BAB III
MENINJAU ULANG PENAFSIRAN DIFABEL
DALAM AL-QUR’AN
A. Kajian
Linguistik Asosiasi Kata Difabel dalam al-Qur’an.
Manusia
dalam al-Qur’an secara umum digambarkan dengan tiga istilah kunci yaitu, basyar,
insa>n, dan al-na>ss. Meskipun sama-sama menunjukkan arti manusia,
tetapi masing-masing memiliki perbedaan penggunaannya. Misalnya saja kata basyar
dalam al-Qur’an digunakan untuk menunjuk manusia sebagai makhluk
biologis—baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda—yang biasa makan,
minum, berhubungan seks, beraktivitas di pasar, dan lain-lain. Selanjutnya, kata Insa>n digunakan untuk
menunjuk manusia dalam tiga konteks; a) keistimewaannya sebagai khalifah dan
pemikul amanah, b) prediposisi negatif diri manusia dan c) proses penciptaan
manusia. Sedangkan kata Al-Na>ss menunjuk manusia
sebagai makhluk social dan karenanya bersifat horizontal.[1] Secara singkatnya manusia dalam
al-Qur’an adalah makhluk biologis, psiko-spiritual, dan social.
Mengenai
persoalan fisik, Alla>h swt telah menegaskan bahwa manusia diciptakan dalam
bentuk yang sebaik-baiknya,[2]bukan
hanya fisik, tetapi juga psiko-sosial. Hal ini tentunya berbeda dengan
makhluknya yang lain seperti jin, malaikat, hewan, dan tumbuhan. Meskipun,
terdapat sebagian orang yang diciptakan dengan fisik yang sempurna dan ada juga
yang fisiknya tidak sempurna. Begitu juga sebagai makhluk psiko-sosial,
tentunya ada bermacam-macam yang terkategorikan antara yang baik dan yang buruk
terkait hubungan secara vertical maupun horizontal. Difabilitas dalam al-Qur’an
sendiri digunakan untuk menunjuk kekurangan manusia secara biologis atau fisik,
seperti difabel netra (a’ma> dan akmaha), difabel wicara (abkam
dan Akhras}), difabel rungu (a’sham),
difabel daksa (a’ra>j),lemah fisik (dha’i>f). Meskipun
begitu, al-Qur’an tidak lantas memberikan perbedaan perlakuan atau tidak
mendiskriminasikan antara manusia yang “normal” dan yang “difabel”. Berbeda
halnya perbedaan perlakuan yang diberikan al-Qur’an pada manusia yang cacat
secara moral dan juga social, seperti manusia yang dikalahkan oleh hawa
nafsunya sendiri sehingga berbuat dzalim, kafir, bakhil, segan membantu, kufur,
senang bermaksiat. Dalam konteks inilah al-Qur’an secara simbolik dan metaphor
menyinggung mereka dengan beberapa ungkapan, seperti dalam Q.S al-A’ra>f [7]:179,
Q.S Al-H{ajj [22]: 46, Q.S Al-Baqarah [2]: 18. Pembahasan mengenai asosiasi
kata yang menunjukkan difabilitas dalam al-Qur’an dijelaskan dalam uraian di
bawah ini:
1.
‘Umyun dan Akmaha (Difabel Netra)
Kedua kata ini secara literal berarti orang yang buta secara fisik.
Tetapi sebenarnya memiliki perbedaan makna, karena ‘umyun secara etimologi berarti
hilangnya daya penglihatan,[3]
begitu juga dalam al-Azhari disebutkan bahwa ‘umyun berarti
hilangnya penglihatan pada kedua mata. Sedangkan akmaha bermakna orang
yang buta sejak dilahirkan[4],
dan terkadang digunakan untuk orang yang hilang penglihatannya (menjadi kabur).[5]
Kata akmaha di dalam al-Qur’an hanya bemakna haqiqi. Berbeda
dengan penggunaan umyun dan derivasinya dimaknai secara haqiqi
dan majazi. Makna majazi
dari ‘umyun digunakan untuk menunjuk orang yang berada dalam kesesatan
dan buta mata hati ( QS Al-H{ajj [22]: 46). Al-Ra>zi> memaknainya dengan
orang yang memiliki mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat (QS. Al-A’raf
[7]: 179 ).[6]
Adapun Ibnu Abbas dengan mengutip hadis nabi, memaknai ‘umyun dengan buta
terhadap kebenaran, sehingga dia tidak dapat melihatnya.[7]
Oleh karena itu, mereka akan dihimpunkan pada hari kiamat dalam keadaan buta (QS. T{a>ha
[20] : 124). Dengan demikian, kata ‘umyun secara majazi dianggap
berbeda dengan orang yang melihat dan diumpamakan seperti bedanya gelap dengan
cahaya (QS. Fa>t}ir [35]: 19 & 20). Berbeda halnya dengan kata ‘umyun
secara fisik, diperlakukan secara adil, mereka diberi dispensasi untuk
tidak mengerjakan kewajiban yang menggunakan penglihatan dengan digugurkan
dosanya (QS. Nu>r [24]: 61 dan
Al-Fath{ [48]: 17 ).
2.
Bukmun dan Akhras}} (Difabel wicara)
Tsa’lab memaknai al-bukmu dengan
orang yang dilahirkan dalam keadaan tidak bisa berbicara dan tidak bisa
mendengar.[8]
Al-Ashfahani mengatakan bahwa setiap orang yang abkam mesti Akhras}, tapi, tidak semua orang yang Akhras} itu abkam.[9]
Berbeda dengan kata ‘umyun, kedua kata ini hanya digunakan dalam
makna majazi, bukan haqiqi. Jadi, yang dimaksud dengan bukmun dalam
al-Qur’an, sebagaimana pendapat Mujahid yang dikutip Ibnu Katsir adalah orang
yang tidak bisa berbicara dan bertutur kata apapun dan dalam hal kebaikan. Hal
ini seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Nah{l [16]: 76, yang ditujukan
untuk mengumpamakan berhala seperti dua orang laki-laki yang buta yang tidak bisa berbuat apapun dan hanya
patuh kepada tuannya. Keadaan seperti ini merupakan manusia yang paling buruk di
sisi Alla>h sehingga disamakan seperti binatang yang tidak mengerti apapun
(QS. Al-Anfa>l [8]: 22. Padahal mereka telah
diberikan petunjuk, tetapi mereka tidak mau menerimanya sehingga di hari kiamat
mereka akan diseret dalam keadaan bisu (QS. Al-Isra>’ [17]: 97. Begitu juga Ibnu Abbas memaknainya sesuai dengan
hadis Nabi saw, yaitu bisu
terhadap kebenaran sehingga dia tidak dapat mengucapkannya. [10]
3.
Shummun (Difabel Rungu)
Kata shummun
dan derivasinya, ashamm, berasal dari kata shamama yang
artinya “tersumbatnya telinga dan pendengarannya menjadi berat (makna haqiqi)”.[11]
Di dalam al-Qur’an kata ini digunakan untuk mensifati orang yang tidak
cenderung pada kebaikan dan tidak mau menerimanya (makna majazi).[12]
Mereka tidak dapat mendengar kebaikan apalagi memahaminya sebagaimana orang
kafir yang disamakan seperti binatang yang tidak mengerti arti panggilan
penggembalanya (QS. Al-Baqarah [2]: 171).
4.
A’ra>j (Difabel Daksa)
Kata a’ra>j
yang terdapat dalam al-Qur’an bermakna orang yang mengalami kesulitan pada
alat gerak kaki (pincang). Kata ini hanya digunakan dalam makna haqiqi-nya
saja. Sehingga sikap yang ditunjukkan al-Qur’an pun sama seperti orang normal
yang lainnya, tidak ada perbedaan. Mereka juga masuk surga jika mentaati Alla>h
sawt dan Rasulnya dan akan diazab jika berpaling dari-Nya (QS. Al-Fath{ [48]:
17). Mereka juga berhak tinggal dan bergabung bersama keluarga dan yang lainnya
(QS. Al-Nu>r [24]:61).
5.
Sufaha> (Difabel Gharitha atau Mental)
Kata sufaha>
dalam al-Qur’an diartikan dengan kurang akal dalam artian majazi dan
juga haqiqi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya dua sikap al-Qur’an
terhadap sufaha> ini, diantaranya: Pertama: mereka yang
mendapatkan kecaman dan cap yang tidak baik, yaitu kata sufaha> yang
ditujukan kepada orang musyrik yang tidak dapat memahami maksud pemindahan
kiblat sehingga mereka disebut sebagai
orang yang kurang akal. Padahal mereka tahu bahwa Dia-lah yang memiliki timur
dan barat, sehingga Dia berhak melakukan apapun yang Dia kehendaki (Qs.
Al-Baqarah [2]: 142. Orang yang kurang akal (bodoh) menurut al-Qur’an adalah
orang yang diajak untuk beriman tetapi mereka tidak mau mereka dengan alasan
tidak ingin mengikuti orang yang bodoh, padahal yang bodoh itu adalah diri
mereka sendiri (QS. Al-Baqarah [2] : 13). Pemaknaan seperti inilah yang
membentuk makna majazi kata sufaha>. Kedua: mereka yang
perlu diperhatikan dan diberi pertolongan, bukan malah didiksriminasikan, dan
disuruh untuk berkata yang baik terhadap mereka sebagaimana kepada yang
lainnya. Yaitu pada kata sufaha> yang digunakan untuk menyebut anak
yatim dan orang dewasa yang belum dapat mengurus hartanya sendiri (Qs. Al-Nisa>’[4].
5. Berbeda dengan sikap yang pertama, sikap yang demikian menunjukkan bahwa Sufaha>
disini merepresentasikan makna haqiqi.
Selain
beberapa makna sufah>a di atas, Kata tersebut juga digunakan untuk menyebutkan
orang yang orang yang membodohi diri sendiri, memandang baik
terhadap pelanggaran agama, seperti membunuh anaknya sendiri, suka mengolok-olok
orang lain sebagai orang
bodoh, melampaui batas dan mengeluarkan statemen yang menyesatkan, yang lemah
akalnya karena masih usia dini, menghasut dan merusak alam, tidak mampu
memahami hikmah di balik peristiwa, dan membuat sesuatu yang melanggar aturan.[13]
Kontekstualisai makna
Berdasarkan
uraian singkat di atas, nampaklah bahwa
Al-Qur’an memang menggunakan istilah ‘umyun, akfas, abkam, akhras}y, shummun, a’ra>j, dan
sufaha> secara konvensional yang diasosiasikan dengan difabilitas.[14]
Kata-kata mengenai difabel kemudian dibahas al-Qur’an dalam dua term, di satu
sisi bermakna haqiqi dan di sisi lain bermakna majazi. Pemaknaan kata-kata ‘umyun, akfas, abkam, akhras}y, shummun, a’ra>j, sufaha>
secara haqiqi inilah yang kita sebut dengan difabel. Respon yang baik
ditunjukkan oleh al-Qur’an, jika berhadapan dengan konteks ini. Al-Qur’an
sangat menghargai dan memberi akses seluas-luasnya terhadap para penyandang
difabel fisik. Mereka tidak boleh dipandang sebelah mata dan diacuhkan. Hal ini
karena mereka mempunyai hak berserikat, berkumpul, mendapatkan pendidikan,
menjalankan roda ekonomi dan bisnis, sebagaimana manusia lainnya. Celaan yang
diberikan al-Qur’an hanya ditujukan bagi orang-orang yang tidak menfungsikan
seluruh anggota tubuhnya untuk kebaikan dan kebenaran.
B.
Penafsiran Ayat-Ayat Difabel dalam
Al-Qur’an
Khazanah tafsir al-Qur’an selama ini
belum memberikan perhatian khusus
terkait persoalan difabel ini. Waryono Abdul Ghafur menyebutkan sedikitnya ada
dua kemungkinan yang menyebabkan
persoalan ini tenggelam dalam lintas sejarah, terutama dalam kajian penafsiran.
Pertama , Islam memandang netral terhadap difabel, dengan artian sepenuhnya menyamakan difabel sebagaimana
manusia lainnya. Islam sendiri lebih menekankan pengembangan karakter dan amal
shaleh, daripada melihat persoalan fisik seseorang. Hal ini sebagaimana dijelaskan
dalam Q.S al-Hujurat [49]: 11-13; Q.S Al-Nah{l [16]: 97, Q.S Al-Isra>’[17]:
36 dan al-Nisa>’[4]: 124 . Begitu juga hadis Nabi Muhammad saw: ”Sesungguhnya Alla>h
tidak melihat rupa dan jasad kalian, tetapi Dia lebih melihat hati kalian”. Dalam redaksi yang lain berdasarkan
HR. Thabara>ni>, Nabi bersabda: Sesungguhnya Alla>h tidak melihat
rupa atau bentuk, kedudukan, dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati
dan amal perbuatan kalian, dan hadis yang berbunyi: Sesungguhnya hamba
yang paling dicintai Alla>h adalah orang yang mencintai kebaikan sekaligus
senang mengerjakannya. Begitulah Islam lebih menekankan pentingnya amal atau
perbuatan-perbuatan baik.[15]
Hal ini bisa dimaklumi, karena Islam sendiri merupakan kesatuan antara amal dan
iman yang tidak bisa dilepaskan.
Faktor kedua yang menyebabkan minimnya
kajian mengenai persoalan ini adalah minimnya pengkaji atau penafsir yang
muncul dari kalangan difabel. Sebagaimana dalam kajian keilmuan klasik lain
seperti dalam bidang akidah, tasawuf, filsafat, maupun hadis. Hal ini sebanding
dengan adanya kajian ulama klasik mengenai perempuan yang banyak menunjukkan
adanya bias atau terkesan mendiskriminasikan. Tentu saja persoalan ini
dikarenakan pengkaji atau penafsir perempuan sangatlah jarang ditemukan dalam
sejarah Islam, terutama sepeninggal Nabi Muhammad saw.
Oleh karena itu, pembahasan dalam bab
ini akan difokuskan pada kajian penafsiran terhadap ayat-ayat difabel, begitu
juga dilihat dari riwayat-riwayat dari Nabi Muhammad saw. Difabel, sebagaimana
pemaknaan dalam tema sebelumnya, disebutkan al-Qur’an menyebutkan beberapa tokoh yang juga
merupakan seorang difabel dari segi fisik (haqiqi), bukannya majazi. Peran
tersebut dimainkan oleh para Nabi diantaranya Nabi Mu>sa as, Nabi Yaʻqub, begitu juga sahabat Ibnu Ummi Makt>um. Untuk
mendapatkan pesan moral dari ayat tersebut, maka terlebih dahulu harus dipahami
dengan analisis sejarah serta linguistic. Untuk lebih jelasnya, penafsiran
terhadap ayat-ayat difabel diuraikan dalam pemaparan di bawah ini.
1.
Nabi Mu>sa as Seorang
Difabel Wicara
وَاحْلُلْ عُقْدَةً
مِنْ لِسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي
Artinya: Dan lepaskanlah
kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku, dan jadikanlah untukku seorang
pembantu dari keluargaku. (Q.S. Taha[20]: 27-28)
Para
ulama berbeda pendapat ketika mengomentari kekakuan lidah Nabi Mu>sa as.
Pendapat pertama mengatakan bahwa, kekakuan lidah Nabi Mu>sa as merupakan
ciptaan Alla>h semata, sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa penyebab
kekakuan lidah Nabi Mu>sa as dikarena
terbakarnya lidah beliau oleh bara api sewaktu kecil[16].
Dalam tafsir Thabari disebutkan bahwa kekakuan lidah Nabi Mu>sa
as menyebabkan ketidakjelasan dalam berbicara. Diceritakan bahwa sewaktu kecil
Nabi Mu>sa as menarik jenggot Fir’aun yang kemudian menyebabkan Fir’aun
marah dan ingin membunuhnya. Tetapi Asiyah mengurungkan niat suaminya dengan
menjamin Mu>sa as bahwa dia tidak akan menjadi musuh Fir’aun seperti yang
dikhawatirkannya. Apa yang dilakukan Mu>sa as adalah semata-mata
ketidaktahuannya karena Mu>sa as masih
anak kecil yang tidak tahu mana yang baik dan yang buruk. Untuk
meyakinkan Fir’aun, Asiyah memberikan bara Api dan sebuah permata dengan tujuan menguji Mu>sa as akan Tetapi
Mu>sa as memilih bara api dan memakannya. Dari sinilah Fir’aun sadar bahwa Mu>sa as hanyalah anak
kecil yang belum bisa berfikir, yang kemu>dian merubah Fir’aun untuk
mengurungkan niatnya membunuh Mu>sa as.
Terlepas dari cerita Fir’aun, terbakarnya lidah Nabi Mu>sa as
inilah yang menjadikan dirinya tidak bisa berbicara dengan jelas, oleh
karenanya Nabi Mu>sa as meminta kepada Alla>h SWT agar dihilangkan
kekakuan dalam lidahnya supaya umat Nabi Mu>sa as mengerti apa yang
didakwahkannya.[17]
Kekurangan yang ada dalam lidah nabi Mu>sa as tidaklah
menjadikan dirinya tidak bisa berbicara secara keseluruhan[18] hanya saja beliau mengalami sedikit kesulitan
dalam berbicara. Ibnu Katsi>r mengartikan hal tersebut sebagai pelat.
Sedangkan Tanthawi> Jauhari> mengatakannya dengan gagap/ kegagapan.
Disini penulis lebih setuju dengan arti kedua
yang diusung oleh Tanthawi> Jauhari>. Sebagaimana yang dikatakan
Ibnu ‘A>syu>r dalam kitabnya, beliau mengumpamakan al-‘aqdah dengan
benang atau tali yang mengikat sebagian saraf lidah [19]sehingga
menyebabkan sulitnya berbicara karena tali atau benang tersebut mencegah
seseorang untuk menggunakan lidahnya dengan cepat[20] sehingga ketika ia
bebicara menjadi lambat dan terpotong-potong. Maka dari itu, bisa disimpulkan
bahwa al-‘aqdah disini diartikan dengan kegagapan.
Kegagapan yang dialami oleh Nabi Mu>sa as tidaklah menjadikan
dirinya putus asa dalam menjalankan tugasnya sebagai Nabi yang menyiarkan agama
Alla>h kepada kaumnya. Oleh karenanya, ia berdoa kepada Alla>h dan
meminta seseorang dari keluarganya untuk membantunya. Doa nabi Mu>sa as
tersebut dikabulkan oleh Alla>h dengan mengangkat Harun menjadi Nabi yang
akan bertugas untuk membantu Mu>sa as dalam berdakwah memperjuangkan
jalannya[21].
Dari kisah
ini tentunya banyak hal yang bisa diambil hikmah, betapa hebatnya seorang
difabel seperti Nabi Mu>sa as bisa menjalankan tugas yang begitu berat
sebagai penyiar agama dimana seorang penyiar agama sangat membutuhkan lidah
yang sempurna untuk menghasilkan retorika yang baik agar nantinya bisa dipahami
dan dimengerti oleh kaumnya, apalagi dalam situasi yang sangat sulit, dimana
Nabi Mu>sa as harus sabar melawan raja Fir’aun yang sangat kejam dan sangat
ditakuti oleh masyarakat Mesir pada waktu itu. Akan tetapi hal tersebut
tidaklah menjadikan nabi Mu>sa as putus asa dalam mendakwahkan agamanya.
Beliau mempunyai ide menjadikan Ha>ru>n as sebagai teman dakwahnya
sehingga apa yang didakwahkan oleh Nabi Mu>sa as bisa dipahami dengan jelas
oleh masyarakat Mesir pada waktu itu.
Hal lain
yang mungkin terlupakan oleh kita adalah bahwa Alla>h swt tidaklah
membedakan Nabi Mu>sa as dengan nabi-nabi lainnya hanya karena kekurangan
yang dimiliki olehnya. Nabi Mu>sa as tetaplah menjadi nabi yang bertugas
menyampaikan risalahnya dengan baik. Inilah yang merupakan konsep
egalitarianime sesungguhnya dalam Islam. Tidak ada pembedaan yang
mengkotak-kotakkan antara difabel dan non difabel. Semua manusia adalah sama,
makan, minum, belajar, bahkan ketingkat yang sangat sulit seperti berdakwah
bisa dilakukan oleh siapapun walaupun dengan cara yang berbeda.
2.
Nabi Yaʻqu>b as: Difabel Netra
4¯<uqs?ur öNåk÷]tã tA$s%ur 4s"yr'¯»t 4n?tã y#ßqã ôMÒuö/$#ur çn$uZøtã ÆÏB Èb÷ßsø9$# uqßgsù ÒOÏàx.
Artinya:
Dan Ya'qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: "Aduhai
duka citaku terhadap Yusuf", dan kedua matanya menjadi putih karena
Kesedihan dan Dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap
anak-anaknya). (Q.S. Yu>suf[12]: 84)
Kata kunci
yang digunakan dalam ayat ini adalah wa abyad{d{at ‘ainahu yaitu “kedua matanya menjadi putih”. Ada
beberapa pendapat mengenai makna kalimat ini. Ahli takwil mengatakan bahwa
makna wa
abyad{d{at ‘ainahu adalah buta. Hal ini dikarenakan kesedihan yang dialami
nabi Ya’qu>b as yang selalu menangis, hingga menyebabkan kebutaan. Pendapat
lain mengatakan bahwa beliau tidak buta,
hanya saja penglihatannya menjadi melemah, berbeda dengan pendapat ketiga
mengatakan bahwa beliau tidak mengedipkan matanya semenjak berpisah dengan anaknya nabi Yusuf sampai bertemu kembali
selama 80 tahun.
Ibnu Asyur
dalam kitab al-Tahri>r wa al-Tanwi>r berkata bahwa maksud wa
abyad{d{at ‘ainahu adalah lemahnya penglihatan yang
menyebabkan bergantinya warna hitam bola mata nabi Yaʻqu>b. Hal
ini terjadi karena kecintaannya kepada Yu>suf as (putranya) sehingga ia
selalu menangis dan menyebabkan bola matanya menjadi putih[22].
Apa yang
terjadi tehadap Nabi Yaʻqu>b as merupakan sebuah ujian
semata seperti halnya ujian-ujian yang diberikan Alla>h kepada
kekasih-kekasih lainnya. Ujian tersebut tidak lain hanyalah untuk menguji
seberapa besar hambanya tersebut bisa
bertahan. Nabi Yaʻqu>b as diuji dengan diambilnya
putranya yakni Yu>suf as yang sangat ia sayangi dan kasihi sehingga dia
sangat sedih dan menangis terus menerus. Tangisan yang tak kunjung berhenti
tersebut menambah musibah lain yaitu kebutaan[23].
Tetapi dengan kesabaran yang ia punya, Alla>h kemudian mengembalikan Yu>suf
as dan menyembuhkan kebutaan Yaʻqu>b as.
Dari kisah ini, tentunya menggugah hati betapa
tidak berkemanusiaan diri kita mengaggap remeh orang-orang yang memiliki
kebutuhan khusus (difabel). Jika kita menengok kisah-kisah terdahulu seperti
kisah Nabi Yaʻqu>b as di atas, yang notabene
merupakan difabel netra, tentu kita malu jika menganggap para difabel sebagai
mahluk hina yang harus dijauhkan. Padahal difabel adalah manusia biasa seperti
manusia lainnya. Bahkan sebagian dari kekasih atau nabi-nabi Alla>h swt berasal
dari para difabel. Keadaan ini sama halnya dengan difabel-difabel yang ada di
masa sekarang. Mereka bisa berkarya dan hidup lebih baik. Bahkan terkadang kita
menemukan mereka hidup lebih baik dari kehidupan kita.
3.
Kisah Ibnu Ummi Maktu>m; Difabel Netra
عَبَسَ
وَتَوَلَّى (1) أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى (2) وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى
(3) أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى (4) أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى (5) فَأَنْتَ
لَهُ تَصَدَّى (6) وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّى (7) وَأَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَى
(8) وَهُوَ يَخْشَى (9) فَأَنْتَ عَنْهُ تَلَهَّى (10)
Artinya: Dia
(Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta
kepadanya,Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa),
atau dia
(ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya,
Padahal
tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).
Dan adapun
orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),
sedang ia
takut kepada (Alla>h), maka kamu mengabaikannya (Q.S. Abasa[80]: 1-10)
Ayat di atas
merupakan sebuah teguran Alla>h SWT terhadap Nabi Muhammmad dimana pada saat
itu Rasulullah kurang responsif dan santun ketika dimintai sebuah petunjuk oleh
sahabat Ibnu Ummi Maktu>m[24]
yang mengalami kebutaan (tunanetra). Diceritakan bahwa pada suatu hari
Rasulullah SAW sedang berdialog dengan para pembesar suku Quraisy[25]
dengan harapan agar para pembesar tersebut bersedia untuk masuk Islam.
Ditengah-tengah dialog tersebut, datanglah sahabat Ibnu Ummi Makt>um (yang
lebih dulu masuk Islam) dengan meminta sebuah petunjuk kepada Nabi[26].
Riwayat dari
Muhammad bin Sa’ad dari Ibnu Abba>s mengatakan,” kami bersama Rasululla>h
saw yang sedang berdakwah kepada ‘Utbah
bin Rabi’ah, Abu Jahal bin Hisya>m, dan Abbas bin Abdul Mutha>llib dan
beliau mengajak mereka untuk beriman. Namun
tiba-tiba datang seorang difabel netra yaitu Ibnu Ummi Maktu>m. Ia
meminta Nabi untuk membacakan ayat al-Qur’an seraya berkata,” ya Rasululla>h!
ajarilah aku apa yang Alla>h ajarkan kepadamu. Rasulullah berpaling dan
bermuka masam.Kedatangan Ibnu Ummi Maktu>m
ternyata kurang berkenan bagi Nabi saw, karena saat itu Nabi saw sedang menemui
para pembesar Quraisy. Setelah dialog dengan para pembesar Quraisy selesai,
Nabi pun pulang kepada keluarganya, namun Alla>h menahan sebagian
penglihatannya dan kepalanya terasa berdenyut-denyut. Peristiwa inilah yang
mengiringi turunnya Q.S ‘Abasa [80’]: 1-4. Setelah kejadian ini beliau selalu
memuliakan Ibnu Ummi Makt>um dan
mengajaknya berbicara serta menanyakan hal yang dia inginkan dan dia
perlukan seperti “apa yang kamu inginkan?”
atau “apa yang kamu butuhkan?” [27]
Mungkin sempat terlintas dibenak kita
mengapa Nabi Muhammad saw yang merupakan suri tauladan seluruh umat melakukan
tindakan yang kurang baik terhadap sahabatnya, apalagi terhadap seorang difabel
netra. Agar terlepas dari justifikasi yang salah terhadap pribadi Nabi Muhammad
saw perlu kita pahami secara baik bahwa Nabi Muhammad saw walupun gelarnya
sebagai Nabi, beliau tetaplah manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan.
Kesalahan terhadap Ibnu Ummi Maktu>m
di atas, merupakan sebuah dilema Nabi Muhammad saw. di satu sisi, beliau
sebagai penyampai risalah sangat bersemangat mengajak para pembesar Quraisy
masuk agama Islam. Dimana pada waktu itu, Islam belumlah menjadi agama yang
kuat di jazirah Arab. Sehingga jika para pembesar Quraisy menerima Islam dengan baik tentu akan membantu
penyiaran dakwah Nabi. Di sisi lain, nabi Muhammad menghadapi sahabat Ibnu Ummi
Maktu>m yang menginginkan penjelasan mengenai ayat al-Qur’an. Tentunya
sangatlah senang bisa melayani Ibnu Ummi Maktu>m. Dua kondisi ini sangat
membingungkan Nabi Muhammad saw, sehingga beliau memilih kepentingan dakwahnya.
Tetapi Usaha Nabi Muhammad saw ini mendapatkan teguran dari Alla>h swt.
Setelah
kejadian tersebut, Nabi Muhammad saw sangat menghormati sahabat Ibnu Ummi Maktu>m.
Beliau memberikan posisi muadzin kepadanya dan menjadikannya sebagai partner
sahabat Bila>l bin Rabbah. Sebagaimana hadis nabi yang berbunyi:
َدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ سَلَمَةَ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَالِمِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَسَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ هِشَامِ بْنِ
عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ كَانَ مُؤَذِّنًا
لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ أَعْمَى[28]
Artinya :Dari ‘Aisyah bahwasanya
Ibnu Ummi Maktu>m merupakan muadzin Rasulullah sedangkan dia adalah seorang
yang buta
Dalam
riwayat lain juga disebutkan bahwa Nabi begitu memuliakan Ibnu Ummi Maktu>m dan menjadikannya sebagai
mu’adzin. sebagaimana hadis Nabi saw yang berbunyi
َدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ سَلَمَةَ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَالِمِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَسَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ هِشَامِ بْنِ
عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ كَانَ مُؤَذِّنًا
لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ أَعْمَى[29]
Artinya : Dari Aisyah bahwasanya
Ibnu Ummi Makt>um merupakan muadzin Rasulullah sedangkan dia adalah seorang
yang buta
Selain itu, Ibnu Ummi Maktu>m juga pernah dipercaya oleh
Nabi untuk menggantikannya menjadi “pengganti sementara” atau pelaksana harian (Wali)
sebagai pengganti sementara Gubernur Madinah sebanyak dua kali[30],
ketika nabi dan sahabat-sahabat yang lainnya bertugas melaksanakan ekspedisi
militer (al-Sariyah) atau melakukan peperangan[31],
sedangkan Ibnu Ummi Maktu>m memiliki udzur sehingga tidak
mewajibkannya untuk ikut berperang[32].
Sebagai wali Madinah, beliau bertanggung-jawab menjaga stabilitas, keamanan dan
ketenteraman penduduk Madinah, di samping juga menjadi imam sholat pengganti
dalam setiap sholat fardhu.
Abu Ishaq
al-Marwazi> dan al-Ghazali> menyebutkan bahwa orang buta yang menjadi
imam lebih baik dari pada orang yang melihat karena dia lebih khusyu’ dan
terhindar dari kesibukan hati terhadap yang dilihat. Tetapi sebagian ulama lain
mentarjihkan imamnya orang yang bisa melihat karena dia lebih mengetahui adanya
najis atau tidak. Adapun Mawardi sebagaimana pemahamannya dari Syafi’I bahwa
keduanya sama saja tidak ada perbedaan karena kedua-duanya memiliki kelebihan
masing-masing. Namun, tidak bisa dikatakan sebab keutamaan orang yang melihat
itu karena kebanyakan dari orang yang dijadikan nabi sebagai imam itu adalah
orang yang melihat.[33]
Selain itu orang buta juga boleh menjadi saksi.[34]
Ide moral yang bisa ditangkap dari
sabda ataupun perlakuan Nabi terhadap Ibnu Ummi Makt>um tersebut adalah
adanya konsep egalitarianism atau Musa>wah atau persamaan manusia dalam
ajaran Islam. Hal ini tentunya selaras dengan fungsi al-Qur’an, bahwa ia merupakan
sumber moral umat Islam yang tidak pernah melegalkan adanya pendiskriminasian
terhadap setiap manusia. Melainkan mempunyai tujuan dasar , yaitu mengusung
persaudaraan yang universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality
atau egalitarianism), dan keadilan social (social justice).[35]
Upaya mensejajarkan difabel dan non difabel (Ibnu Ummi Maktu>m dan Bila>l
bin Rabbah) oleh nabi dengan jelas memberi isyarat bahwa semua manusia yang ada
di muka bumi ini dalah sama. Baik yang kuat- lemah, laki-laki-perempuan,
sempurna-cacat, besar –kecil. Mereka mempunyai hak yang sama dan mampu
melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Namun, perlu
diketahui, bentuk egalitarianism yang ditawarkan Islam tidak berarti harus
menyamakan dalam segala hal, tetapi lebih pada memberikan hak yang sesuai untuk
mereka. Contohnya pada suatu riwayat tentang turunnya ayat la> yastawi
al-qa’idu>na min al-muʻmini>na , ketika itu Nabi saw memanggil Zaid untuk
menulisnya, maka Ibnu Ummi Maktu>m mengadu kepada Nabi tentang halangannya,
lalu turun kembali ayat la> yastawi al-qa’idu>na min al-muʻmini>na
ghairu u>li al-d{arari.[36]
pada awalnya ayat pada hadis ini merupakan perintah untuk berjihad kepada
seluruh muslim. Namun, setelah Ibnu Ummi Makt>um yang memiliki kekurangan
dalam penglihatannya mengadukan halangan yang tidak memungkinkan baginya untuk
berjihad, maka ayat kembali turun dengan memberikan dispensasi terhadap orang
yang memiliki halangan termasuk Ibnu Ummi Makt>um.
Beberapa aspek yang menjadi hak para
difabel menyangkut persamaan hak dalam bidang pendidikan, politik, ekonomi,
social, budaya dan lain-lain. Dalam hak pendidikan al-Qur’an memberikan
legitimasinya dalam Q.S Abasa [80] : 11[37]
merupakan sebuah wasiat tentang konsep egalitarianism
dalam hal keilmuan. Dalam tafsir Ibnu Katsi>r disebutkan bahwa dalam
masalah keilmuan tidak ada diskrimanasi antara mereka yang mulia dan yang
rendah[38].
Ayat ini cukup jelas memberikan kesamaan
hak keilmuan terhadap semua orang termasuk para difabel.
C. Menggali
Nilai-Nilai Egalitarianism dalam Penafsiran
Uraian
panjang mengenai penafsiran kisah-kisah di atas, sebenarnya merupakan usaha
menyingkap realitas para utusan Alla>h swt yang notabene adalah para
difabel. Selama ini kita kurang menyadari adanya peran yang dimainkan oleh para
difabel dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga kita kurang menganggap
eksistensi mereka sebagai manusia sebagaimana manusia lain yang non-difabel.
Realitas yang dijelaskan Alla>h swt terkait difabel dalam al-Qur’an,
sesugguhnya hanyalah sedikit dari realitas peran difabel di masa lalu. Nabi Mu>sa
as beserta Nabi Yaʻqub merupakan realita difabel yang ada sebelum kenabian Muhammad
saw. Sejarah yang terekam dalam beberapa kitab-kitab sirah juga mengungkap
adanya sahabat-sahabat Nabi saw yang difabel, seperti Ibn Qutaibah al-Dainawuri
[39](w.276
H/898 H) yang banyak mengulas
sahabat-sahabat Nabi saw yang difabel dalam karyanya yang berjudul Al-Ma’arif[40]. Begitu juga Ibnu Sa’ad[41]
yang juga membahas difabilitas dalam karyanya yang berjudul al-Tabaqat al-Kabi>r[42],
seperti Sahabat ‘Urwah bin Zubair, putra dari sahabat Zubair bin Awwa>m yang
disebut-sebut mengalami penyakit ganas dan kronis pada kakinya, sehingga harus
diamputasi dan menjadi seorang difabel.[43]
Informasi mengenai sahabat-sahabat Nabi
saw yang difabel diungkap oleh Nurul Hak[44]
dalam makalahnya “Difabilitas dalam Sejarah Islam”, yang dirujuknya dari al-Ma’arif,
karya Ibn Qutaibah.
1. Nama-Nama Individu Difabel (Kategori
Tidak Melihat Sebelah Matanya)
Abu Sufyan Bin H{arb, al-‘Asy’at} Bin
Qais, al-Mugh>irah Bin Syu’bah, Jari>r Bin Abdullah al-Bajli, Adi Bin
Hatim, Utbah Bin Abu Sufyan, Qubaidah Bin Du’aib, al-Asytar al-Nakh’i,
al-Mukhtar Bin Abu Ubaid, Malik Bin Masma’, Qais Bin Maksuh al-Muradi, Ibrahim
Bin Nakh’i, al-Hatif Bin al-Sajf, Ali Bin Haitham, Ibn Maqbal Abdullah Bin
‘Umair, Akhu Ubaidillah, al-Aswad Bin Yazid, al-Harth al-A’war sahabat Ali, Abu
Makhlid al-Sudusi, Habib Bin Abu Thabit, Jabir Bin Zaid Abu al-Sya’tha. (Ibn Qutaibah al-Dainawari, hlm. 324.)
2. Nama-nama Individu Difabel (Kategori
pincang kakinya)
Abu Talib, paman Nabi Muhammad s.a.w.
(sebelah matanya tidak melihat), Muadz Bin Jabal, al-Khaufazan Bin Syark,
Abdullah Bin Jad’an al-Laithi, Amr Bin Jamu’, Ziyad Bin Khasfah, al-Rubai’ Bin
Mas’ud al-Kalbi, Abdul Hamid Bin Abdurrahman Bin Zaid Bin Khattab, ‘Alqamah Bin
Zaid, sahabat Abdullah Bin Mas’ud, Rashid al-Hijri, Sa’id Bin Abu ‘Arubah,
Ibrahim Bin Muhammad Bin Talhah Bin Ubaidillah, Abu Hazm al-Madani, al-Ghamar
Bin Yazid Bin Abdul Malik, Abdullah Bin Raja al-Muhadith, Mujalid Bin Mas’ud
(sahabat nabi), Ahnaf Bin Qais, Abu al-Aswad al-Daili dan lain-lain. (Ibn Qutaibah al-Dainawari, hlm. 320
dan 322)
3. Nama-nama Individu Difabel (Kategori
Tuna Rungu)
Abban Bin
Usman Bin ‘Affan r.a., Ubaidah al-Silmani, Muhammad Bin Saironi, Abdullah Bin
Yazid Bin Hurmuz, al-Kamit.
Berdasarkan data tersebut, kita ketahui
bahwa individu difabel merupakan bagian dari komunitas Arab pada pra dan awal
Islam. ia memiliki hak dan kewajiban yang sama, begitu juga mempunyai peran
yang sama dalam struktur pemerintahan dan kultur kehidupan daulah Islam. Kultur
dan struktur sosio-politik masyarakat Arab dan Islam klasik lebih ditekankan
pada aspek previllage(keistimewaan), dan perbedaan dalam kedudukan dan peran
sosio-politik dari sisi zurriyat (keturunan), suku dan ras, seperti
perbedaan Arab Qahthan dan Arab Adnan, suku Quraisy dan bukan Quraisy, dan
bangsa Arab dan non Arab. Factor-faktor inilah yang lebih diperhatikan daripada
aspek perbedaan dari kategori kekurangan fisik (Difabilitas)nya. Previllage
juga pada umumnya dianut oleh keluarga khalifah masa daulah Islam.
Paman Nabi Abu Thalib yang notabene
adalah seorang difabel, nyatanya berperan penting dalam struktur
sosio-kultural. Ia pemimpin dari suku Bani Hasyim yang berperan besar dalam
memimpin suku Qurays yang telah berjasa melindungi kelangsungan hidup dan
dakwah Muhammad saw. Begitu juga,
sahabat Ibnu Ummi Makt>um yang telah dijelaskan di atas, diberikan
kepercayaan oleh Nabi saw untuk bertindak sebagai muazzin kedua setelah Bilal
bi Rabbah. Ia juga diketahui telah ditugaskan sebagai pelaksana harian (wali)
pengganti sementara Gubernur Madinah, ketika Nabi saw dan sahabat-sahabatnya
bertugas melaksanakan ekspedisi perang.
Sebagaimana
Farid Esack yang menyatakan bahwa selama ini keadilan harus ditegakkan, salah
satunya dengan membebaskan kaum yang tertindas dan termarjinalkan.Pendapat
Esack juga yang menyatakan bahwa kaum tertindas atau termarjinalkan juga bisa
menjadi pemimpin, sebagaimana kisah para utusan Alla>h swt, Nabi Mu>sa as
saw yang membebaskan bani Israil dari penindasan dan kezaliman Fir’aun.
Meskipun ia dilanda kekurangan dalam hal lisan, sehingga hal inilah yang menjadi
tantangan khusus bagi dirinya sendiri. Nabi
Yaʻqub yang begitu tabah dan sabar juga
diuji Alla>h swt dengan hilangnya fungsi penglihatan yang terjadi di masa
tuanya. Kondisi demikian, tidak mengganggu tugasnya menjadi seorang utusan Alla>h
swt. Kisah Ibnu Ummi Makt>um yang
diberi wewenang Nabi saw untuk menjadi imam shalat, muazzin, serta wali
pengganti sementara Gubernur Madinah, mencerminkan bahwa Nabi Muhammad saw
merupakan seorang pembebas yang mengangkat dan menyetarakan posisi Ibnu Ummi Makt>um
dengan sahabat lainnya dalam hal imam shalat, muazzin, dan juga pemimpin
pemerintahan. Maksud dari egalitarianism yang diperjuangkan Nabi saw di sini
adalah dalam hal memberikan hak-hak yang sesuai dengan para sahabat difabel.
Hal inilah yang harusnya menjadi pijakan kita untuk memperjuangkan hak-hak para
difabel di lingkungan sekitar kita.
Dewasa ini,
kita mengenal pemikir Islam kontemporer seperti Toha Husein, yang merupakan
seorang difabel yang berpandangan maju, berpikiran terbuka, dan kontroversial.
Ia terkenal sebagai seorang sastrawan dan kritikus sastra. Ia sempat
menggegerkan sebagian masyarakat dan ulama Mesir terkait ide-idenya yang
kontroversial. Ia sendiri pernah menjabat menteri pendidikan di Mesir pada awal
abad ke-20.[45]
Abdurrahman Wahid yang merupakan pemikir Islam progressif di Indonesia juga
adalah seorang difabel. Kemampuan penglihatan salah satu matanya tidak
berfungsi ketika ia sudah menjelang tua,. Meskipun begitu kiprahnya dalam dunia
social, politik, kultural, maupun keagamaan tidak dapat diragukan lagi. Ia
disebut-sebut telah banyak melakukan upaya-upaya mengenalkan Islam yang
humanis, dengan membela kaum lemah dan tertindas. Beberapa kebijakan terkait
difabel yang dikeluarkannya antara lain, adanya Gerakan Aksesbilitas Umum Nasional (GAUN), dan
membubarkan Departemen Sosial.[46]
Pada
dasarnya nilai-nilai egalitarianism yang diusung al-Qur’an sudah mulai
diperjuangkan oleh pihak-pihak di luar sana. Perjuangan yang dilakukan dengan
mengembangkan sikap-sikap humanitarian, tanpa mempersoalkan latar belakang
kultur, agama, dan etnik. Penjelasan singkat mengenai penafsiran ayat-ayat
difabel ini menurut hemat penulis bisa memberikan sumbangsih dalam merubah
pandangan masyarakat terhadap difabel. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa
difabel adalah bagian dari masyarakat, dan juga hidup dalam masyarakat sebagai
manusia social sebagaimana mestinya. Teks keagamaan pun bagi sebagian
masyarakat dijadikan titik tumpuan dalam kehidupannya, sehingga penafsiran mengenai
difabel ini berguna bersama langkah praksis yang diusahakan oleh berbagai
pihak, untuk meminimalisir adanya diskriminasi tersebut.
[1] Dikutip dari makalah Waryono Abdul Ghafur, Difabilitas
dalam Al-Qur’an. Disampaikan pada seminar Islam dan Difabel tanggal 20
Desember 2011.
[2] Q.S al-Tîn: 4
[3] CD ROM Maktabah Syamilah , Al-Mu’jam al-Wasith, juz.
1, hlm. 1086
[4] CD ROM Maktabah Syamilah , Lisanul ‘arab, juz.
13hlm. 536
[5] Al-Husien bin Muhammad al-Raghib al-Ahsfahani, al-Mufradat
fi Gharib al-Qur’an, (Lebanon: Dar al-Ma’rifah) hlm. 442
[6] CD ROM Maktabah Syamilah, Tafsir
al-Razi, juz 12, hlm. 178
[8] CD ROM Maktabah Syamilah, Lisan al-‘Arab, juz. 12, hlm. 53
[9] Al-Husien bin Muhammad al-Raghib al-Ahsfahani, al-Mufradat
fi Gharib al-Qur’an, (Lebanon: Dar al-Ma’rifah) hlm. 58
[11] CD ROM Maktabah Syamilah , Lisan al-‘Arab, juz. 12,
hlm. 342
[12] Al-Husien bin Muhammad al-Raghib al-Ahsfahani, al-Mufradat
fi Gharib al-Qur’an, (Lebanon: Dar al-Ma’rifah) hlm. 286
[13] Zubair Ahmad, ”Safah” dalam Nasaruddin Umar, Ensiklopedia
al-Qur’an,hlm. 857-9.
[14]Dikutip dari makalah Waryono Abdul Ghafur, Difabilitas
dalam Al-Qur’an,hlm.15.
[15] Waryono Abdul Ghafur, Difabilitas dalam Al-Qur’an….hlm.2.
[16] Ar-Ra>zi>, Mafa>tih al-Gaib, dalam DVD ROM al-Maktabah al-Sya>milah (Bandung: Pustaka Ridwan, 2008), juz. 10 hlm.400
[17] Lihat Muhammad bin
Jari>r al-Thabari>, Jami’ al-Baya>n fi Ta’wi>l al-Qur’a>n dalam DVD ROM
al-Maktabah al-Sya>milah (Bandung: Pustaka Ridwana, 2008), juz. 18, hlm, 289. Penafsiran
terhadap surat Ta>h{a[20]: 27.
[18] Hal ni dapat dilihat
dalam surat al-Zuhruf ayat 52, dimana mengindikasikan bahwa Nabi Musa
bisa masih bisa berbica am ana> khairun min haz|a> al-laz{i> huwa
mahi>nun wa la> yaka>du.
Artinya
: Bukankah aku lebih baik dari orang yang hina ini dan yang hampir tidak
dapat menjelaskan (perkataannya)?
[19] Ibnu ‘A>syu>r Al-Tahri>r
wa al-Tanwi>r, DVD ROM
al-Maktabah al-Sya>milah (Bandung: Pustaka Ridwana, 2008), juz.1, hlm, 263
[21] Lihat Muhammad bin
Jari>r al-Thabari>, Jami’ al-Baya>n fi Ta’wi>l al-Qur’a>n dalam DVD ROM
al-Maktabah al-Sya>milah (Bandung: Pustaka Ridwana, 2008), juz. 18, hlm, 289. Penafsiran
terhadap surat Ta>h{a[20]: 27.
[22] Ibnu ‘A>syu>r, Al-Tahri>r wa al-Tanwi>r…..,
juz 7,hlm.317
[23] Lihat tafsir Ibnu Katsi>r, Tafsi>r
al-Qur’a>n al-Adzi>m, DVD ROM al-Maktabah al-Sya>milah (Bandung:
Pustaka Ridwana, 2008), juz.4
hlm 404
قال
ابن أبي حاتم: حدثنا أبي، حدثنا حماد بن سلمة [حدثنا أبو موسى]، عن علي بن زيد (3)
عن الحسن، عن الأحنف بن قيس، أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "إن داود عليه
السلام، قال: يا رب، إن بني إسرائيل يسألونك بإبراهيم وإسحاق ويعقوب، فاجعلني لهم رابعا.
فأوحى الله تعالى إليه أن يا داود، إن إبراهيم ألقي في النار بسببي فصبر، وتلك بلية
لم تنلك، وإن إسحاق بذل مهجة (4) دمه في سببي فصبر، وتلك بلية لم تنلك، وإن يعقوب أخذت
منه حبيبه حتى ابيضت عيناه من الحزن، فصبر، وتلك بلية لم تنلك
[24] Nama lengkap Ummi
Maktu>m adalah Abdullah bin Ummi Maktu>m. Ia merupakan difabel netra yang
berasal dari bani amr. Ummi Maktum termasuk sahabat yang sudah lama masuk Islam
di Makkah yang Kemudian ikut hijrah ke Madinah. Ia juga seorang Muadzin yang
menjadi partner sahabat Billal bin Rabbah. Ummi Maktum meninggal di Qodasiyah
ketika masa pemerintahan Umar bin Khattab.
Lihat di Al-Isti’a>b fi Ma’rifat al-Saha>bah, juz 2 hlm.86. nama
ayah Ibnu Ummi Maktu>m adalah Qais bin Zaidah dan ibunya bernama ‘Atikah binti Abdulla>h
al-makhzumiyyah, nama ini disebabakan karena ibunya ini memiliki anak yang buta
maka dia digelar dengan Umm Maktum karena
tersembunyinya cahaya penglihatannya. Diketahui bahwa dia mulai buta dua
bulan pasca perang Badar. Lihat Fath{ul Ba>ri’ Syarh{ li Shahi>h
Bukha>ri pada hadis no. 582 dalam DVD ROM
al-Maktabah al-Sya>milah (Bandung: Pustaka Ridwan, 2008)
[25] Dalam sebuah riwayat, pembesar tersebut adalah Utbah bin
Rabi’ah, Abu Jahl bin Hisya>m dan ‘Abba>s bin Abdul Mutha>lib. Nabi
Muhammad menginginkan mereka masuk Islam, karena merka memiliki pengaruh yang
cukup besar, sehingga mereka bisa memperkuat agama Islam. Lihat ibnu Katsi>r
DVD ROM al-Maktabah al-Sya>milah (Bandung:
Pustaka Ridwana, 2008),320 juz 8
ثم
روى ابن جرير وابن أبي حاتم أيضا من طريق العوفي، عن ابن عباس قوله: (عَبَسَ وَتَوَلَّى
* أَنْ جَاءَهُ الأعْمَى ) قال: بينا رسولُ الله صلى الله عليه وسلم يناجي عتبةَ بن
ربيعة، وأبا جهل بنَ هشام، والعباس بن عبد المطلب-وكان يتصدى لهم كثيرا، ويحرص (5)
عليهم أن يؤمنوا
[26] Muhammad bin ‘Ali al-Syaukani, Fath{ul Qadi>r, dalam DVD ROM al-Maktabah al-Sya>milah (Bandung: Pustaka Ridwan, 2008), hlm.423. juz 7. lihat juga di ibnu Katsi>r juz 8 hlm.319
[27] Lihat Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi
Ta’wil al-Qur’an dalam DVD ROM al-Maktabah al-Sya>milah (Bandung:
Pustaka Ridwana, 2008),juz
24. Hlm.218. Riwayat ini juga terdapat dalam Tirmidzi> 3254 dengan kualitas hasan
dan Malik 426 dengan kualitas shahi>h yang berbunyi
حَدَّثَنَا سَعِيدُ
بْنُ يَحْيَى بْنِ سَعيدٍ الْأَمَوِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ هَذَا مَا عَرَضْنَا
عَلَى هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ أُنْزِلَ عَبَسَ
وَتَوَلَّى فِي ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ الْأَعْمَى أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَعَلَ يَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرْشِدْنِي وَعِنْدَ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ مِنْ عُظَمَاءِ الْمُشْرِكِينَ فَجَعَلَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْرِضُ عَنْهُ وَيُقْبِلُ عَلَى
الْآخَرِ وَيَقُولُ أَتَرَى بِمَا أَقُولُ بَأْسًا فَيَقُولُ لَا فَفِي هَذَا أُنْزِلَ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ وَرَوَى بَعْضُهُمْ هَذَا الْحَدِيثَ
عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ أُنْزِلَ عَبَسَ وَتَوَلَّى فِي ابْنِ
أُمِّ مَكْتُومٍ وَلَمْ يَذْكُرْ فِيهِ عَنْ عَائِشَةَ
[28] Abu Dāwud, Sunan Abi Dāwud, hadis 450 dalam CD Mawsu’ah al-Hadīŝ al-SyarĪf, Global Islamic Software.
[29] Abu Dāwud, Sunan Abi Dāwud, hadis 450 dalam CD Mawsu’ah al-Hadīŝ al-SyarĪf, Global Islamic Software.
[30]Abu Dāwud,
Sunan Abi Dāwud, hadis 503 dalam CD Mawsu’ah al-Hadīŝ al-SyarĪf, Global Islamic Software.
[31] Mengambil pengganti sementara pelaksanaan harian dalam
jabatan penting seperti gubernur dilakukan juga oleh para sahabat nabi
al-Khulafa al-rasyidun berikutnya, sehingga ia menjadi sebuah tradisi
berkelanjutan selama masa al-Khulafa al-Rasyidun. Lihat Abdul Aziz Ibrahim
al’Umri, Dr., al-Wilayah ‘ala al-Buldan fi ‘Ashr al-Khulafa al-Rasyidin,
(Saudi Arabia : Dar Asybalia, 2001), hlm. 228.
[32] Abu Dāwud, Sunan Abi Dāwud, hadis 503 dalam CD Mawsu’ah al-Hadīŝ al-SyarĪf, Global Islamic Software
[33] Abu tayyib, Aunul Ma’bu>d,syarh{ Sunan Ab>u
Da>wu>d dalam CD Mawsu’ah al-Hadīŝ
al-SyarĪf, Global Islamic Software.
[34] Ibnu Hajar al-Asqala>ni, Syarh{ Shahi>h
al-Bukha>ri dalam CD Mawsu’ah al-Hadīŝ
al-SyarĪf, Global Islamic Software.
[35] Ashgar Ali Angineer,Islam dan Teologi Pembebasan,
terj.Agung Prihantoro,( Yogyakarta :Pustaka Pelajar,2009),hal.33.
[36]Bukha>ri, Shahih Bukhari, hadis no 2619 dalam CD
Mawsu’ah al-Hadīŝ al-SyarĪf, Global Islamic Software.
[37] Ayat tersebut berbunyi: kalla> innaha> taz{kirah[37] yang artinya Sekali-kali
jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan
[38] Lihat tafsir Ibnu Katsi>r, Tafsir
al-Qur’a>n al-Adzi>m, DVD ROM al-Maktabah al-Sya>milah (Bandung:
Pustaka Ridwana, 2008.
Hlm. 312.
[39] Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdulla>h Bin Muslim
Bin Qutaibah al-Dinawari . ia adalah seorang sejarawan Irak yang hidup pada
masa periode kedua atau akhir Daulah Abbasiyah.
[40] Dalam karyanya, al-Ma’arif, al-Dainawuri menyebutkan
beberapa daftar nama sahabat-sahabat Nabi Muhammad s.a.w. yang difabel. Dia
juga menulis kategori-kategori difabilitas yang disandang oleh para sahabat
tersebut; tuna netra, tuna rungu, dan kekurangan anggota-anggota fisik yang
lain. Selain itu, dia juga membagi Difabilitas mereka berdasarkan pada
pembawaan sejak lahir dan perkembangan setelah dewasa.
[41] Seorang penulis awal biografi Nabi Muhammad s.a.w. dan
ensiklopedi para sahabat dan tabi’in, murid dan sekretaris al-Waqidi.
[42] Sebenarnya Ibn Qutaibah mengulas Difabilitas dalam konteks
ulasan tentang penyakit-penyakit dan kekurangan-kekurangan fisik yang dimiliki
(“disandang) oleh beberapa orang dari masa awal Islam, baik dari kelompok
masyarakat non-Muslim, para sahabat maupun para tabi’in. Dia tidak secara
khusus membahas tema tersebut. Ibn Qutaibah menyebutnya dengan Ahl al-‘Ahat,
yang di dalamnya termasuk kecacatan pisik dan kekurangan pada anggota badan.
Lihat Ibn Qutaibah al-Dainawari, al-Ma’arif, (Beirut : Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah), hlm. 320-324.dikutip dari makalah Nurul Hak, Difabilitas
dalam Sejarah Islam, disampaikan dalam seminar “Islam dan Difabilitas” yang
diadakan oleh Pusat Studi Layanan Difabel
UIN Sunan Kalijaga, pada tanggal 20 Desember 2011.
[44]
Saat ini ia menjabat dosen Sejarah Islam di jurusan BPI Fakultas Dakwa,
UIN Sunan Kalijaga.
[45] Nurul Hak, Difabilitas dalam Sejarah Islam,hlm. 8.
[46] Dikutip dalam Mendengar Gus Dur Soal Difabel, www.amexdifabel.wordpress.com
diakses tanggal 14 Januari.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar