Sabtu, 26 Oktober 2013

BAB III,MENINJAU ULANG PENAFSIRAN DIFABEL DALAM AL-QUR’AN

BAB III
MENINJAU ULANG PENAFSIRAN DIFABEL
DALAM AL-QUR’AN
A. Kajian Linguistik Asosiasi Kata Difabel dalam al-Qur’an.
Manusia dalam al-Qur’an secara umum digambarkan dengan tiga istilah kunci yaitu, basyar, insa>n, dan al-na>ss. Meskipun sama-sama menunjukkan arti manusia, tetapi masing-masing memiliki perbedaan penggunaannya. Misalnya saja kata basyar dalam al-Qur’an digunakan  untuk menunjuk manusia sebagai makhluk biologis—baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda—yang biasa makan, minum, berhubungan seks, beraktivitas di pasar, dan lain-lain. Selanjutnya, kata Insa>n digunakan untuk menunjuk manusia dalam tiga konteks; a) keistimewaannya sebagai khalifah dan pemikul amanah, b) prediposisi negatif diri manusia dan c) proses penciptaan manusia.  Sedangkan kata Al-Na>ss menunjuk manusia sebagai makhluk social dan karenanya bersifat horizontal.[1] Secara singkatnya manusia dalam al-Qur’an adalah makhluk biologis, psiko-spiritual, dan social.
Mengenai persoalan fisik, Alla>h swt telah menegaskan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya,[2]bukan hanya fisik, tetapi juga psiko-sosial. Hal ini tentunya berbeda dengan makhluknya yang lain seperti jin, malaikat, hewan, dan tumbuhan. Meskipun, terdapat sebagian orang yang diciptakan dengan fisik yang sempurna dan ada juga yang fisiknya tidak sempurna. Begitu juga sebagai makhluk psiko-sosial, tentunya ada bermacam-macam yang terkategorikan antara yang baik dan yang buruk terkait hubungan secara vertical maupun horizontal. Difabilitas dalam al-Qur’an sendiri digunakan untuk menunjuk kekurangan manusia secara biologis atau fisik, seperti difabel netra (a’ma> dan akmaha), difabel wicara (abkam dan  Akhras}), difabel rungu (a’sham), difabel daksa (a’ra>j),lemah fisik (dha’i>f). Meskipun begitu, al-Qur’an tidak lantas memberikan perbedaan perlakuan atau tidak mendiskriminasikan antara manusia yang “normal” dan yang “difabel”. Berbeda halnya perbedaan perlakuan yang diberikan al-Qur’an pada manusia yang cacat secara moral dan juga social, seperti manusia yang dikalahkan oleh hawa nafsunya sendiri sehingga berbuat dzalim, kafir, bakhil, segan membantu, kufur, senang bermaksiat. Dalam konteks inilah al-Qur’an secara simbolik dan metaphor menyinggung mereka dengan beberapa ungkapan, seperti dalam Q.S al-A’ra>f [7]:179, Q.S Al-H{ajj [22]: 46, Q.S Al-Baqarah [2]: 18. Pembahasan mengenai asosiasi kata yang menunjukkan difabilitas dalam al-Qur’an dijelaskan dalam uraian di bawah ini: 
 
1.      ‘Umyun dan Akmaha (Difabel Netra)
Kedua kata ini secara literal berarti orang yang buta secara fisik. Tetapi sebenarnya memiliki perbedaan makna, karena umyun secara etimologi berarti hilangnya daya penglihatan,[3] begitu juga dalam al-Azhari disebutkan bahwa ‘umyun berarti hilangnya penglihatan pada kedua mata. Sedangkan akmaha bermakna orang yang buta sejak dilahirkan[4], dan terkadang digunakan untuk orang yang hilang penglihatannya (menjadi kabur).[5] Kata akmaha di dalam al-Qur’an hanya bemakna haqiqi. Berbeda dengan penggunaan umyun dan derivasinya dimaknai secara haqiqi dan majazi.  Makna majazi dari ‘umyun digunakan untuk menunjuk orang yang berada dalam kesesatan dan buta mata hati ( QS Al-H{ajj [22]: 46). Al-Ra>zi> memaknainya dengan orang yang memiliki mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat (QS. Al-A’raf [7]: 179 ).[6] Adapun Ibnu Abbas dengan mengutip hadis nabi, memaknai ‘umyun dengan buta terhadap kebenaran, sehingga dia tidak dapat melihatnya.[7] Oleh karena itu, mereka akan dihimpunkan pada hari kiamat dalam keadaan buta (QS. T{a>ha [20] : 124). Dengan demikian, kata ‘umyun secara majazi dianggap berbeda dengan orang yang melihat dan diumpamakan seperti bedanya gelap dengan cahaya (QS. Fa>t}ir [35]: 19 & 20). Berbeda halnya dengan kata ‘umyun secara fisik, diperlakukan secara adil, mereka diberi dispensasi untuk tidak mengerjakan kewajiban yang menggunakan penglihatan dengan digugurkan dosanya  (QS. Nu>r [24]: 61 dan Al-Fath{ [48]: 17 ). 
2.      Bukmun dan  Akhras}} (Difabel wicara)
            Tsa’lab memaknai al-bukmu dengan orang yang dilahirkan dalam keadaan tidak bisa berbicara dan tidak bisa mendengar.[8] Al-Ashfahani mengatakan bahwa setiap orang yang abkam mesti  Akhras}, tapi, tidak semua orang yang  Akhras} itu abkam.[9] Berbeda dengan kata ‘umyun, kedua kata ini hanya digunakan dalam makna majazi, bukan haqiqi. Jadi, yang dimaksud dengan bukmun dalam al-Qur’an, sebagaimana pendapat Mujahid yang dikutip Ibnu Katsir adalah orang yang tidak bisa berbicara dan bertutur kata apapun dan dalam hal kebaikan. Hal ini seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Nah{l [16]: 76, yang ditujukan untuk mengumpamakan berhala seperti dua orang laki-laki yang buta  yang tidak bisa berbuat apapun dan hanya patuh kepada tuannya. Keadaan seperti ini merupakan manusia yang paling buruk di sisi Alla>h sehingga disamakan seperti binatang yang tidak mengerti apapun (QS. Al-Anfa>l [8]: 22. Padahal mereka telah diberikan petunjuk, tetapi mereka tidak mau menerimanya sehingga di hari kiamat mereka akan diseret dalam keadaan bisu (QS. Al-Isra>’ [17]: 97. Begitu juga Ibnu Abbas memaknainya sesuai dengan hadis Nabi saw,  yaitu bisu terhadap kebenaran sehingga dia tidak dapat mengucapkannya. [10]
3.      Shummun (Difabel Rungu)
Kata shummun dan derivasinya, ashamm, berasal dari kata shamama yang artinya “tersumbatnya telinga dan pendengarannya menjadi berat (makna haqiqi)”.[11] Di dalam al-Qur’an kata ini digunakan untuk mensifati orang yang tidak cenderung pada kebaikan dan tidak mau menerimanya (makna majazi).[12] Mereka tidak dapat mendengar kebaikan apalagi memahaminya sebagaimana orang kafir yang disamakan seperti binatang yang tidak mengerti arti panggilan penggembalanya (QS. Al-Baqarah [2]: 171).
4.      A’ra>j (Difabel Daksa)
Kata a’ra>j yang terdapat dalam al-Qur’an bermakna orang yang mengalami kesulitan pada alat gerak kaki (pincang). Kata ini hanya digunakan dalam makna haqiqi-nya saja. Sehingga sikap yang ditunjukkan al-Qur’an pun sama seperti orang normal yang lainnya, tidak ada perbedaan. Mereka juga masuk surga jika mentaati Alla>h sawt dan Rasulnya dan akan diazab jika berpaling dari-Nya (QS. Al-Fath{ [48]: 17). Mereka juga berhak tinggal dan bergabung bersama keluarga dan yang lainnya (QS. Al-Nu>r [24]:61).
5.      Sufaha> (Difabel Gharitha  atau Mental)
Kata sufaha> dalam al-Qur’an diartikan dengan kurang akal dalam artian majazi dan juga haqiqi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya dua sikap al-Qur’an terhadap sufaha> ini, diantaranya: Pertama: mereka yang mendapatkan kecaman dan cap yang tidak baik, yaitu kata sufaha> yang ditujukan kepada orang musyrik yang tidak dapat memahami maksud pemindahan kiblat  sehingga mereka disebut sebagai orang yang kurang akal. Padahal mereka tahu bahwa Dia-lah yang memiliki timur dan barat, sehingga Dia berhak melakukan apapun yang Dia kehendaki (Qs. Al-Baqarah [2]: 142. Orang yang kurang akal (bodoh) menurut al-Qur’an adalah orang yang diajak untuk beriman tetapi mereka tidak mau mereka dengan alasan tidak ingin mengikuti orang yang bodoh, padahal yang bodoh itu adalah diri mereka sendiri (QS. Al-Baqarah [2] : 13). Pemaknaan seperti inilah yang membentuk makna majazi kata sufaha>. Kedua: mereka yang perlu diperhatikan dan diberi pertolongan, bukan malah didiksriminasikan, dan disuruh untuk berkata yang baik terhadap mereka sebagaimana kepada yang lainnya. Yaitu pada kata sufaha> yang digunakan untuk menyebut anak yatim dan orang dewasa yang belum dapat mengurus hartanya sendiri (Qs. Al-Nisa>’[4]. 5. Berbeda dengan sikap yang pertama, sikap yang demikian menunjukkan bahwa Sufaha>  disini merepresentasikan makna haqiqi.
Selain beberapa makna sufah>a di atas, Kata tersebut juga digunakan untuk menyebutkan orang yang orang yang membodohi diri sendiri, memandang baik terhadap pelanggaran agama, seperti membunuh anaknya sendiri, suka mengolok-olok orang lain sebagai orang bodoh, melampaui batas dan mengeluarkan statemen yang menyesatkan, yang lemah akalnya karena masih usia dini, menghasut dan merusak alam, tidak mampu memahami hikmah di balik peristiwa, dan membuat sesuatu yang melanggar aturan.[13]
Kontekstualisai makna
Berdasarkan uraian singkat di atas, nampaklah  bahwa Al-Qur’an memang menggunakan istilah ‘umyun, akfas, abkam,  akhras}y, shummun, a’ra>j, dan sufaha> secara konvensional yang diasosiasikan dengan difabilitas.[14] Kata-kata mengenai difabel kemudian dibahas al-Qur’an dalam dua term, di satu sisi bermakna haqiqi dan di sisi lain bermakna majazi.  Pemaknaan kata-kata ‘umyun, akfas, abkam,  akhras}y, shummun, a’ra>j, sufaha> secara haqiqi inilah yang kita sebut dengan difabel. Respon yang baik ditunjukkan oleh al-Qur’an, jika berhadapan dengan konteks ini. Al-Qur’an sangat menghargai dan memberi akses seluas-luasnya terhadap para penyandang difabel fisik. Mereka tidak boleh dipandang sebelah mata dan diacuhkan. Hal ini karena mereka mempunyai hak berserikat, berkumpul, mendapatkan pendidikan, menjalankan roda ekonomi dan bisnis, sebagaimana manusia lainnya. Celaan yang diberikan al-Qur’an hanya ditujukan bagi orang-orang yang tidak menfungsikan seluruh anggota tubuhnya untuk kebaikan dan kebenaran. 
B.     Penafsiran Ayat-Ayat Difabel dalam Al-Qur’an
Khazanah tafsir al-Qur’an selama ini belum  memberikan perhatian khusus terkait persoalan difabel ini. Waryono Abdul Ghafur menyebutkan sedikitnya ada dua kemungkinan  yang menyebabkan persoalan ini tenggelam dalam lintas sejarah, terutama dalam kajian penafsiran. Pertama , Islam memandang netral terhadap difabel, dengan artian  sepenuhnya menyamakan difabel sebagaimana manusia lainnya. Islam sendiri lebih menekankan pengembangan karakter dan amal shaleh, daripada melihat persoalan fisik seseorang. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Q.S al-Hujurat [49]: 11-13; Q.S Al-Nah{l [16]: 97, Q.S Al-Isra>’[17]: 36 dan al-Nisa>’[4]: 124 . Begitu juga hadis Nabi Muhammad saw: ”Sesungguhnya Alla>h tidak melihat rupa dan jasad kalian, tetapi Dia lebih melihat hati kalian. Dalam redaksi yang lain berdasarkan HR. Thabara>ni>, Nabi bersabda: Sesungguhnya Alla>h tidak melihat rupa atau bentuk, kedudukan, dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal perbuatan kalian, dan hadis yang berbunyi: Sesungguhnya hamba yang paling dicintai Alla>h adalah orang yang mencintai kebaikan sekaligus senang mengerjakannya. Begitulah Islam lebih menekankan pentingnya amal atau perbuatan-perbuatan baik.[15] Hal ini bisa dimaklumi, karena Islam sendiri merupakan kesatuan antara amal dan iman yang tidak bisa dilepaskan.
Faktor kedua yang menyebabkan minimnya kajian mengenai persoalan ini adalah minimnya pengkaji atau penafsir yang muncul dari kalangan difabel. Sebagaimana dalam kajian keilmuan klasik lain seperti dalam bidang akidah, tasawuf, filsafat, maupun hadis. Hal ini sebanding dengan adanya kajian ulama klasik mengenai perempuan yang banyak menunjukkan adanya bias atau terkesan mendiskriminasikan. Tentu saja persoalan ini dikarenakan pengkaji atau penafsir perempuan sangatlah jarang ditemukan dalam sejarah Islam, terutama sepeninggal Nabi Muhammad saw.
Oleh karena itu, pembahasan dalam bab ini akan difokuskan pada kajian penafsiran terhadap ayat-ayat difabel, begitu juga dilihat dari riwayat-riwayat dari Nabi Muhammad saw. Difabel, sebagaimana pemaknaan dalam tema sebelumnya, disebutkan al-Qur’an  menyebutkan beberapa tokoh yang juga merupakan seorang difabel dari segi fisik (haqiqi), bukannya majazi. Peran tersebut dimainkan oleh para Nabi diantaranya Nabi Mu>sa as, Nabi Yaʻqub, begitu juga sahabat Ibnu Ummi Makt>um. Untuk mendapatkan pesan moral dari ayat tersebut, maka terlebih dahulu harus dipahami dengan analisis sejarah serta linguistic. Untuk lebih jelasnya, penafsiran terhadap ayat-ayat difabel diuraikan dalam pemaparan di bawah ini.
1.      Nabi Mu>sa as Seorang Difabel Wicara

وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي
Artinya: Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku, dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku. (Q.S. Taha[20]: 27-28)
Para ulama berbeda pendapat ketika mengomentari kekakuan lidah Nabi Mu>sa as. Pendapat pertama mengatakan bahwa, kekakuan lidah Nabi Mu>sa as merupakan ciptaan Alla>h semata, sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa penyebab kekakuan lidah Nabi Mu>sa as  dikarena terbakarnya lidah beliau oleh bara api sewaktu kecil[16].
Dalam tafsir Thabari disebutkan bahwa kekakuan lidah Nabi Mu>sa as menyebabkan ketidakjelasan dalam berbicara. Diceritakan bahwa sewaktu kecil Nabi Mu>sa as menarik jenggot Fir’aun yang kemudian menyebabkan Fir’aun marah dan ingin membunuhnya. Tetapi Asiyah mengurungkan niat suaminya dengan menjamin Mu>sa as bahwa dia tidak akan menjadi musuh Fir’aun seperti yang dikhawatirkannya. Apa yang dilakukan Mu>sa as adalah semata-mata ketidaktahuannya karena Mu>sa as masih  anak kecil yang tidak tahu mana yang baik dan yang buruk. Untuk meyakinkan Fir’aun, Asiyah memberikan bara Api dan sebuah permata  dengan tujuan menguji Mu>sa as akan Tetapi Mu>sa as memilih bara api dan memakannya. Dari sinilah  Fir’aun sadar bahwa Mu>sa as hanyalah anak kecil yang belum bisa berfikir, yang kemu>dian merubah Fir’aun untuk mengurungkan niatnya membunuh Mu>sa as.
Terlepas dari cerita Fir’aun, terbakarnya lidah Nabi Mu>sa as inilah yang menjadikan dirinya tidak bisa berbicara dengan jelas, oleh karenanya Nabi Mu>sa as meminta kepada Alla>h SWT agar dihilangkan kekakuan dalam lidahnya supaya umat Nabi Mu>sa as mengerti apa yang didakwahkannya.[17]
Kekurangan yang ada dalam lidah nabi Mu>sa as tidaklah menjadikan dirinya tidak bisa berbicara secara keseluruhan[18] hanya saja beliau mengalami sedikit kesulitan dalam berbicara. Ibnu Katsi>r mengartikan hal tersebut sebagai pelat. Sedangkan Tanthawi> Jauhari> mengatakannya dengan gagap/ kegagapan. Disini penulis lebih setuju dengan arti kedua  yang diusung oleh Tanthawi> Jauhari>. Sebagaimana yang dikatakan Ibnu ‘A>syu>r dalam kitabnya, beliau mengumpamakan al-‘aqdah dengan benang atau tali yang mengikat sebagian saraf lidah [19]sehingga menyebabkan sulitnya berbicara karena tali atau benang tersebut mencegah seseorang untuk menggunakan lidahnya dengan cepat[20] sehingga ketika ia bebicara menjadi lambat dan terpotong-potong. Maka dari itu, bisa disimpulkan bahwa al-‘aqdah disini diartikan dengan kegagapan.
Kegagapan yang dialami oleh Nabi Mu>sa as tidaklah menjadikan dirinya putus asa dalam menjalankan tugasnya sebagai Nabi yang menyiarkan agama Alla>h kepada kaumnya. Oleh karenanya, ia berdoa kepada Alla>h dan meminta seseorang dari keluarganya untuk membantunya. Doa nabi Mu>sa as tersebut dikabulkan oleh Alla>h dengan mengangkat Harun menjadi Nabi yang akan bertugas untuk membantu Mu>sa as dalam berdakwah memperjuangkan jalannya[21].
Dari kisah ini tentunya banyak hal yang bisa diambil hikmah, betapa hebatnya seorang difabel seperti Nabi Mu>sa as bisa menjalankan tugas yang begitu berat sebagai penyiar agama dimana seorang penyiar agama sangat membutuhkan lidah yang sempurna untuk menghasilkan retorika yang baik agar nantinya bisa dipahami dan dimengerti oleh kaumnya, apalagi dalam situasi yang sangat sulit, dimana Nabi Mu>sa as harus sabar melawan raja Fir’aun yang sangat kejam dan sangat ditakuti oleh masyarakat Mesir pada waktu itu. Akan tetapi hal tersebut tidaklah menjadikan nabi Mu>sa as putus asa dalam mendakwahkan agamanya. Beliau mempunyai ide menjadikan Ha>ru>n as sebagai teman dakwahnya sehingga apa yang didakwahkan oleh Nabi Mu>sa as bisa dipahami dengan jelas oleh masyarakat Mesir pada waktu itu.
Hal lain yang mungkin terlupakan oleh kita adalah bahwa Alla>h swt tidaklah membedakan Nabi Mu>sa as dengan nabi-nabi lainnya hanya karena kekurangan yang dimiliki olehnya. Nabi Mu>sa as tetaplah menjadi nabi yang bertugas menyampaikan risalahnya dengan baik. Inilah yang merupakan konsep egalitarianime sesungguhnya dalam Islam. Tidak ada pembedaan yang mengkotak-kotakkan antara difabel dan non difabel. Semua manusia adalah sama, makan, minum, belajar, bahkan ketingkat yang sangat sulit seperti berdakwah bisa dilakukan oleh siapapun walaupun dengan cara yang berbeda.
2.      Nabi Yaʻqu>b as: Difabel Netra
4¯<uqs?ur öNåk÷]tã tA$s%ur 4s"yr'¯»tƒ 4n?tã y#ßqムôMžÒuö/$#ur çn$uZøŠtã šÆÏB Èb÷ßsø9$# uqßgsù ÒOŠÏàx.  
Artinya: Dan Ya'qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: "Aduhai duka citaku terhadap Yusuf", dan kedua matanya menjadi putih karena Kesedihan dan Dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya). (Q.S. Yu>suf[12]: 84)
Kata kunci yang digunakan dalam ayat ini adalah wa abyad{d{at ‘ainahu  yaitu “kedua matanya menjadi putih”. Ada beberapa pendapat mengenai makna kalimat ini. Ahli takwil mengatakan bahwa makna wa abyad{d{at ‘ainahu adalah buta.  Hal ini dikarenakan kesedihan yang dialami nabi Ya’qu>b as yang selalu menangis, hingga menyebabkan kebutaan. Pendapat lain  mengatakan bahwa beliau tidak buta, hanya saja penglihatannya menjadi melemah, berbeda dengan pendapat ketiga mengatakan bahwa beliau tidak mengedipkan matanya semenjak berpisah dengan  anaknya nabi Yusuf sampai bertemu kembali selama 80 tahun.
           Ibnu Asyur dalam kitab al-Tahri>r wa al-Tanwi>r berkata bahwa maksud wa abyad{d{at ‘ainahu adalah lemahnya penglihatan yang menyebabkan bergantinya warna hitam bola mata nabi Yaʻqu>b. Hal ini terjadi karena kecintaannya kepada Yu>suf as (putranya) sehingga ia selalu menangis dan menyebabkan bola matanya menjadi putih[22].
Apa yang terjadi tehadap Nabi Yaʻqu>b as merupakan sebuah ujian semata seperti halnya ujian-ujian yang diberikan Alla>h kepada kekasih-kekasih lainnya. Ujian tersebut tidak lain hanyalah untuk menguji seberapa besar  hambanya tersebut bisa bertahan. Nabi Yaʻqu>b as diuji dengan diambilnya putranya yakni Yu>suf as yang sangat ia sayangi dan kasihi sehingga dia sangat sedih dan menangis terus menerus. Tangisan yang tak kunjung berhenti tersebut menambah musibah lain yaitu kebutaan[23]. Tetapi dengan kesabaran yang ia punya, Alla>h kemudian mengembalikan Yu>suf as dan menyembuhkan kebutaan Yaʻqu>b as.
 Dari kisah ini, tentunya menggugah hati betapa tidak berkemanusiaan diri kita mengaggap remeh orang-orang yang memiliki kebutuhan khusus (difabel). Jika kita menengok kisah-kisah terdahulu seperti kisah Nabi Yaʻqu>b as di atas, yang notabene merupakan difabel netra, tentu kita malu jika menganggap para difabel sebagai mahluk hina yang harus dijauhkan. Padahal difabel adalah manusia biasa seperti manusia lainnya. Bahkan sebagian dari kekasih atau nabi-nabi Alla>h swt berasal dari para difabel. Keadaan ini sama halnya dengan difabel-difabel yang ada di masa sekarang. Mereka bisa berkarya dan hidup lebih baik. Bahkan terkadang kita menemukan mereka hidup lebih baik dari kehidupan kita.
3.       Kisah Ibnu Ummi Maktu>m; Difabel Netra
عَبَسَ وَتَوَلَّى (1) أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى (2) وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى (3) أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى (4) أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى (5) فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّى (6) وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّى (7) وَأَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَى (8) وَهُوَ يَخْشَى (9) فَأَنْتَ عَنْهُ تَلَهَّى (10)
Artinya: Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya,Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya, Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Alla>h), maka kamu mengabaikannya (Q.S. Abasa[80]: 1-10)
Ayat di atas merupakan sebuah teguran Alla>h SWT terhadap Nabi Muhammmad dimana pada saat itu Rasulullah kurang responsif dan santun ketika dimintai sebuah petunjuk oleh sahabat Ibnu Ummi Maktu>m[24] yang mengalami kebutaan (tunanetra). Diceritakan bahwa pada suatu hari Rasulullah SAW sedang berdialog dengan para pembesar suku Quraisy[25] dengan harapan agar para pembesar tersebut bersedia untuk masuk Islam. Ditengah-tengah dialog tersebut, datanglah sahabat Ibnu Ummi Makt>um (yang lebih dulu masuk Islam) dengan meminta sebuah petunjuk kepada Nabi[26].
Riwayat dari Muhammad bin Sa’ad dari Ibnu Abba>s mengatakan,” kami bersama Rasululla>h  saw yang sedang berdakwah kepada ‘Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahal bin Hisya>m, dan Abbas bin Abdul Mutha>llib dan beliau mengajak mereka untuk beriman. Namun  tiba-tiba datang seorang difabel netra yaitu Ibnu Ummi Maktu>m. Ia meminta Nabi untuk membacakan ayat al-Qur’an seraya berkata,” ya Rasululla>h! ajarilah aku apa yang Alla>h ajarkan kepadamu. Rasulullah berpaling dan bermuka masam.Kedatangan  Ibnu Ummi Maktu>m ternyata kurang berkenan bagi Nabi saw, karena saat itu Nabi saw sedang menemui para pembesar Quraisy. Setelah dialog dengan para pembesar Quraisy selesai, Nabi pun pulang kepada keluarganya, namun Alla>h menahan sebagian penglihatannya dan kepalanya terasa berdenyut-denyut. Peristiwa inilah yang mengiringi turunnya Q.S ‘Abasa [80’]: 1-4. Setelah kejadian ini beliau selalu memuliakan Ibnu Ummi Makt>um dan  mengajaknya berbicara serta menanyakan hal yang dia inginkan dan dia perlukan seperti  “apa yang kamu inginkan?” atau “apa yang kamu butuhkan?” [27]
Mungkin sempat terlintas dibenak kita mengapa Nabi Muhammad saw yang merupakan suri tauladan seluruh umat melakukan tindakan yang kurang baik terhadap sahabatnya, apalagi terhadap seorang difabel netra. Agar terlepas dari justifikasi yang salah terhadap pribadi Nabi Muhammad saw perlu kita pahami secara baik bahwa Nabi Muhammad saw walupun gelarnya sebagai Nabi, beliau tetaplah manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan.
Kesalahan terhadap Ibnu Ummi Maktu>m di atas, merupakan sebuah dilema Nabi Muhammad saw. di satu sisi, beliau sebagai penyampai risalah sangat bersemangat mengajak para pembesar Quraisy masuk agama Islam. Dimana pada waktu itu, Islam belumlah menjadi agama yang kuat di jazirah Arab. Sehingga jika para pembesar Quraisy  menerima Islam dengan baik tentu akan membantu penyiaran dakwah Nabi. Di sisi lain, nabi Muhammad menghadapi sahabat Ibnu Ummi Maktu>m yang menginginkan penjelasan mengenai ayat al-Qur’an. Tentunya sangatlah senang bisa melayani Ibnu Ummi Maktu>m. Dua kondisi ini sangat membingungkan Nabi Muhammad saw, sehingga beliau memilih kepentingan dakwahnya. Tetapi Usaha Nabi Muhammad saw ini mendapatkan teguran dari Alla>h swt.
Setelah kejadian tersebut, Nabi Muhammad saw sangat menghormati sahabat Ibnu Ummi Maktu>m. Beliau memberikan posisi muadzin kepadanya dan menjadikannya sebagai partner sahabat Bila>l bin Rabbah. Sebagaimana hadis nabi yang berbunyi:
َدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَسَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ كَانَ مُؤَذِّنًا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ أَعْمَى[28]
Artinya :Dari ‘Aisyah bahwasanya Ibnu Ummi Maktu>m merupakan muadzin Rasulullah sedangkan dia adalah seorang yang buta
Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa Nabi begitu memuliakan  Ibnu Ummi Maktu>m dan menjadikannya sebagai mu’adzin. sebagaimana hadis Nabi saw yang berbunyi
َدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَسَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ كَانَ مُؤَذِّنًا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ أَعْمَى[29]
Artinya : Dari Aisyah bahwasanya Ibnu Ummi Makt>um merupakan muadzin Rasulullah sedangkan dia adalah seorang yang buta
Selain itu, Ibnu Ummi Maktu>m juga pernah dipercaya oleh Nabi untuk menggantikannya menjadi “pengganti sementara” atau pelaksana harian (Wali) sebagai pengganti sementara Gubernur Madinah sebanyak dua kali[30], ketika nabi dan sahabat-sahabat yang lainnya bertugas melaksanakan ekspedisi militer (al-Sariyah) atau melakukan peperangan[31], sedangkan Ibnu Ummi Maktu>m memiliki udzur sehingga tidak mewajibkannya untuk ikut berperang[32]. Sebagai wali Madinah, beliau bertanggung-jawab menjaga stabilitas, keamanan dan ketenteraman penduduk Madinah, di samping juga menjadi imam sholat pengganti dalam setiap sholat fardhu.
Abu Ishaq al-Marwazi> dan al-Ghazali> menyebutkan bahwa orang buta yang menjadi imam lebih baik dari pada orang yang melihat karena dia lebih khusyu’ dan terhindar dari kesibukan hati terhadap yang dilihat. Tetapi sebagian ulama lain mentarjihkan imamnya orang yang bisa melihat karena dia lebih mengetahui adanya najis atau tidak. Adapun Mawardi sebagaimana pemahamannya dari Syafi’I bahwa keduanya sama saja tidak ada perbedaan karena kedua-duanya memiliki kelebihan masing-masing. Namun, tidak bisa dikatakan sebab keutamaan orang yang melihat itu karena kebanyakan dari orang yang dijadikan nabi sebagai imam itu adalah orang yang melihat.[33] Selain itu orang buta juga boleh menjadi saksi.[34]
Ide moral yang bisa ditangkap dari sabda ataupun perlakuan Nabi terhadap Ibnu Ummi Makt>um tersebut adalah adanya konsep egalitarianism atau Musa>wah atau persamaan manusia dalam ajaran Islam. Hal ini tentunya selaras dengan fungsi al-Qur’an, bahwa ia merupakan sumber moral umat Islam yang tidak pernah melegalkan adanya pendiskriminasian terhadap setiap manusia. Melainkan mempunyai tujuan dasar , yaitu mengusung persaudaraan yang universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality atau egalitarianism), dan keadilan social (social  justice).[35] Upaya mensejajarkan difabel dan non difabel (Ibnu Ummi Maktu>m dan Bila>l bin Rabbah) oleh nabi dengan jelas memberi isyarat bahwa semua manusia yang ada di muka bumi ini dalah sama. Baik yang kuat- lemah, laki-laki-perempuan, sempurna-cacat, besar –kecil. Mereka mempunyai hak yang sama dan mampu melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Namun, perlu diketahui, bentuk egalitarianism yang ditawarkan Islam tidak berarti harus menyamakan dalam segala hal, tetapi lebih pada memberikan hak yang sesuai untuk mereka. Contohnya pada suatu riwayat tentang turunnya ayat la> yastawi al-qa’idu>na min al-muʻmini>na  , ketika itu Nabi saw memanggil Zaid untuk menulisnya, maka Ibnu Ummi Maktu>m mengadu kepada Nabi tentang halangannya, lalu turun kembali ayat la> yastawi al-qa’idu>na min al-muʻmini>na ghairu u>li al-d{arari.[36] pada awalnya ayat pada hadis ini merupakan perintah untuk berjihad kepada seluruh muslim. Namun, setelah Ibnu Ummi Makt>um yang memiliki kekurangan dalam penglihatannya mengadukan halangan yang tidak memungkinkan baginya untuk berjihad, maka ayat kembali turun dengan memberikan dispensasi terhadap orang yang memiliki halangan termasuk Ibnu Ummi Makt>um.
Beberapa aspek yang menjadi hak para difabel menyangkut persamaan hak dalam bidang pendidikan, politik, ekonomi, social, budaya dan lain-lain. Dalam hak pendidikan al-Qur’an memberikan legitimasinya dalam Q.S Abasa [80] : 11[37] merupakan sebuah wasiat tentang konsep egalitarianism dalam hal keilmuan. Dalam tafsir Ibnu Katsi>r disebutkan bahwa dalam masalah keilmuan tidak ada diskrimanasi antara mereka yang mulia dan yang rendah[38]. Ayat  ini cukup jelas memberikan kesamaan hak keilmuan terhadap semua orang termasuk para difabel.

C.  Menggali Nilai-Nilai Egalitarianism dalam Penafsiran
Uraian panjang mengenai penafsiran kisah-kisah di atas, sebenarnya merupakan usaha menyingkap realitas para utusan Alla>h swt yang notabene adalah para difabel. Selama ini kita kurang menyadari adanya peran yang dimainkan oleh para difabel dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga kita kurang menganggap eksistensi mereka sebagai manusia sebagaimana manusia lain yang non-difabel. Realitas yang dijelaskan Alla>h swt terkait difabel dalam al-Qur’an, sesugguhnya hanyalah sedikit dari realitas peran difabel di masa lalu. Nabi Mu>sa as  beserta Nabi Yaʻqub merupakan realita difabel yang ada sebelum kenabian Muhammad saw. Sejarah yang terekam dalam beberapa kitab-kitab sirah juga mengungkap adanya sahabat-sahabat Nabi saw yang difabel, seperti Ibn Qutaibah al-Dainawuri [39](w.276 H/898 H)  yang banyak mengulas sahabat-sahabat Nabi saw yang difabel dalam karyanya yang berjudul Al-Ma’arif[40].  Begitu juga Ibnu Sa’ad[41] yang juga membahas difabilitas dalam karyanya yang berjudul al-Tabaqat al-Kabi>r[42], seperti Sahabat ‘Urwah bin Zubair, putra dari sahabat Zubair bin Awwa>m yang disebut-sebut mengalami penyakit ganas dan kronis pada kakinya, sehingga harus diamputasi dan menjadi seorang difabel.[43]
Informasi mengenai sahabat-sahabat Nabi saw yang difabel diungkap oleh Nurul Hak[44] dalam makalahnya “Difabilitas dalam Sejarah Islam”, yang dirujuknya dari al-Ma’arif, karya Ibn Qutaibah. 
1. Nama-Nama Individu Difabel (Kategori Tidak Melihat Sebelah Matanya)
Abu Sufyan Bin H{arb, al-‘Asy’at} Bin Qais, al-Mugh>irah Bin Syu’bah, Jari>r Bin Abdullah al-Bajli, Adi Bin Hatim, Utbah Bin Abu Sufyan, Qubaidah Bin Du’aib, al-Asytar al-Nakh’i, al-Mukhtar Bin Abu Ubaid, Malik Bin Masma’, Qais Bin Maksuh al-Muradi, Ibrahim Bin Nakh’i, al-Hatif Bin al-Sajf, Ali Bin Haitham, Ibn Maqbal Abdullah Bin ‘Umair, Akhu Ubaidillah, al-Aswad Bin Yazid, al-Harth al-A’war sahabat Ali, Abu Makhlid al-Sudusi, Habib Bin Abu Thabit, Jabir Bin Zaid Abu al-Sya’tha. (Ibn Qutaibah al-Dainawari, hlm. 324.)

2. Nama-nama Individu Difabel (Kategori pincang kakinya) 
Abu Talib, paman Nabi Muhammad s.a.w. (sebelah matanya tidak melihat), Muadz Bin Jabal, al-Khaufazan Bin Syark, Abdullah Bin Jad’an al-Laithi, Amr Bin Jamu’, Ziyad Bin Khasfah, al-Rubai’ Bin Mas’ud al-Kalbi, Abdul Hamid Bin Abdurrahman Bin Zaid Bin Khattab, ‘Alqamah Bin Zaid, sahabat Abdullah Bin Mas’ud, Rashid al-Hijri, Sa’id Bin Abu ‘Arubah, Ibrahim Bin Muhammad Bin Talhah Bin Ubaidillah, Abu Hazm al-Madani, al-Ghamar Bin Yazid Bin Abdul Malik, Abdullah Bin Raja al-Muhadith, Mujalid Bin Mas’ud (sahabat nabi), Ahnaf Bin Qais, Abu al-Aswad al-Daili dan lain-lain. (Ibn Qutaibah al-Dainawari, hlm. 320 dan 322)

3. Nama-nama Individu Difabel (Kategori Tuna Rungu)
Abban Bin Usman Bin ‘Affan r.a., Ubaidah al-Silmani, Muhammad Bin Saironi, Abdullah Bin Yazid Bin Hurmuz, al-Kamit.

            Berdasarkan data tersebut, kita ketahui bahwa individu difabel merupakan bagian dari komunitas Arab pada pra dan awal Islam. ia memiliki hak dan kewajiban yang sama, begitu juga mempunyai peran yang sama dalam struktur pemerintahan dan kultur kehidupan daulah Islam. Kultur dan struktur sosio-politik masyarakat Arab dan Islam klasik lebih ditekankan pada aspek previllage(keistimewaan), dan perbedaan dalam kedudukan dan peran sosio-politik dari sisi zurriyat (keturunan), suku dan ras, seperti perbedaan Arab Qahthan dan Arab Adnan, suku Quraisy dan bukan Quraisy, dan bangsa Arab dan non Arab. Factor-faktor inilah yang lebih diperhatikan daripada aspek perbedaan dari kategori kekurangan fisik (Difabilitas)nya. Previllage juga pada umumnya dianut oleh keluarga khalifah masa daulah Islam.
            Paman Nabi Abu Thalib yang notabene adalah seorang difabel, nyatanya berperan penting dalam struktur sosio-kultural. Ia pemimpin dari suku Bani Hasyim yang berperan besar dalam memimpin suku Qurays yang telah berjasa melindungi kelangsungan hidup dan dakwah  Muhammad saw. Begitu juga, sahabat Ibnu Ummi Makt>um yang telah dijelaskan di atas, diberikan kepercayaan oleh Nabi saw untuk bertindak sebagai muazzin kedua setelah Bilal bi Rabbah. Ia juga diketahui telah ditugaskan sebagai pelaksana harian (wali) pengganti sementara Gubernur Madinah, ketika Nabi saw dan sahabat-sahabatnya bertugas melaksanakan ekspedisi perang.
Sebagaimana Farid Esack yang menyatakan bahwa selama ini keadilan harus ditegakkan, salah satunya dengan membebaskan kaum yang tertindas dan termarjinalkan.Pendapat Esack juga yang menyatakan bahwa kaum tertindas atau termarjinalkan juga bisa menjadi pemimpin, sebagaimana kisah para utusan Alla>h swt, Nabi Mu>sa as saw yang membebaskan bani Israil dari penindasan dan kezaliman Fir’aun. Meskipun ia dilanda kekurangan dalam hal lisan, sehingga hal inilah yang menjadi tantangan khusus bagi dirinya sendiri.  Nabi Yaʻqub yang begitu tabah dan sabar juga diuji Alla>h swt dengan hilangnya fungsi penglihatan yang terjadi di masa tuanya. Kondisi demikian, tidak mengganggu tugasnya menjadi seorang utusan Alla>h swt.  Kisah Ibnu Ummi Makt>um yang diberi wewenang Nabi saw untuk menjadi imam shalat, muazzin, serta wali pengganti sementara Gubernur Madinah, mencerminkan bahwa Nabi Muhammad saw merupakan seorang pembebas yang mengangkat dan menyetarakan posisi Ibnu Ummi Makt>um dengan sahabat lainnya dalam hal imam shalat, muazzin, dan juga pemimpin pemerintahan. Maksud dari egalitarianism yang diperjuangkan Nabi saw di sini adalah dalam hal memberikan hak-hak yang sesuai dengan para sahabat difabel. Hal inilah yang harusnya menjadi pijakan kita untuk memperjuangkan hak-hak para difabel di lingkungan sekitar kita.
Dewasa ini, kita mengenal pemikir Islam kontemporer seperti Toha Husein, yang merupakan seorang difabel yang berpandangan maju, berpikiran terbuka, dan kontroversial. Ia terkenal sebagai seorang sastrawan dan kritikus sastra. Ia sempat menggegerkan sebagian masyarakat dan ulama Mesir terkait ide-idenya yang kontroversial. Ia sendiri pernah menjabat menteri pendidikan di Mesir pada awal abad ke-20.[45] Abdurrahman Wahid yang merupakan pemikir Islam progressif di Indonesia juga adalah seorang difabel. Kemampuan penglihatan salah satu matanya tidak berfungsi ketika ia sudah menjelang tua,. Meskipun begitu kiprahnya dalam dunia social, politik, kultural, maupun keagamaan tidak dapat diragukan lagi. Ia disebut-sebut telah banyak melakukan upaya-upaya mengenalkan Islam yang humanis, dengan membela kaum lemah dan tertindas. Beberapa kebijakan terkait difabel yang dikeluarkannya antara lain, adanya Gerakan  Aksesbilitas Umum Nasional (GAUN), dan membubarkan Departemen Sosial.[46]
Pada dasarnya nilai-nilai egalitarianism yang diusung al-Qur’an sudah mulai diperjuangkan oleh pihak-pihak di luar sana. Perjuangan yang dilakukan dengan mengembangkan sikap-sikap humanitarian, tanpa mempersoalkan latar belakang kultur, agama, dan etnik. Penjelasan singkat mengenai penafsiran ayat-ayat difabel ini menurut hemat penulis bisa memberikan sumbangsih dalam merubah pandangan masyarakat terhadap difabel. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa difabel adalah bagian dari masyarakat, dan juga hidup dalam masyarakat sebagai manusia social sebagaimana mestinya. Teks keagamaan pun bagi sebagian masyarakat dijadikan titik tumpuan dalam kehidupannya, sehingga penafsiran mengenai difabel ini berguna bersama langkah praksis yang diusahakan oleh berbagai pihak, untuk meminimalisir adanya diskriminasi tersebut.



















[1] Dikutip dari makalah Waryono Abdul Ghafur, Difabilitas dalam Al-Qur’an. Disampaikan pada seminar Islam dan Difabel tanggal 20 Desember 2011.
[2] Q.S al-Tîn: 4 
[3] CD ROM Maktabah Syamilah , Al-Mu’jam al-Wasith, juz. 1, hlm. 1086
[4] CD ROM Maktabah Syamilah , Lisanul ‘arab, juz. 13hlm. 536
[5] Al-Husien bin Muhammad al-Raghib al-Ahsfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, (Lebanon: Dar al-Ma’rifah) hlm. 442
[6] CD ROM Maktabah Syamilah, Tafsir al-Razi, juz 12, hlm. 178
[7] CD ROM Maktabah Syamilah , Al-Thabari juz, 1, hlm. 331
[8] CD ROM Maktabah Syamilah,  Lisan al-‘Arab, juz. 12, hlm. 53
[9] Al-Husien bin Muhammad al-Raghib al-Ahsfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, (Lebanon: Dar al-Ma’rifah) hlm. 58
[10]CD ROM Maktabah Syamilah,  Al-Thabari juz, 1, hlm. 331
[11] CD ROM Maktabah Syamilah , Lisan al-‘Arab, juz. 12, hlm. 342
[12] Al-Husien bin Muhammad al-Raghib al-Ahsfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, (Lebanon: Dar al-Ma’rifah) hlm. 286
[13] Zubair Ahmad, ”Safah” dalam Nasaruddin Umar, Ensiklopedia al-Qur’an,hlm. 857-9.
[14]Dikutip dari makalah Waryono Abdul Ghafur, Difabilitas dalam Al-Qur’an,hlm.15.
[15] Waryono Abdul Ghafur, Difabilitas dalam Al-Qur’an….hlm.2.
[16] Ar-Ra>zi>, Mafa>tih al-Gaib, dalam DVD ROM al-Maktabah al-Sya>milah (Bandung: Pustaka Ridwan, 2008), juz. 10  hlm.400
[17] Lihat Muhammad bin Jari>r al-Thabari>, Jami’ al-Baya>n fi Ta’wi>l al-Qur’a>n dalam DVD ROM al-Maktabah al-Sya>milah (Bandung: Pustaka Ridwana, 2008), juz. 18,  hlm, 289. Penafsiran terhadap surat Ta>h{a[20]: 27.
[18] Hal ni dapat dilihat  dalam surat al-Zuhruf ayat 52, dimana mengindikasikan bahwa Nabi Musa bisa masih bisa berbica am ana> khairun min haz|a> al-laz{i> huwa mahi>nun wa la> yaka>du.
Artinya : Bukankah aku lebih baik dari orang yang hina ini dan yang hampir tidak dapat menjelaskan (perkataannya)?
[19]  Ibnu ‘A>syu>r Al-Tahri>r wa al-Tanwi>r, DVD ROM al-Maktabah al-Sya>milah (Bandung: Pustaka Ridwana, 2008), juz.1,  hlm, 263
[20]  Ibnu ‘A>syu>r, Al-Tahri>r wa al-Tanwi>r….., juz.1,  hlm, 263
[21] Lihat Muhammad bin Jari>r al-Thabari>, Jami’ al-Baya>n fi Ta’wi>l al-Qur’a>n dalam DVD ROM al-Maktabah al-Sya>milah (Bandung: Pustaka Ridwana, 2008), juz. 18,  hlm, 289. Penafsiran terhadap surat Ta>h{a[20]: 27.

[22] Ibnu ‘A>syu>r, Al-Tahri>r wa al-Tanwi>r….., juz 7,hlm.317
[23] Lihat tafsir Ibnu Katsi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Adzi>m, DVD ROM al-Maktabah al-Sya>milah (Bandung: Pustaka Ridwana, 2008), juz.4 hlm 404
قال ابن أبي حاتم: حدثنا أبي، حدثنا حماد بن سلمة [حدثنا أبو موسى]، عن علي بن زيد (3) عن الحسن، عن الأحنف بن قيس، أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "إن داود عليه السلام، قال: يا رب، إن بني إسرائيل يسألونك بإبراهيم وإسحاق ويعقوب، فاجعلني لهم رابعا. فأوحى الله تعالى إليه أن يا داود، إن إبراهيم ألقي في النار بسببي فصبر، وتلك بلية لم تنلك، وإن إسحاق بذل مهجة (4) دمه في سببي فصبر، وتلك بلية لم تنلك، وإن يعقوب أخذت منه حبيبه حتى ابيضت عيناه من الحزن، فصبر، وتلك بلية لم تنلك
[24]  Nama lengkap Ummi Maktu>m adalah Abdullah bin Ummi Maktu>m. Ia merupakan difabel netra yang berasal dari bani amr. Ummi Maktum termasuk sahabat yang sudah lama masuk Islam di Makkah yang Kemudian ikut hijrah ke Madinah. Ia juga seorang Muadzin yang menjadi partner sahabat Billal bin Rabbah. Ummi Maktum meninggal di Qodasiyah ketika masa pemerintahan Umar bin Khattab.  Lihat di Al-Isti’a>b fi Ma’rifat al-Saha>bah, juz 2 hlm.86. nama ayah Ibnu Ummi Maktu>m adalah Qais bin Zaidah  dan ibunya bernama ‘Atikah binti Abdulla>h al-makhzumiyyah, nama ini disebabakan karena ibunya ini memiliki anak yang buta maka dia digelar dengan Umm Maktum karena  tersembunyinya cahaya penglihatannya. Diketahui bahwa dia mulai buta dua bulan pasca perang Badar. Lihat Fath{ul Ba>ri’ Syarh{ li Shahi>h Bukha>ri pada hadis no. 582 dalam DVD ROM al-Maktabah al-Sya>milah (Bandung: Pustaka Ridwan, 2008)

[25] Dalam sebuah riwayat, pembesar tersebut adalah Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahl bin Hisya>m dan ‘Abba>s bin Abdul Mutha>lib. Nabi Muhammad menginginkan mereka masuk Islam, karena merka memiliki pengaruh yang cukup besar, sehingga mereka bisa memperkuat agama Islam. Lihat ibnu Katsi>r DVD ROM al-Maktabah al-Sya>milah (Bandung: Pustaka Ridwana, 2008),320 juz 8
ثم روى ابن جرير وابن أبي حاتم أيضا من طريق العوفي، عن ابن عباس قوله: (عَبَسَ وَتَوَلَّى * أَنْ جَاءَهُ الأعْمَى ) قال: بينا رسولُ الله صلى الله عليه وسلم يناجي عتبةَ بن ربيعة، وأبا جهل بنَ هشام، والعباس بن عبد المطلب-وكان يتصدى لهم كثيرا، ويحرص (5) عليهم أن يؤمنوا
[26] Muhammad bin ‘Ali al-Syaukani, Fath{ul Qadi>r, dalam DVD ROM al-Maktabah al-Sya>milah (Bandung: Pustaka Ridwan, 2008), hlm.423. juz 7. lihat juga di ibnu Katsi>r juz 8 hlm.319
[27] Lihat Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an dalam DVD ROM al-Maktabah al-Sya>milah (Bandung: Pustaka Ridwana, 2008),juz 24. Hlm.218. Riwayat ini juga terdapat dalam Tirmidzi> 3254 dengan kualitas hasan dan Malik 426 dengan kualitas shahi>h yang berbunyi
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ سَعيدٍ الْأَمَوِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ هَذَا مَا عَرَضْنَا عَلَى هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ أُنْزِلَ عَبَسَ وَتَوَلَّى فِي ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ الْأَعْمَى أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَعَلَ يَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرْشِدْنِي وَعِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ مِنْ عُظَمَاءِ الْمُشْرِكِينَ فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْرِضُ عَنْهُ وَيُقْبِلُ عَلَى الْآخَرِ وَيَقُولُ أَتَرَى بِمَا أَقُولُ بَأْسًا فَيَقُولُ لَا فَفِي هَذَا أُنْزِلَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ وَرَوَى بَعْضُهُمْ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ أُنْزِلَ عَبَسَ وَتَوَلَّى فِي ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ وَلَمْ يَذْكُرْ فِيهِ عَنْ عَائِشَةَ
[28] Abu Dāwud, Sunan Abi Dāwud, hadis 450 dalam CD Mawsu’ah al-Hadīŝ al-SyarĪf, Global Islamic Software.
[29] Abu Dāwud, Sunan Abi Dāwud, hadis 450 dalam CD Mawsu’ah al-Hadīŝ al-SyarĪf, Global Islamic Software.
[30]Abu Dāwud, Sunan Abi Dāwud, hadis 503 dalam CD Mawsu’ah al-Hadīŝ al-SyarĪf, Global Islamic Software.
[31] Mengambil pengganti sementara pelaksanaan harian dalam jabatan penting seperti gubernur dilakukan juga oleh para sahabat nabi al-Khulafa al-rasyidun berikutnya, sehingga ia menjadi sebuah tradisi berkelanjutan selama masa al-Khulafa al-Rasyidun. Lihat Abdul Aziz Ibrahim al’Umri, Dr., al-Wilayah ‘ala al-Buldan fi ‘Ashr al-Khulafa al-Rasyidin, (Saudi Arabia : Dar Asybalia, 2001), hlm. 228.  
[32] Abu Dāwud, Sunan Abi Dāwud, hadis 503 dalam CD Mawsu’ah al-Hadīŝ al-SyarĪf, Global Islamic Software
[33] Abu tayyib, Aunul Ma’bu>d,syarh{ Sunan Ab>u Da>wu>d dalam CD Mawsu’ah al-Hadīŝ al-SyarĪf, Global Islamic Software.
[34] Ibnu Hajar al-Asqala>ni, Syarh{ Shahi>h al-Bukha>ri dalam CD Mawsu’ah al-Hadīŝ al-SyarĪf, Global Islamic Software.
[35] Ashgar Ali Angineer,Islam dan Teologi Pembebasan, terj.Agung Prihantoro,( Yogyakarta :Pustaka Pelajar,2009),hal.33.
[36]Bukha>ri, Shahih Bukhari, hadis no 2619 dalam CD Mawsu’ah al-Hadīŝ al-SyarĪf, Global Islamic Software.
[37] Ayat tersebut berbunyi:  kalla> innaha> taz{kirah[37] yang artinya Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan
[38] Lihat tafsir Ibnu Katsi>r, Tafsir al-Qur’a>n al-Adzi>m, DVD ROM al-Maktabah al-Sya>milah (Bandung: Pustaka Ridwana, 2008. Hlm. 312.
[39] Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdulla>h Bin Muslim Bin Qutaibah al-Dinawari . ia adalah seorang sejarawan Irak yang hidup pada masa periode kedua atau akhir Daulah Abbasiyah.
[40] Dalam karyanya, al-Ma’arif, al-Dainawuri menyebutkan beberapa daftar nama sahabat-sahabat Nabi Muhammad s.a.w. yang difabel. Dia juga menulis kategori-kategori difabilitas yang disandang oleh para sahabat tersebut; tuna netra, tuna rungu, dan kekurangan anggota-anggota fisik yang lain. Selain itu, dia juga membagi Difabilitas mereka berdasarkan pada pembawaan sejak lahir dan perkembangan setelah dewasa.
[41] Seorang penulis awal biografi Nabi Muhammad s.a.w. dan ensiklopedi para sahabat dan tabi’in, murid dan sekretaris al-Waqidi.
[42] Sebenarnya Ibn Qutaibah mengulas Difabilitas dalam konteks ulasan tentang penyakit-penyakit dan kekurangan-kekurangan fisik yang dimiliki (“disandang) oleh beberapa orang dari masa awal Islam, baik dari kelompok masyarakat non-Muslim, para sahabat maupun para tabi’in. Dia tidak secara khusus membahas tema tersebut. Ibn Qutaibah menyebutnya dengan Ahl al-‘Ahat, yang di dalamnya termasuk kecacatan pisik dan kekurangan pada anggota badan. Lihat Ibn Qutaibah al-Dainawari, al-Ma’arif, (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah), hlm. 320-324.dikutip dari makalah Nurul Hak, Difabilitas dalam Sejarah Islam, disampaikan dalam seminar “Islam dan Difabilitas” yang diadakan oleh Pusat Studi Layanan Difabel  UIN Sunan Kalijaga, pada tanggal 20 Desember 2011.

[44]  Saat ini ia menjabat dosen Sejarah Islam di jurusan BPI Fakultas Dakwa, UIN Sunan Kalijaga.

[45] Nurul Hak, Difabilitas dalam Sejarah Islam,hlm. 8.
[46] Dikutip dalam Mendengar Gus Dur Soal Difabel, www.amexdifabel.wordpress.com diakses tanggal 14 Januari.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar