ‘Abd al-Razzaq, yakni Ma’mar, Ibnu Jurayj, al-Sawri, Ibnu Uyaynah.[13] Dari Ma’mar, ‘Abd al-Razzaq meriwayatkan materinya sekitar 32 %, dari Ibnu Jurayj 29 %, dari al-Sawri 22 %, dan dari Ibnu Uyainah 4 %. Sisanya sekitar 13 % berasal dari 90 rawi lain dari tokoh-tokoh yang berbeda. Lebih jauh, Motzki meneliti sumber dari keempat rawi yang menjadi sumber utama.
                       Pertama adalah materi Ma’mar yang berjumlah 32 % tersebut bersal dari:[14]
a)      Ibn Syihab al-Zuhri (w. 124/742) sebanyak 28 %.
b)      Qatadah bin Diamah (w. 117/735) sebanyak 25 %.
c)      Ayyub bin Abi Tamimah (w. 131/749) sebanyak 11 %
d)     Ibn Tawus (w. 132/750) 5 %
e)      Sumber anonim 6 %
f)       77 sumber lainnya 24 % dan
g)      Pendapat Ma’mar sendiri sekitar 1 %.
                       Kemudian struktur materi yang berasal dari Ibn Jurayj adalah sebagai berikut:[15]
a)      ‘Ata’ ibn Abi Rabah (w. 115/733) sebanyak 39 %
b)      Amr Ibn Dinar (w. 126/743) sebanyak 7 %
c)      Ibnu Syihab al-Zuhri (w. 124/742) 6 %
d)     Ibn Tawus (w. 132/750) 5 %
e)      Sumber anonim 3 %
f)       103 sumber laiannya 37 % dan
g)      Pendapat as-Sauri sendiri sekitar 1 %  

Profil teks yang berasal dari al-Sawri mencakup pendapat hukum al-Sawri sendiri lebih Dominan , yakni sebagai berikut: [16]
a)      Mansur bin al-Mu’tamir  (w. 132/750) sebanyak 7 %
b)      Jabir bin Yazid (w. 128/745) sebanyak 6%
c)      Orang tanpa nama (anunamous) 3 %
d)     161 sumber lainnya 65 %, dan
e)      Pendapat as-Sauri sendiri sekitar 1 %

Koleksi Materi yang berasal dari Ibn Uyaynah dalah sebagai berikut:[17]
a)      Amr bin Dinar (w. 126/743) sebanyak 23 %
b)      In Abi Najih (w. 132/749) sebanyak 9 %
c)      Yahya bin Said al-Ansari (w. 143/760) 8%
d)     Ismail bin Abi Khalid (w. 145/762) 6 %
e)      Orang tanpa nama (anunamous) 3-4 %
f)       37 sumber lainnya 50 %, dan
g)      Pendapat Ibn Uyainah sendiri 0 % (tidak ada pendapat sendiri)

Keempat koleksi teks tersebut menunjukkan adanya kekhasan masing-masing. Dalam hal ini, Motzki berpendapat bahwa kekhasan tersebut menjadi indikator keotentikan riwayat hadis. Tidak mungkin pemalsu menyusun materi dalam susunan yang spesifik dengan perbedaan yang begitu signifikan. Jika memang ia seorang pemalsu, bukankah lebih mudah untuk menyandarkan pada ulama-ulama terkemuka tanpa struktur periwayatan yang bervariasi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa informasi dalam mushannaf Abdul Razzaq adalah otentik, bukan sebuah hasil pemalsuan. Dengan demikian, hal ini berarti hadis juga merupakan sesuatu yang otentik.
Lebih lanjut, Motzki juga meneliti jalur periwayatan Ibnu Juraij ke generasi sebelumnya yang mencakup 1/3 keseluruhan mushannaf. Hadis-hadis tersebut ketika dianalisis secara statistik menunjukkan adanya rujukan kepada otoritas lebih awal yang tidak seimbang dan sporadis. Tidak berhenti pada Ibnu Juraij, Motzki melanjutkan analisisnya terhadap level berikutnya, yaitu memfokuskan pada sumber yang sering diikuti oleh Ibnu Juraij, ‘Ata ibn Abi Rabbah (w. 115). ‘Ata adalah satu-satunya tokoh yang diakui Schacht yang berasal dari Makkah dan sejarah mengenainya dapat ditelusuri. Dengan kata lain, informasi mengenai dirinya dan ajarannya adalah sesuatu yang otentik. Namun, Schacht menyatakan bahwa otentisitas tersebut ditutupi oleh atribusi fiktif pada abad kedua hujriah. Namun hal ini berbeda dengan pendapat Motzki. ia menyatakan bahwa Ibnu Juraij mempunyai hubungan historis yang panjang dengan riwayat ‘Ata, baik itu langsung darinya ataupun dari ulama Makkah. Berdasarkan penelitian Motzki, dari keseluruhan materi Ibn Juraij terlihat sangat bervariasi. Dalam hitungan persen, materi yang disandarkan pada ‘Ata hanya 40%, selebihnya kepada beberapa rowi lain, termasuk materi yang didasarkan pada pendapatnya sendiri. Dari hal ini, mustahil seorang Ibnu Juraij melakukan pemalsuan. Kalau Ibn Juraij pemalsu, tentunya ia tidak akan menyandarkan riwayat dengan sangat complicated.[18] Pada dasarnya guna meneliti Ibn Juraij ini, Motzki menggunakan dua analisa, yaitu External Criteria (kajian sanad) dan Internal Formal Criteria Authenticity (kajian matan; seberapa besar profil Ibn Juraij terefleksi dalam materi ‘Ata).
Dalam External criteria of authenticity, Motzki membaginya menjadi dua bagian. Pertama, magnitude (dari segi sanad) yaitu penelitian atas banyaknya sanad dan penyebarnya. Kedua, genre (dari segi matan) yaitu penelitian atas gaya atau style penyampaian. Dari penelitian magnitude nya terlihat bahwa sumber yang disebutkan Ibnu Juraij sangatlah beragam, 40% kepada ‘Athta’, 25% kepada Amr bin Dina, Ibnu Syihab, Ibn Tawus, Abu az-Zubair dan ‘Abdl Karim, 8,1 % kepada Hisyam bin ‘Urwah, Yahya bin Sa’id, Ibn Abi Mulayka, Musa bin ‘Uqbah dan Amr bin Syu’ab, dst. Sedangkan dari segi genre nya, Motzki membaginya menjadi dua kategori, (1) responsa (jawaban atas pertanyaan, baik dari Ibnu Juraij atau orang lain), seperti ungkapan “saya bertanya kepada ‘Atha’ tentang....” dan (2) dicta, yaitu pernyataan yang tidak didahului pertanyaan, bisa mengndung pendapat sendiri atau orang lain.
Baik analisa magnitude ataupun genre dalam permasalahan otentisitas teks menurut Motzki menunjukan  asumsi bahwa Ibnu Juraij telah melakukan pemalsuan. Hal ini karena dalam analisis genre menunjukkan:  (1) baik responsa ataupun dicta yang muncul dalam proporsi yang memiliki perbedaan begitu signifikan dalam kasus sejumlah sumber Ibnu Juraij dan (2) perbedaan frekuensi gaya pertanyaan (direct, indirect, anonimous, non-anonimous) bertentangan dengan asumsi bahwa Ibnu Juraij telah melakukan projecting back. Bahkan sebaliknya, baik kualitas maupun kuantitas responsa ‘Atha’ atas pertanyaan Ibnu Juraij menunjukkan hubungan historis yang panjang antara keduanya.[19]
Adapun untuk Internal formal criteria of authenticity penelitian difokuskan untuk mengetahui sejauh mana profil Ibnu Juraij terefleksi dalam materi ‘Atha’, berikut ini disebutkan enam hal yang terkategorikan sebagai Internal formal criteria of authenticity:[20]
1.      Ibnu Juraij tidak hanya menyajikan pendapat hukum dari generasi sebelumnya, tapi juga menyampaikan pendapat hukumnya sendiri.
2.      Ibnu Juraij tidak hanya menyajikan materi ‘Atha’, tetapi juga memberikan tafsir, komentar, bahkan kritik terhadap materi tersebut.
3.      Ibnu Juraij juga terkadang mengekspresikan ketidakyakinannya atas maksud dan perkataan ‘Atha’ atas sebuah masalah.
4.      Ibnu Juraij kadang-kadang juga meriwayatkan materi ‘Atha’ dari orang lain.
5.      Adanya upaya Ibnu Juraij untuk menyajikan materinya secara tepat dan verbatim. Hal ini dapat dilihat dalam kasus Ibnu Juraij yang merekam perbedaan ‘Atha’ dari sumber selain ‘Atha’.
6.      Ibnu Juraij juga sewaktu-waktu menunjukan kelemahan sumber insewaktu-waktu menunjukan kelemahan sumber informasinya (‘Atha’).
Dengan demikian, dari dua analisis tersebut, terlihat adanya rujukan kepada otoritas lebih awal yang tidak seimbang dan sporadis, yang mana hal ini jelas menunjukkan bahwa Ibnu Juraij bukanlah pemalsu. Karena bukankah jika ia melakukan pemalsuan ia hanya akan menyandarkan kepada satu atau beberapa fuqaha atau perawi yang terkenal saja. Maka dengan ini, Motzki menyatakan dengan tegas bahwa materi yang disampaikan oleh Ibnu Juraij adalah otentik adanya, ia tidak mungkin melakukan pemalsuan atau projecting back. Di samping itu juga mengingat bahwa keempat koleksi teks dari informan utamanya memiliki kekhasan masing-masing, juga gaya penyajian materi ‘Abd al-Razzaq yang sering mengekspresikan keraguannya atas suatu riwayat. Keraguan ini diakui secara jujur dan terbuka. di mana kekhasan dan keraguan tersebut tidak akan ditemukan pada seseorang yang memang berniat melakukan pemalsuan.[21]
F.     Analisa Terhadap Pemikiran Harald Motzki
 Dalam permasalahan common link, Gregor Schoeler sebagai orang yang berada di kubu pendukung Motkzi, ia berpendapat sama dengan Motkzi, bahwa common link tidak harus dipahami sebagai pemalsu hadis. Lewat artikelnya yang berjudul “Musa bin ‘Uqba’s Maghazi”, ia menunjukkan bahwa satu dari informan common link Az-Zuhri (‘Urwah bin Zubair) benar-benar informnanya.[22] Sementara Irene Schneider mengkritik Motzik dengan menyatakan bahwa penolakan Motzki terhadap common link, jika dipahami sebagai pemalsu hadis, menyiratkan bahwa seorang common link telah meriwayatkan riwayatnya secara autentik, dan hal demikian dinilai Schneider sebagai sesuatu yang mustahil, karena menurutnya perhatian untuk meriwayatkan kata-kata Nabi yang pasti merujuk kepada perawi secara akurat belum dipraktekkan pada masa awal. Ia menuduh Motzki telah melakukan kegagalan dalam masalah tersebut.[23]
Common link bagi Schneider sangat logis untuk diasumsikan sebagai orang yang berperan sentral pada sebuah hadis, mengingat common link adalah orang yang sadar akan kekurangan tersebut dan mulai mengumpulkan riwayat. Dan ia menilai bahwa perawi-perawi yang disebutkan oleh common link bukanlah sesuatu yang dibuat-buat adanya.[24] Di sinilah kiranya yang menjadi titik persamaan pandangan antara Schneider dan Motzi, meskipun di beberapa permasalahan Schneider mengkritik dan meragukan pandangan Motzki.
Schneider juga meragukan penjelasan Motkzi tentang fenomena jalur tunggal (single strand). Keraguan tersebut dijawab oleh Motzki, dengan pernyataan: (1) penghimpun pertama atau perawi awal, mungkin tidak mengetahui bagaimana praktik periwayatan di kemudian hari, dan mereka juga tidak mengetahui bahwa generasi selanjutnya akan membedakan antara periwayatan tunggal dan periwayatan mutawatir. (2) dapat ditunjukkan dari beberapa bundel isnad bahwa pembubuhan beberapa otoritas untuk hadis yang sama (Juynboll mengistilahkan common link yang terbalik (inverted common link) terjadi pada level common link atau lebih belakangan. Yaitu, pada level di mana jalur atau saluran-saluran periwayatan menyebar. Akan tetapi praktek ini adalah pengecualian, dan bukan kebiasaan atau peraturan. Hanyalah kompilasi-kompilasi abad ketiga hijriah atau setelahnyalah yang sering, tapi tidak selamanya, yang melengkapi periwayatannya dengan sejumlah saluran atau jalur periwayatan.[25]
Setelah memperhatikan uraian secara global mengenai pemikiran Motzki, penulis melihat bahwa Motzki senada dengan kubu sanguine (Sezgin, dkk) untuk membantah kubu skeptis yang diwakili Goldziher dan J. Schacht dalam permasalahan awal pembentukan hukum Islam dan penulisan hadis. Sehingga kualitas otentik dapat diterapkan pada hadis-hadis Nabi, hanya saja ketika Sezgin mengusung kitab Jami’  karya Ma’mar oleh Motzki dinilai sebagai kitab (manuscrip) yang tidak terjamin keotentikan dari Ma’mar-nya. Lain dengan dirinya yang mengusung Mushannaf ‘Abd al-Razzaq yang dianggap asli tulisan ‘Abd al-Razzaq.
Berbeda dengan Sezgin, dalam rangka membantah Goldziher ataupun Schacht, Motzki meneliti kitab Mushannaf dengan metode Isnad cum Matan, hal ini terlihat jelas cara kerjanya dan dapat diukur kebenaran ilmiahnya. Keoptimisan akan otentisitas hadispun hanya berani ia berikan kepada hadis-hadis dalam kitab Mushannaf saja, kitab yang sudah ia kaji. Sedangkan Sezgin memberikan cap otentik pada semua hadis yang termaktub dalam kitab-kitab hadis kanonis. Di  samping itu, Motzki juga terlihat tidak sepenuhnya membantah pendapat aliran skeptis, tentang common link misalnya, meski ia tidak menerima jika dikatakan common link adalah seorang pemalsu mutlak, namun di sisi lain ia tidak membantah jika adanya kemungkinnan pemalsuan yang dilakukan oleh seorang common link.
Setelah melakukan kajian ini,  penulis menilai bahwa penelitian yang dilakukan Motzki memiliki nilai akademis tinggi  dan lebih hati-hati, jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh para orientalis sebelumnya.
G.    Kesimpulan
Pemikiran Harald Motzki tentang keotentikan hadis di kalangan orientalis berujung pada kontroversi eksistensi hukum Islam. Hal ini tampak ketika Motzki mencoba mengcounter pendapat Goldziher dan J. Schacht dengan asumsi bahwa hukum Islam telah eksis sejak abad pertama Hijriyah sehingga jurisprudensi Islam yang didasarkan atas al-Qur'an dan hadis adalah sumber yang otentik. Namun ia juga belum sampai pada kategori sanguine seperti Sezgin yang meyakini keotentisitasan hadis yang termaktub dalam kitab hadis kanonis.
Dalam penelitiannya terhadap kitab Mushannaf ‘Abd al-Razza>q al-Shan’ani,  (selama kurang lebih) enam tahun, Motzki tidak melakukan secara keseluruhan terhadap hadis-hadis di dalamnya, melainkan hanya meneliti 21 % hadis dalam kitab tersebut menggunakan metode isnad cum matan dan pendekatan traditional-historical, Motzki dapat membantah adanya projecting back dalam sanad hadis dan menyatakan bahwa seorang common link hanyalah penyebar koleksi hadis secara sistematis. Lebih lanjut lagi dengan dua pisau analisis, External criteria of authenticity dan Internal formal criteria of authenticity, Motzki dapat membuktikan historisitas penyandaran hukum yang dilakukan oleh Ibnu Juraij kepada ‘Atha’. Namun hal ini masih sebatas masa sahabat, belum mencapai Rasulullah.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Kamaruddin. “Book Review: The Origins of Islamic Jurisprudence. Meccan Fiqh before the Classical Schools” dalam Al-Jami’ah Journal of Islamic Stadies, Vol. 41. No.1.2003/1424 H.
­­__________ “Problematika Ulumul Hadis, Sebuah Upaya Pencarian Metodologi Alternatif”, Makalah UIN Alauddin, Makassar.
­­__________ Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis. Jakarta Selatan: Hikmah. 2009.
Arif, Syamsuddin. “Gugatan Orientalis Terhadap Hadis dan Gaungnya  di Dunia Islam” dalam Jurnal al-Insan. Jakarta. vol. 1. No. 2. 2005.    
Berg, Herbert. The Development of Exegesis in Early Islam. Surrey: Curzon Press. 2000.
Dutton, Yasin. The Origins of Islamic Law; the Qur’an, the Muwatta’, and Madinan ‘Amal. London: Curzon Press. 1999.
Motzki, Harald. The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan Fiqh before the Classical Schools. Leiden: Brill. 2002.
Syamsuddin, Sahiron. “Pemetaan Penelitian Orientalis Terhadap Hadis” dalam M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, dkk.. Orientalisme Al-Qur’an dan Hadis . Yogyakarta: Nawesea Press. 2007.
Zuhdi, M. Nurdin. “Otentisitas Hadis: Musannaf ‘Abd Al-Razzaq dalam Perspektif Harald Motzki”, Makalah Program Pascasarja UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarata. 2009.







[1] Middle ground Merupakan aliran tengah antara Skeptism dan non-Skeptis yang tidak menolak secara keseluruhan teori mereka dan tidak pula menerimanya begitu saja. Namu menurut Komarudin Amin, mereka dikategorikan bermazhab non-Skeptis. Lihat Kamarudin Amin, “Problematika Ulumul Hadis, Sebuah Upaya Pencarian Metodologi Alternatif”, Makalah UIN Alauddin, Makassar, hlm. 2.
[2] Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam (Surrey: Curzon Press, 2000), hlm. 26-41.
[3] Kamarudin Amin, Problematika Ulumul Hadis...hlm. 2.
[4] M. Nurdin Zuhdi, “Otentisitas Hadis...hlm. 4-6.
[5] Kamaruddin Amin, “Book Review: The Origins of Islamic Jurisprudence. Meccan Fiqh before the Classical Schools” dalam Al-Jami’ah Journal of Islamic Stadies, Vol. 41. No.1.2003/1424 H, hlm. 201.
[6] Komaruddin Amin, “Book Review: The Origns of Islamic Jurispundence Meccan Fiqh Before the Classical Schools, dalam al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, Vol. 41, 2003, hlm. 1 
[7] Harald Motzki, The Origin of Islamic Jurispundence Meccan Fiqh Before the Classical Schools (Leiden: Boston Koln, 2002), hlm. 62-63.
[8] M. Nurdin Zuhdi, “Otentisitas..., hlm. 12
[9] Kamaruddin Amin, “Book Review: The Origins…, hlm. 201-203.
[10]  Lutfi Rahmatullah, Otentisitas Hadis Dalam Perspektif Harald Motzki . . .,  Hlm: 139
[11] M.Nurdin Zuhri, Otentisitas Hadis Musannaf  ‘Abd al-Razaq dalam perspektif Harald Motzki Hlm …,53.
[12] Kamarudin Amin, Problematika Ulumul Hadis...hlm. 8.
[13]Lihat lebih jelas,  Harald Motzki, The Origin of Islamic…., hlm. 58- 59; Kamarudin Amin, “Book Review: The Origin Of Islamic…, hlm. 212-213.  
[14]Harald Motzki, The Origin of Islamic…., hlm. 58. Lihat pula M. Nurdin Zuhdi, “Otentisitas..., hlm. 16-18
[15]Harald Motzki, The Origin of Islamic…., hlm. 59.
[16]Harald Motzki, The Origin of Islamic…., hlm. 59.
[17]Harald Motzki, The Origin of Islamic…., hlm. 59.
[18]  Harald Motzki, The Origin of Islamic…., hlm. 77-79.
[19] Kamaruddin Amin, Book Review: The Origins of ..., hlm. 217.
[20] Kamaruddin Amin, Book Review: The Origins of ..., hlm. 218.
[21] Kamaruddin Amin, Book Review: The Origins of ..., hlm. 213. Lihat juga Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam (Curzonpress, 2000), hlm. 36.
[22] Komarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan ..., hlm. 171.
[23] Komarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan ...,hlm, 169.
[24] Komarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan ..., hlm. 169.
[25] Komarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan ...,hlm. 170

Tidak ada komentar:

Posting Komentar